“Ma, kamu harus membaca ini,” ucapku sambil menyerahkan koran Kompas Minggu (21/2) yang belum selesai saya baca seluruhnya.
“Ada apa, Pa…?” Istriku Endang yang baru saja duduk di sebelahku tampak masih kebingungan.
“Lihat artikel ini.”
Jariku menunjuk sebuah liputan halaman depan dengan judul “Cengkeraman Kasih, Mama Macan”.
“Kasihan…”
Itu kalimat pertama yang keluar dari bibir istriku ketika selesai membaca liputan tentang pergulatan kehidupan para ibu muda kelas menengah Jakarta yang rela meninggalkan pekerjaan yang menjanjikan kemapanan, karir yang cemerlang, untuk fokus mengurusi pendidikan anak-anak mereka.
“Kasihan? Tidaklah. Menurutku ibu-ibu itu keren,” balasku untuk menghangatkan diskusi Minggu pagi kami yang tanpa kopi.
“Iya, keren, tapi bukan berarti saya harus seperti mereka.” Kali ini nada suara ibu muda di hadapanku ini mulai terkesan sentimentil.
“Yang berpikir kamu harus seperti mereka, siapa? Menurut saya mereka keren, karena beberapa hal. Pertama, mereka berani mengambil pilihan sunyi untuk fokus hanya mengurusi buah hati. Mereka berani memilih, menjadi ibu sesungguhnya di ibukota yang yatim piatu, dan sangat fakir kasih sayang.
Kedua, mereka rela melepaskan ego pribadi. Sesuatu yang sangat sedikit dimiliki oleh ibu-ibu ibukota. Bayangkan, para ‘tiger mom’ rata-rata punya pendidikan yang tinggi, berlatar belakang kampus yang bergengsi lagi mahal, namun semua itu rela mereka korbankan demi masa depan anak-anak mereka.”
“Lantas? Apakah Papa mau mengambil hipotesis, bahwa ‘ibu yang baik adalah ibu yang tinggal di rumah’? Mengantar jemput anak ke sekolah, memaksa anak untuk ikut les ini itu, seraya memberikan warisan beban mimpi- mimpi sang ibu yang dikorbankan kepada anak-anaknya, mimpi yang justru membuat anak tersebut terbebani?”
“Maaf, saya tidak berpikir seperti itu. Menurutku ibu yang baik adalah ibu yang hadir. Ibu yang hati dan jiwanya terhubung dengan anaknya setiap saat, di manapun mereka berada, terlepas mereka bekerja ataupun tidak…”
Kali ini, diskusi Minggu pagi kami telah berubah dari hangat menuju sedikit lebih panas, di mana yang sedang saya hadapi adalah seorang ibu muda dan sekaligus dosen.
“Baca konteks dong. Saya tidak ingin berhipotesis seperti itu. Konteks yang saya bicarakan tentang pengorbanan ibu-ibu, ibu kota.”
Kali ini saya memotong pembicaraan.
“Lagipula ini bukan tentang Mama. Karena sejak awal kita menikah, kita sudah sama-sama berkomitmen bahwa Mama tetaplah merdeka, entah melanjutkan karir sebagai seorang jurnalis radio, menjadi dosen seperti sekarang, atau cukup di rumah. Saya hanya ingin bilang, bahwa pengorbanan mereka para mama muda ibu kota tersebut, adalah pilihan yang juga mulia.
Apalagi dalam konteks kehidupan orang-orang ibu kota, di mana kebutuhan akan materi senantiasa menuntut pengorbanan lebih banyak. Saya sering mendengarkan cerita dari mahasiswa saya, tentang betapa mereka telah kehilangan ibu, karena ibu kota telah merampasnya.
Peran ibu telah digantikan oleh babysitter atau pengasuh, yang membuat jiwa si ibu dan anak berjarak. Perjumpaan di antara ibu dan anak menjadi momen yang begitu mahal, sementara babysitter telah berubah menjadi ibu yang sebenarnya yang menemani anak mereka dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Bahkan tak jarang, jika babysitter itu masih muda mereka menambah peran dengan menjadi pengasuh bagi si ayah yang….”
Belum lagi kalimat saya usai, kali ini cubitan telah mendarat di lengan saya.
“Kedua, Papa ingin bilang sangat bersyukur dengan kehidupan kita saat ini. Walau kita belum punya apa-apa, Mama tidak memilih hidup di ibu kota yang lebih kejam dari ibu tiri itu.
Kita memilih hidup di Makassar yang tak sesibuk dengan jalanan ibu kota. Profesi Mama sebagai dosen juga membuat waktu luang lebih banyak untuk menjadi ibu yang sebenarnya bagi Ali, sesuatu yang begitu mahal untuk didapatkan oleh ibu-ibu, ibu kota.”
“Iya, papa saya sepakat. Namun, sebagai ibu dan seorang istri saya ingin bilang, seorang ibu yang bekerja tetaplah bisa menjadi ibu yang baik. Selama motivasi mereka demi kebahagiaan anak, suami dan keluarganya. Sederhananya, semuanya harus dilakukan demi cinta bukan karena ambisi pribadi.”
Kali ini, suara ibu muda dihadapanku terdengar lirih. Kami saling menatap lalu perlahan merapat.
“Papa, Mama, lagi apa?” tanya Ali yang muncul tiba-tiba, dan membuat kami kembali menjaga jarak.
- Ibu-ibu, Ibu Kota - 23/02/2016