Hikayat Kaktus dan Pohon Jati

Ketika dipanggil menghadap bos, aku tak berpikiran apa-apa. Barangkali hanya penugasan biasa atau persoalan roundtable yang belakangan memang agak sering diumumkan. Si A pindah program itu, si B balik ke program lama, atau si C kehilangan program karena pre-empt –takluk oleh kuasa rating.

Barulah saat bos mulai berbicara di ruangannya yang ada sofa empuk itu, aku mulai berpikir ini mungkin sesuatu yang agak beda. Bos bertanya bagaimana keadaanku di lapak yang sekarang, lapak kordinator liputan untuk wilayah Jakarta. Lapak yang sering dianggap kursi panas oleh sebagian teman.

Sambil cengengesan aku bilang baik-baik saja. “Seandainya tanaman, saya ini kaktus, Mas. Insya Allah saya bisa tumbuh di mana pun ditanam,” kataku.

Bos tertawa mendengar pengandaian itu, dan terlihat senang karena mungkin merasa menemukan jalan masuk untuk pembicaraan selanjutnya. Tentang kenapa aku harus dipanggilnya ke ruangan itu.

Lalu berceritalah beliau yang isinya sebahagian sudah pernah aku dengarkan. Bahwa bos besar –bos dari bos dari bos yang memanggilku ini, pemilik dari stasiun televisi tempatku mengabdi ini, telah menambah satu lagi anak perusahaannya. Sebuah portal berita online terbesar di Indonesia telah dia akuisisi. Tak main-main. 100 persen saham.

Intinya, dari bagianku harus ada orang yang dikirim ke sana untuk penyesuaian kerja, menyusul beberapa rekan dari divisi lain yang sudah duluan di sana. Aku sempat bertanya kenapa aku, padahal ada lebih 300 orang di lantai ini, dan bos memberikan penjelasan-penjelasan. Tentu saja bukan karena aku yang terbaik, melainkan karena dipikir aku yang paling cocok untuk penempatan itu, dilihat dari segi usia, kemampuan cengengesan, dan faktor-faktor lain yang Insya Allah kapan-kapan aku ceritakan padamu. Apalagi ditambah alasan bahwa aku terlanjur mengaku sebagai kaktus.

BACA:  Mommy in Plastic Boots

Aku mengiyakan, sebenarnya hanya karena aku tak punya pilihan untuk menolak. Aku prajurit, dan kaktus pula.

Sehingga, setelah hampir sembilan tahun bergerak ke utara untuk mencari nafkah, akhirnya bergeraklah aku ke Selatan, Nak. Ke kantor berita online ini. Portal yang sebenarnya tidak terlalu asing untukku. Di lapakku yang dulu, hampir setiap hari aku mengakses situs –atau apapunlah namanya ini– untuk memantau berita. Secara bercanda, situs ini bahkan sering kami sebut sebagai korlip bayangan, karena saking kami “mengandalkannya” sebagai sumber liputan. Di jaman kuliah, ketika situs berita online ini membuka kanal kampus, aku dan teman-teman di pers mahasiswa sering menjadi kontributor berita seputaran kampus. Iya, mungkin ini memang sudah takdir yang berkelindan.

Maka inilah aku. Terjebak di kubikal dan meminjam login orang yang baru saja aku kenal. Jujur ini berat, Nak. Harus memulai dari awal lagi, belajar hal yang baru sama sekali, bertemu orang-orang baru. Sejujurnya aku masih berharap ini semacam bawah kendali operasi yang sewaktu-waktu masih bisa pulang ke barak.

Soal membawa diri ini sesungguhnya adalah hal yang paling berat dari semuanya. Bagaimana menempatkan diri dalam semesta adalah tugas manusia yang tak akan pernah selesai. Imam Gazali menganjurkan orang untuk berhijrah karena menurutnya manusia yang diam terlalu lama akan menjadi seperti air selokan yang mudah membusuk. Dengan berpindah tempat kita juga bisa mengukur ulang spesifikasi diri kita, seperti tangki minyak yang ditera ulang, dikikis kerak-keraknya, agar ketika diisi lagi dia bermula di angka nol.

BACA:  Mengapa Saya Golput #1

Kamu tahu, Nak, hari pertamaku di kantor baru itu dimulai dengan basah. Aku diguyur hujan sekeluarnya dari halte busway. Aku sempat berpikir, mungkin ini semacam peringatan bagi kaum kaktus. Kaktus yang paling tangguh sekalipun akan bonyok bila terlalu banyak didera air. Kaktus juga mahluk, Nak, bukan tutup panci.

Jadi begitulah, wahai anakku River yang kini semakin besar. Tiga bulan belakangan ini kita —aku, ibumu, dan kamu– baru saja memulai sesuatu yang besar. Setidaknya besar bagi kami, meskipun mungkin bagi sebagian orang ini hanya hal kecil saja semacam usaha tinggal gesek. Sebuah proyek tanggung jawab untuk memberimu tempat berteduh yang lebih baik. Agar ada tempat untuk menyampirkan tenda Coleman kita di halaman belakang setiap bulan purnama tiba. Proyek panjang dan sudah pasti akan makan waktu lama. Inilah harga yang harus kita bayar sebagai kelas pekerja yang seumur-umur berdoa agar terhindar dari korupsi. Lelah dan capek sudah pasti akan ada.

Tapi bila suatu hari nanti terpaksa kita temui hidup yang semacam gurun kerontang tanpa air, tolong saling mengingatkan —siapapun di antara kita yang masih kuat ingatannya– bahwa pernah pada suatu sore, di ruangan bosku yang bersofa empuk itu, aku mengaku sebagai kaktus. Bukan pohon jati.

BACA:  Suara-suara Menakjubkan dari Kolam

Pohon jati juga tanaman yang adaptif, Nak. Namun agar bertahan di musim kering, pohon jati harus mengugurkan sebagian bahkan hampir seluruh daunnya. Kita kaktus, Nak. Itu artinya kita akan bertahan, tanpa harus mengabaikan atau menganggap yang lain tak penting belaka.

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga