Hanya Tempat Lilin

Selepas shalat magrib, saya biarkan kamu menunggu sejenak sambil saya memakai sepatu. Kamu duduk dan mengamati orang-orang yang baru selesai shalat.

“Jangan duduk,” kataku. Kamu melihatku, dan saya selalu tidak tahan dengan tatapan low angle seperti itu.

“Ini jongkok, Ayah. Tidak duduk,” katamu. Masih ada sisa air mata di pipimu.

Saya lalu menggendongmu, hal yang sudah lama tidak saya lakukan, sejak kamu merasa bukan anak kecil lagi. Kita menuruni tangga, menuju ke ibumu, yang juga sedang shalat di mushalla wanita di lantai bawah. Di setiap akhir pekan, pengunjung di mall ini memang membludak sampai harus disediakan satu mushalla khusus untuk pria di lantai atas.

Sambil berjalan, saya kembali berbicara padamu.

“River sudah tahu kan, kenapa kita harus selalu kontrol gerakan. Supaya kita tidak mencelakakan orang lain, Nak, dan diri kita sendiri juga. Setiap mau bergerak, lihat dulu ada siapa atau apa di dekat kita. Nanti kalau kamu besar, kalau nasehat ayah ini kamu dengerin, kamu akan hati-hati di mana pun berada. Tidak grasa grusu, ugal-ugalan atau ngebut di jalan, karena kamu akan selalu menjaga jangan sampai orang lain terluka karena kita, atau ada barang yang rusak karena kita.”

BACA:  Sekolah Kehidupan

Dari hari-hari pertama di TK, kamu sudah belajar itu. Saya sering melihat gurumu mengingatkan ke teman-temanmu yang senang berlari ke sana ke mari.

“Kontrol gerakannya ya,” begitu kita sering mendengar Bu Salma, gurumu di TK A dulu, mengingatkan. Tapi namanya anak-anak, tentu tidak selalu berhasil. Tetap saja ada yang benjol atau barang rusak. Tak masalah, yang penting, sudah berusaha ditanamkan. Dari gurumu juga saya belajar, bahwa persoalan “bergerak” ini bukan hal remeh.

Pernah saya melihat ada temanmu yang menangis, tantrum menggerung-gerung di lantai. Seorang gurumu –Bu Salma atau Bu Elli, saya lupa— mendekat dan menenangkan. Sebut saja nama temanmu itu Sidik.

“Ibu pegang tangan Sidik ya…”

“Ibu gendong Sidik ya…”

Semua gerakan sedapat mungkin di-verbal-kan supaya seorang anak punya persiapan respons atau antisipasi. Dengan demikian, dia juga akan belajar memahami konsekuensi gerakan.

“Jadi, kita belajar apa hari ini, Nak?” tanyaku sekali lagi saat kita sudah di parkiran, bersiap-siap untuk pulang.

“Hati-hati bergerak, Ayah,” katamu pelan, sudah ceria lagi.

“Mama?” saya tanya ke ibumu.

“Pastikan tempatnya aman sebelum kita ‘melepaskan’,” kata ibumu.

BACA:  Pertanyaan yang Tidak Dijawab Eka Kurniawan: Sebuah Wawancara yang Gagal

“Ok.”

Dan kita pun  melaju pulang. Sesekali saya masih berbicara kepadamu. Saya mengingatkanmu, bahwa kemampuan kita terbatas. Tidak semua hal dalam hidup bisa kita perbaiki apabila rusak karena konsekuensi gerakan kita.

Tadi, di sebuah toko, kamu memecahkan dua tempat lilin dari kaca. Kamu tidak sengaja, tapi kami harus mengajarimu bertanggung jawab. Kita mengganti sesuatu yang rusak itu tanpa membawanya pulang.

Untungnya, kita bisa menggantinya dengan uang.

Untungnya, itu hanya tempat lilin, bukan anak perempuan orang, misalnya…

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga