Haji Bapak

Pagi mendung di alun-alun Blora tahun 2007. Bersama Ibu, kami menjemput Bapak yang pagi itu dijadwalkan pulang dari ibadah hajinya. Hatiku bergejolak. Seperti akan menjemput seorang prajurit yang pulang dari medan peperangan. Aku masih ingat ketika Bapak akan diberangkatkan dari rumah 40 hari sebelumnya. Ia diadzankan oleh Kiai Muhtadi Noor, guru Bapak, guruku. Santri langsung Mbah Maimoen. Di depan pintu rumah Bapak diadzankan oleh suara Kiai Muhtadi yang melengking-lengking khas langgam Jawa daerah Senori, kemudian dilanjut doa. Aku mengintip dari dalam rumah. Tangisku pecah. Adzan itu membikinku punya perasaan kalau Bapak akan mati saja. Seolah-olah ia tidak akan kembali pulang. Maka ketika pagi itu ia dijadwalkan pulang, aku masih deg-degan juga. Khawatir pesawatnya tidak sampai dengan selamat. Tapi, pagi itu ia pulang.

Ia keluar dari pendopo Kabupaten Blora dengan peci putih yang menutupi kepalanya yang masih botak lepas tahalul. Ia memakai sarung. Ia tampak lebih kurus dari sebelum keberangkatan. Wajahnya bersih sekali. Atau, mungkin hanya efek karena belum mandi.

Ibu sedari tadi terus menggenggam tanganku. Aku paham betul perasaannya. Ia rindu. Baginya, Bapak bukan hanya seorang kekasih, Ia lebih dari juru selamat. Ia, kadang-kadang juga seperti seorang tuan yang membebaskan budaknya. Jika Kiai Muhtadi adalah orang yang mengajarkan Bapak membaca selama tiga bulan penuh hanya untuk Al Fatihah, dan mengajarkan Bapak segala hal baik, demikianlah Bapak bagi Ibu. Ibu, pada akhirnya belajar sholat dengan baik, membaca beberapa doa dengan baik, menghapal al barzanji dengan baik, langsung dari tangan Bapak. Ibu tidak berekspresi apapun ketika Bapak muncul dari gerbang pendopo. Aku yang sudah melambai-lambai, tapi tak dipeluk lebih dulu. Sial sekali. Ibu dipeluknya erat sekali, diciumnya hangat di pipi kanan dan kiri. Baru kemudian pelukan itu beralih kepadaku. Juga ciuman di pipi kanan dan kiri. Erat dan hangat.

Pelukan dan ciuman serupa itu kudapati sekali lagi pada bulan Januari lalu. Di alun-alun Pekalongan. Bapak telah sampai lebih dulu. Aku berlari untuk menyalaminya dan ia justru menghamburkan pelukan dan bertubi-tubi ciuman di pipi kanan dan kiri. Erat dan hangat. Pagi itu, alun-alun Pekalongan juga mendung. Itu hari di mana kami ingin menyapa Kanjeng Rasulullah SAW di kanzus sholawat Maulana Habib Luthfi Bin Yahya.

BACA:  Tuan Horacio, Biarkan Kami Berhijab....

40 hari berturut-turut selama Bapak tidak ada di rumah, rumah kami selalu ramai dengan pengajian. Aku tahu Ibu tidak punya uang sama sekali. Ia seorang Ibu rumah tangga yang lemah yang hanya bisa menangis khawatir berlebihan bahkan ketika Bapak hanya sakit kepala, misalnya. Tapi, entah dari mana datangnya orang-orang itu. Selama empat puluh hari rumahku ramai doa-doa dan juga makanan yang tak jelas siapa saja yang membawanya. Aku dulu seorang gadis SMA yang belum belajar filsafat apapun, tak kenal istilah metafisis, atau istilah-istilah lainnya. Aku hanya sibuk setiap hari untuk mencuci piring kotor, menyalami tamu-tamu, dan mengucap aamiin dari setiap doa yang mereka panjatkan di ruang tamu rumahku yang sempit, sering bocor, dan berdinding kayu kas yang bolong-bolong itu.

Sampai di rumah pagi itu, tiba-tiba rumah juga ramai sekali. Bapak disambut dengan sholawat tholaal badru lengkap dengan iringan musik hadhroh. Anehnya, bukan jamaah ibu-ibu tim hadroh desa yang memainkannya. Mereka adalah orang-orang yang sama sekali asing, entah dari mana. Bukan pula jamaah ngaji Bapak. Rumahku ramai sekali. Bapak duduk, membacakan doa, sebelum kemudian mandi sejenak. Tamu-tamu masih memenuhi rumah. Tawa mereka riuh rendah. “Subhanallah… Masya Allah… Alhamdulillah…” dan yang semacam itu, terdengar bersahut-sahut di sela-sela obrolan mereka.

Aku, tentu saja kembali sibuk. Membikin teh, kopi, dan mengeluarkan segala sesuatu yang khas Mekah seperti kacang Arab dan Almond, juga tentunya, menuangkan air zam zam dari gelas ke gelas. Ibu? Ibu hanya termangu-mangu saja di dapur. Matanya kosong. Bibirnya kelu. Tangannya dingin. “Bingung aku, Nduk. Itu orang dari mana saja. Rumah kok tiba-tiba terus ramai begini.” Ah, Ibu. Kutinggalkan ia setelah kuberi air hangat. Aku kembali menyambut tamu-tamu.

BACA:  Cerita Sepatu dan Perihal Bagaimana Kita Bercita-cita

Bapak lalu bercerita hal-hal yang berkaitan dengan ibadah hajinya. Cerita-cerita bahagia. “Masya Allah… Masya Allah…” Begitu terus yang keluar dari bibirnya ketika menceritakan semua hal. Lalu, sebulan setelah itu, rumah kami masih saja ramai. Dari pagi, hingga lewat tengah malam. Yang datang bukan satu dua orang, tapi serombongan-serombongan. Yang aku heran, kenapa stok air zam-zam belum habis-habis juga. Aku bangga bahwa seminggu sebelum kedatangan Bapak, aku sudah memesan tambahan air zam-zam dari biro penyedia jasa oleh-oleh haji.

Jadi, totalnya, sekitar 70 hari rumah kami ramai orang. “Dua bulan ini kita dapat duit dari mana ya Nduk kemarin itu. Setiap hari kayaknya masak-masak terus, padahal nggak punya uang sama sekali.” “Lah, Bapak dapat duit buat Haji darimana?” “Nggak tahu. Barokah perkawanan katanya.” “Nah, itu. Sama-sama nggak tahu.”

Bertahun-tahun setelah keberangkatan Haji, setiap tahun kami selalu melaksanakan ritual yang sama. Jika sedang di luar kota, Bapak akan menelpon. “Lis, pulang. Sowan calon Haji.”

Ketika calon jamaah haji akan diberangkatkan dari alun-alun Blora ke asrama haji Donohudan, pagi-pagi sekali Bapak akan mengajak Ibu dan aku untuk berjalan kaki ke alun-alun. Pagi bulan Haji pada setiap tahun itu, kami akan menyalami semua calon jamaah haji yang tiba di alun-alun, baik yang kenal maupun yang tidak kenal. Mereka yang baru keluar dari mobilnya akan kami rebut tangannya sambil dalam hati kami mohon doa. Tentu saja Bapak yang paling semangat. Kadang-kadang ia memeluk entah siapa erat sekali. Kemudian beralih untuk lanjut menyalami jamaah lainnya sebelum mereka masuk ke pendopo Kabupaten untuk menerima arahan dan sambutan dari Bapak Bupati. Aku lebih sering bermain bersama bocah-bocah kecil yang heboh meminta dibelikan mainan, atau kadang-kadang mengobrolkan model jilbab orang lain bersama Ibu. Ketika calon jamaah Haji antri untuk masuk ke dalam bis yang akan memberangkatkan mereka ke Donohudan, kami bertiga berdiri di pinggir alun-alun.

BACA:  Semoga Panjang Umur

Ketika bis berangkat dengan teriakan Allahu Akbar, Bapak akan berbisik, “Doa labbayka, Lis…Bu…” Kami bertiga merapal Labbaykallahumma labbayk… dan kemudian melambai-lambaikan tangan kepada semua jamaah yang berada dalam bis-bis besar itu. Tentu lambaian Bapak paling tinggi. Senyumnya pula yang paling khas. Dan pandangan matanya mengerjap. Setiap tahun setelah ritual melambai-lambai itu pula, Bapak akan mentraktir aku dan Ibu sarapan di sebuah warung lontong tahu.

Di sela-sela makan, ia akan berujar, “InsyaAllah ya, Bu… Insya Allah ya Lis…” Maksudnya, Insya Allah ia pasti akan bisa berangkat Haji lagi. “Insya Allah.. bertiga…ditambah suamimu…” Entah kapan, kami tak tahu pasti. Seperti kami tak pernah tahu, dari mana asal dana keberangkatan Haji Bapak di tahun 2007 itu. Tukang Becak Naik Haji.

Aku selalu rindu rasa-rasa semacam itu. Rasa-rasa semacam keikhlasan dan harapan aneh yang diimani oleh Bapak. Rasa-rasa yang sering diludahi oleh modernisme dan posmodernisme.

Kalis Mardiasih
Latest posts by Kalis Mardiasih (see all)

1 Comment

  • tulisan mb Kalis kali ini membuat saya menangis karena 2 hal. Ingat peristiwa serupa tahun 1997 lalu, saat Mae naik haji, dan yang kedua karena kangen Pae. Terimakasih mb Kalis

Leave a Reply

Silakan dibaca juga