Guru – Obituari Dr. Mansyur Semma

Ilustrasi. Img:freeimages.com
Ilustrasi. Img:freeimages.com

Dahulu kala, aku pernah berjanji dalam hati, jika suatu hari aku punya anak, maka akan aku ceritakan padanya tentang seorang guru. Dan kini kamu sudah lahir, River. Tampan seperti ayahmu. Ini aku, Nak, memenuhi janjiku. Maka dengarkanlah cerita yang aku tulis dua tahun lalu ini. Aku ceritakan kembali untukmu, seperti orang yang mengulang-ulang Al Burdah agar cinta selalu terjaga. Mungkin akan menjadi pelajaran untukmu, agar engkau bisa memahami bahwa di mana-mana manusia itu sama saja, terdiri dari darah dan daging sama seperti kita. Keikhlasanlah yang membuatnya beda.

Namanya Pak Mansyur Semma. Aku mengenalnya pertama kali di kelas mata kuliah “Dasar-dasar Jurnalistik”. Waktu itu aku baru menginjak semester 2. Badannya tegap dan tinggi. Gagah. Kesan pertamaku adalah dia bukan bagian dari kaum dosen formalis. Dia datang mengajar dengan pakaian celana jins dan topi rimba. Kepada mahasiswa pun dia selalu ramah.

Meski begitu, Pak Mansyur ini pengetahuan agamanya luas. Shalat jamaahnya tak pernah putus. Beliau bahkan diangkat sebagai penasihat anak-anak mushalla se-universitas. Kalau Jumat beliau sering pakai baju gamis. Suatu hari, aku pernah “dipungut” di jalan sepulang jumatan. Diajak berboncengan di motornya, dan diantar sampai ke tempat kostku. Menjelang turun, dia sempat menasehatiku tentang hidup sederhana. “Enambelas tahun jadi dosen, Chan, saya cuma bisa punya vespa ini. Tapi saya bahagia.”
Itu yang aku ingat dia bilang.

Aku curiga dia mengenalku sebagai anak bengal di kelas. Dalam salah satu kelas mata kuliahnya, aku pernah “mengolok-ngolok” teori yang dia ajarkan. Itu di mata kuliah “Sistem Komunikasi Indonesia”, di mana beliau menerangkan tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat desa yang berhubungan dengan sistem komunikasi. Ada sesi di mana kami semua disuruh menyebutkan contoh kasus. Temanku pada umumnya punya jawaban ilmiah. Ada yang memberi contoh penggunaan petunjuk rasi bintang oleh petani untuk menentukan musim bercocok tanam, dan sebagainya.

Tiba giliranku, aku memberi contoh -yang di kemudian hari sangat aku sesali. Aku bilang kebanyakan nelayan bisa meramalkan cuaca hanya dengan melihat posisi tidur istri mereka ketika bangun di pagi hari. Dari situlah mereka akan memutuskan untuk turun melaut atau tidak. Jika sang istri tidur miring ke kiri atau ke kanan berarti laut alun dan ombak tak terlalu besar. Jika telungkup, berarti angin semilir dan aman melaut. Tapi jika seorang nelayan terbangun dan mendapati istrinya sedang tidur telentang, maka biasanya mereka tak jadi melaut.

BACA:  Kasur

“Memangnya cuaca kenapa kalau istri telentang?” ada yang bertanya.
“Cuacanya tidak apa-apa, si nelayan yang apa-apa…” kataku sekenanya.

Satu kelas tertawa. Dan seketika itu juga aku merasa akan membuat Pak Mansyur marah besar karena cerita karanganku itu. Aku pun menoleh takut-takut ke beliau, tapi aku malah mendapati senyumnya mengembang lebar. Beliau tak jadi marah, dan memang tak pernah marah.

Setelah itu aku dan Pak Mansyur menjadi lumayan dekat. Di kemudian hari, aku justru ditawari jadi asistennya untuk mata kuliah ini. Tapi, tentu saja aku menolak. Bisa-bisa sesat itu mahasiswa semua…

Beliau juga mengenalku sebagai seorang “wartawan mahasiswa” yang pernah berbuat “salah”. Aku pernah harus menggunting semua halaman terakhir di majalah kampus yang aku buat karena di situ ada ucapan selamat kepada beliau sebagai “Ketua Jurusan yang Baru”. Ternyata, beliau tidak jadi dilantik sebagai Ketua Jurusan. Kami yang mengharapkan Pak Mansyur memimpin jurusan, mencurigai telah terjadi penjegalan, karena beberapa hari sebelumnya beliau telah dinyatakan sebagai ketua jurusan terpilih.

Pada suatu hari yang aku tak ingat pasti, Pak Mansyur menghampiriku yang sedang nongkrong di pelataran baruga –gedung auditorium tempat kami sehari-hari menunggu jam kuliah. Di tangannya ada amplop coklat besar, yang ketika isinya dia keluarkan saya tahu itu foto rontgen.

“Ini batu ginjal saya, Chan,” katanya menunjuk selarik titik putih di negatif foto itu. Dia memang biasa menyapaku dengan nama kecil saja. Ochan. Itulah kenapa pernah suatu kali nilai ujianku hampir error di salah satu mata kuliahnya karena dia lupa nama asliku di daftar nilai.

“Saya disuruh opname sama dokter,” katanya lagi, yang disebutnya sebagai “perawatan ringan”. Dan beberapa hari kemudian beliau masuk rumah sakit. Aku tidak sempat menjenguknya di hari-hari awal perawatannya, tapi tiba-tiba aku mendengar Pak Mansyur kehilangan penglihatannya. Aku kaget bukan main. Demi Allah! Matanya baik-baik saja pada saat terakhir kami bertemu!

Kemungkinan beliau mengalami infeksi nasokomial, penyakit yang justru diperoleh pasien ketika dirawat di rumah sakit. Di kemudian hari, beberapa kali ngobrol dengan beliau, tak pernah sekalipun secara eksplisit dia menyebut kejadian yang menimpanya sebagai malpraktek.

Dalam masa perawatan karena ginjal di RS. Wahidin di Makassar itu, matanya tiba-tiba merah. Entah kenapa.
“Saat itu oleh mahasiswa kedokteran yang praktik dan dipandu satu dokter penanggung jawab, mata saya diberi sendothropi, kemudian diperiksa menggunakan kaca pembesar. Tapi setelah itu, bukannya mata saya sembuh, tapi malah tambah perih dan merah. Belakangan ketahuan kalau ternyata obat tetes yang diberikan ke mata saya sudah kedaluwarsa. Seminggu kemudian penglihatan saya gelap. Akhirnya setelah berobat ke sana kemari hingga ke Jakarta, dokter akhirnya memvonis mata saya buta total,” katanya saat diwawancarai KOMPAS.

BACA:  Hal-hal Kecil yang Berat

Dalam rubrik profil di KOMPAS edisi 12 Desember 2006 itu, Pak Mansyur diwawancarai setelah beberapa hari sebelumnya berhasil memperoleh gelar Doktor dalam bidang ilmu sosial. Beliau berhasil mempertahankan desertasinya di depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin.

Momen itu menjadi istimewa karena studi S-3 itu dilakoninya dalam keadaan buta total yang menderanya sejak tahun 2001.

Desertasinya yang berjudul “Negara dan Korupsi dalam Pandangan Mochtar Lubis” itu dikerjakannya dalam situasi serba prihatin. Pak Mansyur menganalisa pandangan Mochtar Lubis dalam editorial harian Indonesia Raya dengan pendekatan antropologi politik dan antropologi jurnalistik.

Untuk mengerjakan penelitian dan mengejar narasumbernya yang kebanyakan berada di Jakarta, Pak Mansyur harus berjibaku dengan ritme Jakarta yang keras. Dalam keadaan buta, Pak Mansyur dituntun putranya, Bosnia, naik turun bis kota dan kereta api. Sering dia terjatuh karena terlambat naik atau bis tiba-tiba sudah melaju padahal beliau belum benar-benar turun.
Pernah juga beliau dan anaknya diusir karena dikira peminta-minta sumbangan, dan dibiarkan menunggu berjam-jam di pintu pagar di depan rumah narasumbernya.

Kisah itu diceritakan Pak Mansyur sambil tertawa-tawa ketika aku mengunjunginya di rumah tempatnya menginap di Jakarta beberapa tahun lalu. Baginya, hidup memang senantiasa indah. Dalam keadaan terang ataupun gelap.

Pak Mansyur aktif di Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI) Sulawesi Selatan. Kebutaan yang dia alami tidak membuatnya berhenti berbuat baik. Di kalangan tuna netra, Pak Mansyur dikenal sebagai seorang motivator. Bersamanya, orang-orang seolah lupa yang dihadapi adalah seorang buta.

Aktivitasnya sebagai dosen pun tetap berjalan. Dibantu oleh mahasiswa-mahasiswa nya, proses belajar-mengajar tetap berlangsung normal. Aku, termasuk beruntung pernah berkhidmat kepadanya. Jika sempat mengunjunginya di kampus, aku sering membantunya membacakan beberapa bahan-bahan penelitiannya.

Untuk sesuatu yang dia yakini benar, Pak Mansyur juga adalah orang yang berani berseberangan dengan sistem. Beliau adalah salah seorang dosen yang secara terang-terangan menolak penerapan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) sejak UU itu masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang. Alasannya sederhana, BHP ini hanya akan menyuburkan komersialisasi pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat miskin. BHP hanya akan semakin memperparah kesenjangan antara mahasiswa miskin dan kaya. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan akan tergerus oleh kuasa uang. Di Makassar yang penuh dengan mahasiswa militan, kebijakan ini tidak bisa bernafas tenang. Saat BHP disahkan pada tanggal 17 Desember 2008, demonstrasi pun pecah di depan kampus Unhas yang menyebabkan polisi menyerbu masuk kampus.

BACA:  Membayangkan Jakarta Besok

Tahun lalu, program Good News (almarhum) di stasiun TV tempatku bekerja pernah mengangkat kisah beliau dalam salah satu segmennya. Aku menontonnya dengan mata berkaca-kaca. Tak dipungkiri lagi, aku punya ikatan emosional dengan beliau. Beberapa saat setelah itu, beliau menelponku minta dikirimi copyan tayangan itu. Aku janji akan mengirimkan secepatnya.

Lalu, secepat itu pula aku lupa. Sampai pada suatu hari di dua tahun lalu itu, aku dapat kabar Pak Mansyur Semma meninggal di RS.Labuang Baji Makassar karena gagal ginjal.

Si Lembut Hati itu telah berangkat. Meninggalkan kami yang berutang ilmu dan kebaikan kepadanya. Maafkan, Pak…

–mengenang dua tahun wafatnya guru kami, Dr. Mansyur Semma, 4 Maret 2008.
Tanggal 31 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang menuai kontroversi itu dinyatakan tidak berlaku. Keputusan tersebut dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan pengujian dalam lima perkara yang diajukan berbagai elemen masyarakat peduli pendidikan. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud mengatakan, UU BHP bertentangan dengan UUD 1945.
|

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

1 Comment

Leave a Reply

Silakan dibaca juga