Pilih kursimu, Nak, atau duduk tenanglah di tikar itu. Dengarkan cerita ini, yang terjadi pada suatu hari, kira-kira dua bulan sebelum kami menikah. Itu artinya kurang lebih setahun sebelum kamu lahir.
Aku bilang padanya, “Jangan sampai kau terima amplopnya, Dek.” Dia mengiyakan. Dia di sana, ditugaskan kantornya meliput penerbangan perdana sebuah maskapai. Itu tentu basah. Aku tahu.
Enam tahun jadi wartawan, dan aku tidak pernah merasa itu sia-sia. Mungkin hanya tampak bodoh karena mempertahankan sesuatu yang absurd. Tak apa-apalah. Bubin bilang ada itu area abu-abu. Aku mungkin di situ, jika memang harus berdiri mengambil tempat. Empat tahun lalu, di sebuah acara partai, aku menolak amplop setebal meja papan. Lalu saya pulang sebagai orang yang menolak rezeki, kata temanku. Dan itu sering aku hadapi.
Hanya satu kali, di Afrika, aku terpaksa menerima dibelikan makanan di luar jaminan invitasi oleh sponsor yang mengundang kami. Itu karena aku tak mampu membayar harga makanan yang tak terjangkau uang saku dari kantor. Untunglah mereka baik. Aku juga tak harus menulis yang baik-baik saja tentang mereka. Aku menulis apa yang ingin aku tulis. Merekam apa yang ingin aku rekam. Inilah abu-abu itu, Bin!
Suatu kali di Manado, setelah mengikuti rombongan menteri, aku sendirian kelaparan di luar kantor Gubernur, sementara teman-teman wartawan lain bersenang-senang berbelanja bersama staf Humas. Di bus menuju bandara Sam Ratulangi, aku digoblok-goblokin. “Lima juta, Chan! Kamu pasti menyesal!”
Tapi tidak sedikit pun aku merasa menyesal. Di dalam hati aku bilang, aku pernah menolak yang jauh lebih besar dari itu.
Enam tahun jadi wartawan, lalu aku bertemu dengan dia yang baru dua tahun belajar jadi wartawati. Sebantar lagi, jika semuanya lancar, kami akan menikah. Aku berusaha menularkan nilai yang aku anut padanya. Enam tahunku yang belum apa-apa, dan dua tahun dia yang juga belum apa-apa. Aku berusaha mengajarkan arti bertahan padanya. Meski kadang-kadang juga aku merasa takut.
Tiga tahun lalu, seorang partner liputanku menerima amplop. Aku menolak. Dan dia marah, mungkin tersinggung. “Kamu belum punya keluarga sih, Chan!” katanya. Entah, apa karena belum punya istri dan anak maka aku tak bisa menemukan hubungan antara amplop dan keluarga.
Baru sekarang, pelan-pelan, aku mengerti, tapi mencoba untuk tidak memaklumi. Aku sadar, jadi wartawan tidak akan membuat kaya. Makanya aku tidak berniat jadi wartawan selamanya. Aku ingin wiraswasta. Kelak, jika uang sudah cukup dari mengumpulkan gaji, kami akan bikin toko roti sederhana di Makassar. Mengerjakan sesuatu yang tidak membuatmu merasa bersalah jika menerima pemberian uang.
Tapi itu nanti. Persoalannya untuk berbahagia tentu butuh uang. Aku punya draft novel yang aku tawarkan kemana-mana, tapi sama sekali belum ditanggapi penerbit. Akhirnya aku berhenti berharap pada naskah picisan itu. Dua bulan menuju hari yang kami sepakati, uang yang bisa aku kumpulkan masih kurang banyak.
Tadi kami bertemu di warung angkringan indomie. Dia baru pulang. Saling bertanya kabar dan sedikit cerita tentang kakinya yang luka tertusuk karang.
“Kayaknya banyak yang ngambil jale, Kak..” katanya. Jale itu nama lain dari amplop. Aku menepuk punggungnya. Sewaktu transit di bandara tadi dia menelepon, sekaligus minta maaf tidak bisa bawa oleh-oleh. “Nggak punya duit, Kak!” katanya sambil tertawa.
Tiba-tiba ada sedikit takut di hatiku. Bukan takut tidak bisa membahagiakan dia. Bukan itu. Dengan segala keterbatasan yang aku punya, aku yakin bisa membuatnya bahagia paripurna. Aku hanya takut suatu hari nanti tidak bisa lagi bilang padanya, “Jangan sampai kau terima amplopnya, Dek!”
Menikmati indomie kami masing-masing, aku berpikir mungkin kami akan berhenti dari pekerjaan ini sebelum itu benar-benar terjadi. |
Minggu, 18 Januari 2009
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023