Yang pernah travel naik Virgin Train kesayangan dan ke toiletnya pasti pernah ngikik ngikik lihat stiker yang ditempel di tutup toiletnya. Reminder yang menyenangkan ya, soal impian.
Tentu saja, I am living my dream now, impian jaman dahulu kala sejak pertama baca buku Heidi (meski belum kesampaian menginjakkan kaki ke tempat asal Heidi), untuk merasakan tinggal di luar negeri. Dan, thank God, di umur yang sudah bisalah matang dibanding 5 tahun lalu pas menggebu gebu pengen ke luar negeri, jadi bisa lebih realistis dan dewasa untuk mengerti bahwa bahkan saat impian itu terealisasi dan kita menjalaninya, tentu tetap ada kerikil dan tak luput dari godaan rumah tetangga lebih hangat (karena rumput lebih hijau tak terlalu dipermasalahkan di musim dingin ini).
Dan betapa betahnya kami di sini sudah mulai dihantui oleh satu hal: Ah, tahun ini kita kembali ya, ke Indonesia.
Dan berujung ke hantu hantu pertanyaan lainnya: Nanti tinggal di mana, sekolah anak-anak gimana, penempatan ekeh dan Yayang di mana, ini kok tiket balik sekarang terasa mahal juga nih berempat (padahal pas pergi ke sini juga mahal banget 15 juta aja per orang tapi kan apapun dilakukan dengan gembira yak mau ke negeri impian. Jual mobil sejuta umat kita dooong hahahaha), dan kekhawatiran remeh remeh lainnya –kalau kata Si Yayang– saat saya ceritakan.
Dengan jujur saya akui, I don’t miss Indonesia, at all. Yang saya kangen cuma para ompungnya, dan itu udah terjawab juga saat mereka ke sini kan. Nggak adalah perasaan kangen ke Indonesia. Sampai saat ini ya, please don’t get me wrong (or terserah get me wrong juga gapapa. Hehehe). Sebenarnya subjektif sih ya, bukan karena nggak suka sama Indonesia-nya. Nggaklah, Indonesia tanah air beta dan kita akan pegang kata kata Bu Sri Mulyani yang “Jangan pernah lelah mencintai negeri ini…”.
Tapi, saat itu saya meninggalkan Indonesia yang waktu itu dalam keaadan PP Jakarta-Bandung SE-TI-AP-HA-RI. Only God help us got through those times, dengan masih menunjukkan highlight tawa dan sukacita atas karya-Nya dan kiriman-Nya atas manusia-manusia luar biasa dalam setiap hari di hidup kami di masa-masa itu, sehingga sekarang bisa melihatnya sambil tersenyum.
Kekuatan manusia mah udah bikin depresi masa masa itu, lha bokek (tiket PP tiap hari sebulan itu udah setengahnya THP aja gitu, saham ekeh besaaar di XTrans-Citytrans dan Baraya), dicampur rasa rindu ditambahin rasa bersalah dipupuk perasaan iri melihat teman yang bahkan bisa anter istri anter anak-anak looh, apalagi jika semua itu dihidangkan pas di jalan Gatot Subroto tetiba macet memanjang yang jadi prakiraan nyampe di atas jam 9 malamlah kita di Cimuncang tercinta.
So, I left Indonesia dengan bahagia luar biasa tentunya. Karena bisa berkumpul. Itu tema utamanya. Dan ke negeri impian. Itu bonus luar biasanya (bonus, seperti naturenya, biasanya lebih besar dari gaji pokok. Tapi, bonus bukan intinya kan. Hahaha). Yes, ngumpul ini tetap intinya. Ngumpul sama si yayang dan sama 3 pasukan. It is my dream come true, ternyata ngumpul itu jadi impian saya setelah sempat terpisah. Dulu sebelum sempat LDR mah nggak kepikiran menjadikan ‘ngumpul’ sebagai impian, itu kayak kategori keharusan. Apalagi setelah berkeluarga ada konversi impian itu yang tinggi tinggi gitu dibayar pake tiket, gitu. Ihik. Manusia gak pernah puas, ya.
But I think it’s oke, too. Sesekali, rasa nggak puas perlu juga, buat dikonversi jadi penyemangat. Seharusnya default Mode On nya, ya bersyukur. Be thankful for what we have. Di mari masih banyaaaak harus belajar soal itu *tutup muka sambil nyemil nastar*. Tiap hari ada ujiannya dan nilainya masih pas-pasan, kadang lulus nilai Excellent kadang gagal dan ngulang lagi, itupun setelah ngulang hasilnya cukup cukup makan doang.
Akhir tahun lalu, ketemu dengan sahabat SMP . Teci si empunya batik fraktal yang dapat beasiswa Chevening di London di UCL dan Fani, yang sudah resident Amerika tinggal di San Fransisco. Dan ternyata tiap kita masih punya impian masing-masing di dalam hati, dan kita ketawa karena semua impian itu berbeda banget dengan impian 5, 10, dan apalagi 20 tahun lalu saat kita satu sekolah.
At time like this, just like Teci said, banyak hal berubah, tapi the true of ourselves will stay and what we can do best about that is to be better that before. As cliche as it may sounds, I agree with that.
Dan obrolan kami seharian tanggal 29 itu kembali membuka impian yang kita punya di hati yang terdalam, dan somehow it doesn’t seem too impossible anymore. It’s “doable” (with God’s permit). Bagian kita kan salah satunya juga tetap menjaga api impian itu, ya. Sekecil apapun, udah bisa dimulailah. Soal waktu penggenapannya ya kan kita yakin bahwa proses adalah bagian dari penggenapan impian. Dan soal bagaimana mencapainya, ya itu dia makanya coba berjalan tiap hari ya, Ndang, sama pemberi impian di hati itu. Ya kan. Ya kan. Sejauh Timur dari Barat, rancangan Tuhan dengan rancangan kita, tertulis di Alkitab. Artinya, sebagus bagusnya rancangan kita, jauuuuh lebih bagus rancangan Tuhan, meski ya sering sebagai manusia saya yang sotoy ini tidak percaya dan suka memaksakan kehendak sendiri, again ya sotoy.
So please please don’t flush your hopes and dreams down the toilet. Apalagi toiletnya Virgin Train. Sangking besarnya impian dan pengharapan kita, bisa mampet nanti toilet di seluruh jaringan kereta api. Ihik.
*Yang LDR semoga segera berkumpul. Yang mau kuliah semoga segera tertera namanya di daftar penerima beasiswa dan diterima di kampusnya. Yang pengen jalan-jalan ke luar negeri semoga Dwidaya Tour mengeluarkan paket murahnya bersamaan bonus kantor keluar. Yang mau nikah semoga dibukakan matanya (atau mata calon pasangannya)*
- Rahasia Bahagia di Usia 100 Tahun - 15/02/2017
- Don’t Flush Our Dreams and Hope (Especially in The Toilet of Virgin Train) - 06/01/2017
- Mulan Menyelamatkan Bumi - 19/06/2016