Didiklah Ayahmu Sejak Kau Masih Dalam Kandungan

Dalam sejumlah nasehat, teori, maupun buku-buku, banyak ajaran yang sering disampaikan kepada para calon orangtua yang sedang menanti kelahiran buah hatinya. Salah satunya adalah: “didiklah anakmu sejak dia masih dalam kandungan”.

Bentuk pendidikan itu ada banyak macam. Mulai dari yang ilmiah-metodik hingga yang abstrak-transendental (ini kata asal comot saja, supaya kedengaran keren).

Contoh yang ilmiah-metodik adalah, kaum ibu biasanya mulai memperdengarkan musik klasik kepada calon bayinya. Komposisi nada dalam musik klasik ini –biasanya gubahan Mozart- dipercaya selaras dengan ritme kondisi lingkungan bayi di dalam perut ibunya. Dengan demikian bayi konon akan menjadi tenang dan damai.

Di awal-awal kehamilannya, ibumu juga ikut-ikutan cara ini. Alhasil, headphone Philips-ku pun aku relakan untuk ditekuk-regangkan mengikuti anatomi perutnya. Tak apa. Ini demi kau, River. Kalau misalnya aku ada duit lebih, headphone Sennheiser pun akan aku belikan untuk mendapatkan kualitas suara yang standar broadcast.

Adapun ibuku, sejak tahu istriku hamil, langsung menyuruhku banyak-banyak shalat, berdoa, dan mengaji. Salah satu surah dalam Al-Quran yang sering dianjurkan untuk dibaca saat menanti kelahiran bayi adalah surah Maryam dan Surah Yusuf. Pengharapannya jelas, jika kelak dia lelaki akan setampan Nabi Yusuf, dan apabila dia wanita maka akan secantik dan setangguh Maryam. Nah, ini salah satu contoh teknik abstrak-transendental.

Tambahan. Dalam sebuah buku tebal yang kami baca, pada minggu kehamilan ke-sekian, orangtua dianjurkan untuk mulai berbicara dengan sang janin. Pada minggu tersebut, sang calon bayi diperkirakan sudah bisa mendengar dan belajar mengenali suara ayah ibunya.

Demikianlah sekilas mengenai pendidikan pra-lahir ini. Intinya, seperti yang saya sebutkan di awal tadi, adalah mendidik seorang anak sejak dia masih dalam kandungan. Subhanallah. Betapa mulianya…

Sebagai calon ayah yang baik, aku pun selalu berusaha untuk menjalankan semua yang disarankan oleh para cerdik-pandai dan tetua tersebut. Tentu saja itu tidak mudah. Teori-teori pengasuhan tentu saja banyak berasal dari pengalaman empiris. Tapi, sekali lagi, selalu ada kemungkinan teori-teori tersebut bersifat kasuistik. Untuk si Svetlana cocok, belum tentu cocok untuk Asep. Demikian pula sebaliknya. Seorang pakar psikologi perkembangan bahkan pernah bilang, “Sebelum punya anak, saya punya LIMA teori tentang cara mengasuh anak. Tapi setelah itu apa yang terjadi? Saya punya LIMA anak yang tak punya teori.” Nah lho!

BACA:  Bottle’s Neck Sadness

Orangtua zaman sekarang wajib berterimakasih karena sudah banyak pelajaran yang telah diajarkan oleh para pendahulu. Kahlil Gibran misalnya, dengan lantangnya dia bisa bilang:

“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri

Engkau bisa memberikan rumah bagi raganya, tapi bukan bagi jiwanya
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok,
yang tak pernah dapat engkau kunjungi bahkan dalam mimpimu sekalipun…”

Atau ajaran yang disampaikan oleh Dorothy Law Nolte, seorang penyair Amerika dalam aforismanya yang termasyhur, Children Learn What They Live.

Anak belajar dari Kehidupannya.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
JIka anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Dalam sebuah shirah zaman nabi, ada seorang ibu yang memarahi anaknya karena sang anak tanpa sengaja mengencingi baju Rasulullah Muhammad SAW. Rasulullah pun menegurnya dengan bijak, “Noda di pakaianku ini dapat segera hilang tapi tidak demikian dengan luka hati anakmu.”

Di kisah yang lain, khalifah Umar Ibnu Khattab pernah dibuat heran oleh perilaku seorang sahabatnya. Sahabat ini dikenal sebagai seorang jago perang yang berperawakan gagah. Bahkan untuk menjaga citra kegagahan dan kegarangannya, dia tak pernah mencium anaknya. Umar pun menegurnya.

“Bagaimana mungkin engkau dapat dikatakan beriman? Bukankah Allah sendiri mencintai kelembutan? Aku sendiri mencium anak-anakku. Rasulullah pun amat menyayangi anak-anak dan cucunya. Bahkan ia rela memanjangkan sujudnya ketika shalat karena sang cucu bermain-main di punggungnya.”

BACA:  Siapa Duluan?

Herman Lantang. Foto: dok. Herman Lantang
Herman Lantang. Foto: dok. Herman Lantang
Aku juga mengenal seorang pria yang menurutku sangat memenuhi kriteria kejantanan. Dia seorang legenda pendaki gunung. Di masa mudanya dia pendiri sebuah kelompok pecinta alam kampus terkenal. Ratusan gunung dan medan sudah dijajalnya. Namanya Herman Lantang.

Suatu kali aku mengajak ibumu –waktu itu masih belum jadi istriku, masih penjajakan ceritanya– main ke rumah Herman Lantang. Bang Herman –begitu dia selalu ingin disapa– menyambut kami dengan baik. Aku yang terobsesi dengan Soe Hok Gie dapat banyak cerita dari Bang Herman, termasuk detik-detik terakhir saat Soe Hok Gie meninggal di pangkuannya.
Saat kami sedang asyik ngobrol, obrolan kami dijeda oleh kedatangan dua orang anaknya yang baru saja pulang entah dari mana. Errol dan Cernan namanya. Errol gagah dan gondrong. Cernan agak gempal. Umurnya sekitar 20-an. Jauh lebih muda dari kami.

Ada satu pemandangan yang membuatku takjub. Begitu masuk rumah, Errol dan Cernan bukannya langsung ke dalam tapi singgah dulu mencium pipi ayahnya!

Aku takjub karena membandingkan mereka dengan diriku sendiri. Saat seusia mereka, maukah aku singgah mencium pipi bapakku saat dia sedang menerima tamu?

Aku bahkan lupa kapan terakhir mencium pipi Bapak semasa hidupnya…

Di jalan pulang dari rumah Bang Herman itu, aku bilang ke Desanti, ibumu itu, “Aku ingin anakku kelak tak malu mencium pipi ayahnya, sekalipun ia gondrong dan bandel”. Aku bilang “anakku” bukan “anak kita” karena waktu itu ibumu masih menimbang-nimbang untuk menerimaku sebagai calon suaminya. Alhamdulillah sekarang dia sudah jadi istriku dan sedang mengandung anak pertama kami. Kamu. Insya Allah, River namanya.

Jadi begitulah. Sejak tahu kau ada di perut ibumu, aku mencoba mengingat-ingat kembali pelajaran-pelajaran kecil namun berharga yang mungkin tercecer atau terlupa. Ada banyak. Dari rupa-rupa orang dan tempat. Dari Kahlil Gibran hingga Herman Lantang.

Menanti kelahiranmu buatku seperti mendaras bacaan lagi. Mengulang pelajaran tentang hidup. Aku beruntung bisa memasuki fase hidup ini; menjadi suami dan, insya Allah, seorang ayah. Aku tahu ada jutaan orang di luar sana yang berjuang untuk sekadar menjadi suami atau ayah, sementara ada sejumlah orang lain yang melalaikannya. Ada banyak suami yang menyakiti hati istrinya, dan ada ayah yang tega meletakkan anaknya di atas rel kereta api hingga kaki sang anak putus terlindas.

BACA:  Pulang Memancing

Menjadi ayah itu seperti madrasah. Seorang lelaki yang tahu dirinya akan segera menjadi ayah, akan belajar untuk menekan egonya. Mengabaikan nafsunya pada sepatu boot Oakley, speaker Bose, Bike Friday, atau teleskop Sky-watcher.

Belakangan ini, aku semakin jago, aku tak pernah lagi telat meletakkan tangan di perut ibumu setiap kali kamu bergerak. Mungkin karena kamu sudah semakin besar sehingga gerakanmu juga sudah semakin lama dan sering. Di saat-saat seperti itu, semakin terasa kecilnya kami sebagai manusia. Sebuah detak kecil saja bisa membuat kami meneteskan airmata saking bahagianya.

Ya Allah, mahluk mungil yang Kau titipkan itu, telah mendidik kami untuk bersyukur, bahkan sejak dia masih dalam kandungan.

Lalu, menjadi ayah itu seperti tetirahan. Tempat istirahat setelah perjalanan panjang dan melelahkan. Seperti Anthony Swofford, seorang marinir Amerika, sepulangnya dari bertugas di Irak menulis sebuah memoar yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama, Jarhead.

Ceritanya panjang, namun dii bagian akhir dia menulis:

A story.
A man fires a rifle
for many years…
and he goes to war.

And afterwards
he comes home…
and he sees that
whatever else he might do
with his life…

build a house…
love a woman…
change his son’s diaper…

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga