Dia Bukan Lagi Alay

River, tadi malam aku termenung di semacam balkon di lantai 2, dan tak terhalang pandanganku hingga ke pelataran lobi. Di situ sedang ada acara tapping (rekaman) program musik. Performernya The Dance Company, D’ Masiv, dan seorang artis cewek yang aku gak tahu namanya. Sebelumnya Slank sudah tampil live untuk episode yang berbeda.

Apa yang ingin kuceritakan padamu ini bukan tentang artis yang tampil atau lagu-lagu mereka. Yang ingin aku ceritakan adalah penonton-penontonnya, yang mungkin sering engkau lihat berjoget dengan gerakan yang tak terlalu seragam, dan dengan itu engkau pasti menduga itu baru saja dilatih atau dilatih tapi kurang serius. Ya, karena mereka memang bukan dancer profesional seperti Agnes punya. Mereka pada umumnya adalah remaja-remaja yang tinggal di sekitar gedung kantor, atau tinggal jauh tapi sengaja didatangkan oleh talent agen seperti Mpok Elly.

Setiap kali ada tapping atau live acara-acara musik, remaja-remaja seperti mereka berdatangan, menyemut di pelataran lobi atau dekat air mancur. Kadang-kadang mereka juga berbaur dengan mahasiswa-mahasiswa berjaket almamater yang datang untuk bertepuk tangan di acara talkshow Tukul atau semacamnya.

Mereka datang dengan dandanan yang nyaris serupa, baju ketat dan celana pensil serta aksesoris yang mencolok. Bisa jadi itu pakaian terbaiknya. Di kantor, teman-teman menyebut mereka alay. Aku tak tahu pasti apa sebenarnya alay itu. Ada yang bilang itu singkatan “anak layangan”, dipakai untuk menyebutkan segerombolan ABG-ABG yang tak jelas juntrungannya. Semakin ke sini, sebutan alay itu makin mengerucut. Alay cewek sering diidentikkan dengan dandanan yang norak, kerjanya hanya gosipin cowok ganteng, dan kalau nulis sms pake gabungan huruf dan angka yang bisa bikin pening guru Bahasa Indonesia. Sedang alay cowok sering disamakan dengan maho, cowok kebanci-bancian yang rela melakukan apa saja asal disorot kamera. Mereka benar-benar ada. Muncul dari banyak tempat, seperti dari gang-gang sempit di belakang tembok pagar kantor.

BACA:  Anjing dalam Diri Kita

Ada yang datang karena memang nge-fans dengan grup band yang tampil, tapi pada umumnya mereka datang karena dibayar. Mereka memang dbayar, biasanya 30 hingga 50 ribu satu kali tapping. Itulah honor mereka untuk berjoget tanpa malu-malu.

Dan yang aku lihat tadi malam itu cukup memukau. Sebaris alay berbaris mepet ke panggung. 5 orang. 4 cowok dan 1 cewek yang –maafkan– agak susah membedakannya dari jauh. Gerakannya seragam dan berulang-ulang. Dua kali tangan diputar ke atas, dua kali ke kiri bawah, dan dua kali ke kanan bawah. Kadang dikasih improvisasi seperti orang menarik tali atau menggoyangkan saputangan imajinatif. Itu mereka lakukan sepanjang lagu. Bahkan untuk lagu melow seperti milik D’Masiv, mereka tetap menerapkan gerakan yang sama.

“Merusak lagu!” gerutu seorang teman yang menemaniku di balkon itu.
Teman itu tidak sendiri. Aku tahu ada banyak orang yang tak simpatik pada mereka. Seorang temanku yang necis dan parlente, jelas-jelas bilang jijik pada mereka.

Sejauh ini aku tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap mereka. Aku menulis ini karena kawan-kawan di program tempatku mencari nafkah duniawi berencana untuk mengangkat fenomena alay ini. Secara pribadi aku tidak bersepakat. Hal terakhir yang akan aku lakukan adalah menghakimi orang lain, dan aku tak membayangkan diriku akan sampai pada tahap itu.

BACA:  Belum dan Tidak

Tadi pagi, pulang kantor setelah semalaman menjaga editan, di pelataran lobi aku berpapasan lagi dengan kumpulan penonton alay-alay itu. Sebagian sepertinya sisa penonton-penonton acara tadi malam. Mereka mungkin menunggu taping program Derings, acara musik yang host-nya Sandra Dewi yang sentosa. Di dekat taman kurma yang sering menjadi tempat mereka nongkrong, aku menangkap sekilasan percakapan. Seorang alay cewek tampak memegang-megang perut seorang temannya.
“Hei, masih dateng aja, kasian bayinya tuh!” katanya. Wanita yang dipegang-pegang perutnya itu rupanya sedang hamil. Aku ingat istriku tiba-tiba. Ibumu yang kian tak sabar menanti kau lahir, Nak. Di Palasari, Bandung, sana.

Inikah alay itu? Inikah mereka yang oleh kami sering distereotipekan hanya mencari kesempatan untuk populer dengan menjadi groupies kacangan? Mungkin kami salah. Atau aku yang salah. Di kilatan mata perempuan yang baru dielus perutnya itu, aku melihat semacam usaha untuk kompromi dengan penderitaan. Dengan janin di dalam perutnya itu, apakah yang membawanya ke sini? Suara vokalis yang mewek2 kah? Bisa jadi bukan. Uang 35 ribu rupiah, mungkin.

Dan tadi siang, saat berangkat kembali ke kantor untuk menunaikan tugas lanjutan. Di gang sebelum kantor, aku berjalan di belakang seorang perempuan yang sering aku lihat ada di antara kerumunan penonton-penonton alay itu. Tapi kali ini dia tidak sedang menjadi alay. Pakaiannya bukan yang sering dia pakai saat menonton acara-acara musik. Aku lihat ada sedikit lubang di dekat kerah bajunya. Mungkin baju lungsuran dari entah siapa. Baju yang dipakainya itu adalah seragam kerja cleaning service di kantor di gedung baru sebelah kantorku.

BACA:  Tante Anna dan Tante Helen - Dont Pay It's Free

Dia memakainya dengan bangga. Dia bukan lagi alay, sehingga kami bisa berhenti memandangnya dengan tatapan seolah-olah tengkorak kepala kami lebih tinggi dari dia.

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga