–River, ini sekaligus sebagai kado pernikahan untuk sang mursyid, dan jawaban untuk seorang kawan yang bertanya—
Mungkin, inilah cara paling hemat untuk memberi kado.
Bandung gerimis malam ini. Kami baru saja pulang dari menghadiri sebuah acara pernikahan di daerah Hegarmanah. Yang menikah adalah orang yang kami hormati. Mursyid kami.
Seperti biasa di malam Minggu, Bandung disesaki orang-orang luar. Jalanan dipenuhi mobil plat B, F, atau N. Orang-orang bersesakan di gedung-gedung yang disulap menjadi kafe atau resto atau FO. Sementara orang Bandung sendiri mungkin lebih memilih berdiam di rumah, tidak kemana-mana.
Hanya sesekali tampak orang Bandung bergerombol, mengerumuni TV yang dipasang di pos ronda atau gerobak kaki lima. Persib sedang bertanding bola melawan Sriwijaya FC. Istriku orang Bandung berdarah Palembang, sedang aku pendukung setia PSM. Jadi malam ini kami abstain, tidak mendukung siapa-siapa. Biarlah keriuhan itu milik mereka, milik bapak sopir taksi yang kami tumpangi.
Sesekali mengecek Facebook, kami tahu Jakarta sedang disiksa oleh hujan seharian, dan tentu saja macet yang mengikutinya. Status FB teman-teman penuh serapah pada langit dan jalanan. Kenapa hujan kenapa macet! Ingin rasanya kujawab, kenapa tinggal di Jakarta.
Beruntunglah kami, yang meski telah ber-KTP Jakarta, sesekali masih bisa sesekali melarikan diri. Pulang ke rumah ibumu di Bandung, atau pulang ke kampungku di Makassar dan Bone.
Seperti kali ini. Kami di Bandung, mencoba menjaga jarak dengan Jakarta.
Beberapa hari lalu, aku menuliskan kekecewaanku di status dan note FB, soal aksi demo mahasiswa yang diwarnai kerusuhan di Makassar. Tak perlu waktu lama untuk mendapat tanggapan beragam.
Sahabatku seorang penyair di Makassar, menulis tanggapannya, bahwa dia sesungguhnya ingin mendengar orang Makassar memberi andil. Secara tersirat –maafkan aku kalau salah, An- dia tidak suka pada orang Makassar yang tinggal di luar Makassar yang hanya ingin melihat Makassar aman –dari jauh, tapi ketika ketika ada apa-apa hanya bisa mengutuk, memaki atau apalah semacamnya tanpa memberi solusi. Membaca tanggapannya itu, jujur, aku mesti bilang, aku merasa tersindir.
Seorang aktivis mahasiswa Makassar juga baru saja mengirimkan pesan kepadaku. Dia menyampaikan kekecewaannya soal pernyataanku tentang mahasiswa Makassar yang mappakasiri-siri (bikin malu).
Aku sudah minta izin padanya untuk memuat sebagian klairifikasinya, dengan perjanjian membuatnya anonim. Untuk memudahkan memahaminya, aku mengoreksi kesalahan ketik dan menerjemahkan sejumlah kalimat atau idiom lokal.
Berikut kutipan pesannya (huruf tegak dari saya)
“…saya mau bilang bahwa peristiwa di Makassar sebagian besar adalah konstruksi media. Kondisinya sangat berbeda. Tanggal 9 Desember itu ada berbagai front/aliansi yang ada di Makassar, dan tidak semua mengusung isu korupsi. Kalau Kak Ochan mengganggap yg pakasiri-siri (bikin malu) adalah meraka yg melakukan aksi di kantor gubernur, saya tidak mau menanggapi karena korlap (kordinator lapangan) aksi di kantor gubernur itu (*******) yang diwawancarai (TV***) di dalam dunia pergerakan di Makassar sudah di-X0 (kali nol- dianggap tidak ada) karena sudah teridentifikasi sebagai banpol (bantuan polisi,=cepu=mata-mata polisi), bahkan sebagian teman2 mencurigai dia adalah sedikit dari mahasiswa yang telah dilatih oleh BIN.
Tapi kalo Kak Ochan mengganggap bahwa mereka yang melakukan aksi penghancuran di KFC (yang sempat diberitakan media), meski bukan itu saja karena teman2 juga melakukan penghancuran terhadap beberapa properti negara seperti kantor polisi, mobil polisi, kantor demokrat, dll…
Kalau kata media tidak ada hubungannya antara korupsi dgn KFC, pertama saya cuma mau bilang bahwa teman2 yg melakukan aksi hari itu TIDAK membawa ISU ANTI-KORUPSI , tapi membawa ISU ANTI KAPITALISME DAN MILITERISME.
Jika media menganggap bahwa aksi KFC itu ditunggangi, maka teman-teman memang telah ditunggangi oleh keinginan untuk bebas dari sistem banal kapitalisme yg telah menghujam jauh ke sendi kehidupan kami. Kami memilih pola gerakan ini sebagai sebuah PILIHAN POLITIK.”
—
Membaca pesan itu membuatku menghela nafas panjang. Aku kasih lihat isi pesan itu ke ibumu. Kami berpandangan sesaat. Tiba-tiba aku merasa betapa jauhnya jarakku dengan mereka kini. Sesekali, setiap pulang ke Makassar, aku memang sering menyempatkan diri bertemu mereka. Ngobrol dan berdiskusi. Pertemuan-pertemuan semacam itu juga sesungguhnya berfaedah untukku. Aku bisa mencuri semangat dari mereka, sekaligus mengukur sudah seberapa jauh aku “hilang” dari radar mereka.
Dan kini, mereka mengirimkan surat bernada kecewa kepadaku, dan sahabatku yang penyair itu juga mungkin telah menggolongkanku ke dalam golongan orang-orang Makassar yang tak lagi peduli pada Makassar –yang hanya bisa mengutuk dari jauh.
Baiklah. Lalu ibumu bertanya kepadaku: mau dijawab apa?
Ini jawabanku.
Semoga kalian percaya, saya selalu mendukung apapun yang kalian perjuangan, tapi saya juga tidak kuat lihat kalian memecahkan piring nasi orang lain.
Ya. Semoga mereka percaya. Sampai batas yang mereka bisa. Sebagaimana mursyid kami, sang guru yang tadi malam kami hadiri pernikahannya suatu hari pernah bilang, “Saya akan selalu percaya pada seseorang, sampai pada batas ketika dia membuktikan sebaliknya.”
Baiklah, Kang. Selamat berbahagia dan selamat menikmati. 🙂 |
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023