Sadi memeriksa bagian belakang gitarnya. Ada goresan sedikit tapi tidak parah. Barangkali tadi mengenai kancing baju Rio, atau entah apa. Gitar Ibanez merah itu baru saja dia hantamkan ke Rio, adik laki-laki semata wayangnya. Ke bagian samping lengannya.
Sadi tidak benar-benar ingin menyakiti Rio. Dia hanya ingin memberinya pelajaran. Tapi Rio terlanjur bergelung-gelung di lantai, menangis seperti perempuan. Mungkin dia memang perempuan yang terjebak di tubuh laki-laki.
“Sekali lagi gue lihat lo ikut-ikut alay-alay itu, gue gak sayang kalau gitar ini patah dua. Joget-joget di tipi gak jelas. Semua orang lihat muka lo tauk! Lo mau jadi banci beneran?”
Rio masih sesunggukan. Air matanya makin deras. Sesekali dia mengusap lengannya yang sebelah kanan, tempat yang tadi kena hantam gitar Sadi.
“Sakit, Bang. Sudah… Sudah…” rintihnya.
Sadi merasa hatinya hancur. Anak yang menangis itu seperti tidak dia kenali lagi. Seperti bukan anak laki-laki yang dulu sering dia ajak main perang-perangan.
…
“Besok lo cari maskara yang tahan air. Muka lo jelek banget pakai yang itu…” katanya.
–Di Bawah Lindungan Eddie Vedder, Riverflo Publishing 2013, p. 115.–
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023