“Dalil Aqli” dalam Permainan Lego

Di ulangtahunmu yg ke-5 bulan lalu, Nak, kamu dapat banyak hadiah dari Om dan Tante tetangga. Salah satunya dari Om Welly, tetangga kita yang aku sendiri pun jarang ketemu karena dia sibuk terbang ke sana ke mari sebagai pilot sebuah maskapai nasional.

Om Welly ngasih kamu Lego Creator, mainan balok-balokan. Waktu kecil aku juga pernah punya Lego, tapi seingatku versinya lebih soft dan monoton. Lego sekarang macam-macam dan agak keras.

Dari semua mainan yang kamu punya, belakangan kamu sering main Lego ini. Hampir setiap malam Ayah pulang kerja, kamu mengajak main Lego. Belum lagi kalau libur. Biasanya kita berbagi tugas, Ayah yang membongkar dan mencari part-nya, kamu yang menyusun. Sering juga sebaliknya. Melelahkan sebenarnya, Nak. Menurutku kalau sudah terbentuk buat apa dibongkar lagi. Tapi karena kamu anak-anak, semua boleh kecuali satu: masuk mesjid pakai sandal. 🙂

Sebagai salah satu mainan tertua di dunia, Lego memang unik. Lego plastik kini sudah berusia lebih dari 50 tahun, sedangkan cikal bakalnya yang berupa balok kayu sudah ada jauh sebelumnya. Konon, kalau semua balok Lego yang pernah diproduksi disusun beriringan, maka panjangnya bisa mengitari Bumi 5 kali!

Dulu, aku tidak pernah berniat memberimu hadiah Lego. Males. Selain karena harganya muahaal, menjaganya juga susah. Bagian-bagian kecilnya bisa tiba-tiba hilang atau menggelinding ke bawah meja. Tapi gara-gara hadiah Om Welly ini, aku jadi sedikit berubah pikiran. Tak lama setelah itu, kamu dapat satu perangkat lagi Lego truk-trukan dari Ayah. Mudah-mudahan setelah ini jadi makin banyak. Siapa tau masih banyak Om dan Tante lain yang mau ngasih Lego lagi tanpa harus menunggu kamu ultah. Daripada ngasih batu akik mending ngasih Lego ya, Nak. Hehehe…

BACA:  Pertemuan dua anak

Mainan ini mungkin salah satu dari sedikit mainan yang “memaksamu” untuk berpikir. Belum lagi makna filosofisnya… (Buset dah, berat amat.. :-))
Eh tapi, ini serius, beberapa kali menemanimu main Lego, aku jadi ikut berpikir. Pernah satu kali satu balok hitam mata dua tercecer, dan sadel motornya jadi tidak bisa ditekuk-tekuk. Memang sih akhirnya bisa digantikan balok mata dua warna ijo dan fungsinya tetap sama. Tapi tetap kepikiran, kemana balok hitam itu? Terselip di mana dia?
Iya kalau bisa digantikan, bagaimana kalau tidak?
Ayah jadi ingat petuah yang sering sekali diomongkan orang, banyak hal kecil di sekitar kita sering diabaikan sampai kita kehilangan dan butuh keberadaannya.

Kemarin saat bongkar-bongkar store-cam (gudang penyimpanan alat) di kantor baru, aku nemu sekrup. (Oya, aku belum cerita ya soal pindahan kantor ini. Nanti ya kalau sempat…)
Balik lagi ke soal sekrup tadi. Ayah jadi ingat waktu SD, di rumah ada tape recorder. Karena penasaran kenapa itu barang bisa bunyi, aku bongkarlah diam-diam. Satu per satu sekrupnya aku lepas hingga terbukalah seisi dalamnya. (Tentang beda sekrup, baut, dan mur, silakan cari di wikipedia). Setelah rasa penasaran hilang, aku pasang kembali sekrup ke lubang masing-masing. Tapi ternyata ada tersisa satu sekrup. padahal semua lubang rasanya sudah terisi. Karena saya pikir itu mungkin sekrup pelengkap saja, maka Ayah biarkan saja seperti itu. Toh cuma satu ini. Dan begitulah ceritanya kenapa tape recorder itu tidak pernah lagi bisa berbunyi. Sampai sekarang.

BACA:  Membayangkan Jakarta Besok

Makanya sekarang pun kalau lihat sekrup atau baut atau mur yang terlunta-lunta, yang pertama aku pikirkan adalah darimana dia berasal. Kenapa bisa sampai ada di situ? Apalagi kalau agak karatan atau ada bekas guratannya, aku selalu membayangkan dulu betapa dia pernah berguna. Betapa dulu ia sering dihajar obeng…

Lalu apa hubungannya sekrup dengan Lego?
Karena mereka sama-sama kecil, Nak. Lego adalah miniatur kehidupan kita. Mobil-mobilan, motor-motoran, rumah-rumahan, pesawat-pesawatan semua tersedia. Tapi pesannya jelas: kamu pengen sesuatu, kamu bangun sendiri. Tak ada Lego yang dijual sudah jadi.
Lalu keinginanmu untuk membongkarnya setelah jadi, itu menggambarkan kefanaan. Baik di dunia Lego maupun dunia kita, tak ada yang abadi. Dalam hidup yang repetitif ini (panta rei), pada akhirnya kita hanya serpihan, remah-remah marimas.
Seperti sekrup, Lego mengajarimu bagaimana hal-hal kecil bekerja bersama untuk menopang eksistensi sebuah wujud besar. “Tak ada semeter tanpa sedepa,” kata penyair Anwar Jimpe Rahman. Sejak pantai adalah ribuan pasir yang berkoalisi, maka semua punya makna. Sampai di sini, bermain Lego akan menuntunmu pada pemahaman yang transendental: yang renik akan menuntunmu pada yang maha. Semacam “dalil aqli” perangkat mainan. Yang Makhluk akan mengantarkanmu pada yang Khalik.
Jadi jangan pernah meremehkan, misalnya, seorang anak magang culun di kantormu yang tugasnya hanya memfoto copy atau membuat kopi.

BACA:  Keuntungan Bekerja di Hari Libur

oh kopi?
jam berapa sekarang? sudah jam 5 sore?
pantes…
‪#‎ngopisekbenraedan‬

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga