Cerita Sepatu dan Perihal Bagaimana Kita Bercita-cita

Beberapa hari lalu, saya kembali melakukan perjalanan dari Solo menuju kampung halaman saya di Blora. Seperti biasa, saya melakukan perjalanan itu sendirian bersama motor kesayangan. Perjalanan berlangsung rata-rata 3,5 jam. Jika hujan atau jalanan agak padat, atau saya sedikit bersantai di toilet SPBU di tengah jalan, perjalananan akan berlangsung 30 menit lebih lama.

Saya melakukan perjalanan siang hari terik. Sekira pukul 10 siang. Itu artinya saya akan tiba di kampung halaman yang melahirkan sastrawan Pramoedya Ananta Toer itu sekira hampir pukul 2 siang.

Jika Anda bukan orang Jawa Tengah, saya perlu menjelaskan pada Anda bahwa saya membelah Kota Purwodadi yang salah satu keunggulan sumber dayanya adalah sawah dan hutan, tepatnya hutan jati dan hutan pohon kayu putih. Biasanya, saya akan berdoa kepada Tuhan agar motor saya tidak bocor di tengah hutan. Saya pernah mengalaminya, yang berakibat mendorong motor sendirian di jalanan hutan yang sepi, panjang dan naik turun. Rasanya, cukup membuat saya ingat bahwa manusia memang penuh keterbatasan.

Pada jalur hutan itu, terdapat kampung-kampung kecil dan miskin. Pekerjaan warganya adalah meladang dan beternak. Indikator kemiskinan saya peroleh secara kasat mata saja: rumah mereka beralas tanah, berdinding gebyog (anyaman bambu), tanpa mebel apalagi interior seperti pada kebanyakan rumah Anda, aliran listrik yang watt-nya sangat kecil, sebagian jika kita menelisik lebih ke jalan setapak lebih jauh, saya yakin, peradaban tanpa listrik itu masih ada.

Siang terik itu, anak-anak SD dan SMP tepat pulang sekolah. Mata saya menangkap begitu saja langkah-langkah kaki mereka. Saya, entah kenapa, mengamati sepatu mereka. Melihat sepatu-sepatu bocah kampung itu, saya seperti berkaca pada masa kecil saya sendiri.

Bapak saya dahulu adalah seorang tukang becak. Sedang ibu saya, adalah seorang buruh cuci. Sebab kondisi tersebut, walaupun saya dapat mengejar beberapa keterbelakangan lewat buku-buku di perpustakaan sekolah, namun, satu hal yang tentu kewalahan untuk saya kejar hingga kini adalah pengetahuan tentang soal-soal gaya hidup. Selain selera musik dan film saya buruk, saya juga tak tahu apa-apa soal fashion. Ketiga hal itu, saya pelajari belakangan lewat pergaulan semasa kuliah. Belakangan, ketika bekerja, saya merasa bahwa “fashion” ternyata penting. Saya biasa bekerja untuk beberapa LSM dan NGO. Lingkungan pekerjaan di NGO Internasional, belakangan  membuat saya merasa harus menyesuaikan diri untuk membeli baju sedikit mahal, kosmetik dasar seperti bedak, lipstick dan pensil alis, juga…sepatu. Ya, saya kemudian berkenalan dengan Converse, Nike, atau Adidas. Tentu saja saya membelinya di Sport Station ketika garage sale up to 70%.

Pada akhirnya, saya mengimani perkataan Vivi Xu dalam film serial Meteor Garden, bahwa sepatu yang baik akan membawa kita ke tempat-tempat yang baik. Sepatu-sepatu mahal itu memang sangat enak dipakai dan entah kenapa, sangat meningkatkan rasa percaya diri.

BACA:  Ambisi Orangtua yang Bisa Membunuh Bahasa

Melihat sepatu “murahan” bocah kampung itu, saya teringat ketika SMP dahulu, saya mengulang ujian berlari 10 km karena tidak sanggup memenuhi waktu yang ditentukan guru olahraga. Peristiwa itu sangat berkesan bagi saya hingga saya memang memiliki dendam pribadi soal berlari. Saya kemudian sangat sering berlari, dan hingga kini, berlari justru menjadi hobi. Di atas motor, saya kok tiba-tiba terpikir: “Kenapa saat kecil dulu saya tidak menyadari bahwa sepatu mahal dapat mendukung aktivitas berlari? Kenapa saya tidak sadar bahwa teman-teman atlit basket dulu memakai sepatu bagus dan ringan hingga kaki-kaki mereka lebih lincah dan tentunya “membentuk identitas”. Kenapa saya tidak paham bahwa sepatu hampir jebol atau sepatu murah dengan alas karet yang begitu berat itu membuat saya lebih gampang lelah?”

Saya mencoba menerka-nerka, dan kemudian bersyukur bahwa pengetahuan tentang sepatu tidak cepat-cepat datang menghampiri saya. Jika saya paham tentang hal itu, barangkali saya akan menjadi gadis yang lebih tidak percaya diri (walaupun bersepatu buruk, saya dulu berprestasi di sekolah. Saya juga kemudian ingat, saat mewakili sekolah berpidato bahasa Inggris tingkat provinsi, saya juga memakai sepatu sangat buruk), saya akan memaksa Bapak untuk dapat membeli sepatu mahal, atau bahkan saya ingin mencuri hanya gara-gara sepatu.

BACA:  Ketika Bayi-bayi Sloth Ngobrol...

Pengetahuan, ternyata, membangkitkan ekspektasi. Saya bersyukur pengetahuan tentang sepatu hadir ketika sudah dapat membelinya sendiri. Cerita ini mungkin tidak menarik buat Anda, tapi memang tidak sederhana bagi saya.

Selain soal sepatu, adalah soal cita-cita.

Dari mana manusia memperoleh konsep paling awal tentang sebuah cita-cita? Saya pikir, kita memperolehnya dari dimensi pengetahuan kita yang terbatas.  Saya hanya mampu membentuk keterbatasan itu lewat buku dan sedikit pergaulan. Jika kini saya menulis, menerjemah dan menjadi juru bahasa, ya kebetulan karena keterbatasan saya hanya semacam itu. Anak tetangga saya saat ini bersekolah pilot pesawat Boeing di Amerika. Ayahnya adalah seorang pilot pula, namun hanya untuk pesawat komersil. Kita dapat menduga bahwa ayahnya memperluas keterbatasan itu untuk anaknya.

Seorang cucu pejabat di Jakarta yang saya ajar mengaji, tentu memiliki dimensi “keterbatasan” yang lain tentang cita-cita. Lingkungan keluarga yang terpelajar, terhormat, serta bergelimang fasilitas. Di usia balita, ia telah membaca buku-buku berbahasa Inggris yang berisikan cerita petualangan tokoh-tokoh dengan profesi yang berbeda-beda ke beberapa negara. Buku yang sangat bergizi itu pun membentuk dimensi keterbatasan mereka soal cita-cita. Mereka akan segera bersekolah ke Eropa, mengenal pergaulan kosmopolit dan global, dan kelak akan meneruskan orang tuanya sebagai ekspatriat dan elit. Sebuah lingkaran “orang-orang kaya yang mustahil menjadi miskin”.

Sementara, anak-anak di Papua dan juga di Sangihe, sejak kecil telah akrab dengan minuman keras dan seks bebas. Mereka akan segera pergi ke hutan atau melaut. Mereka masih sangat akrab dengan kekerasan dan senjata tajam, yang pada waktu-waktu tertentu menyumbang darah pada perang saudara atau adu domba. Kita dengan ironi menyebut hal itu sebagai tradisi. Kita sulit mengajukan mosi tentang apa yang disebut beradab atau tidak beradab, bermoral, atau tidak bermoral.

BACA:  Kecombrang dan Keajaiban-keajaiban Kecilnya

Anak-anak yang bersekolah di kota kecil di kabupaten, belajar lewat buku-buku “LKS” atau buku terbitan lokal yang kontennya tidak pernah diperbarui sejak berbelas tahun lalu. Teks-teks deskripsi akan selalu bercerita tentang candi dalam dua paragraf. Dialog-dialog yang dibangun dalam pelajaran bahasa di buku teks sekolah negeri, tidak pernah memperluas pengetahuan. Sedangkan TV swasta yang dapat mereka akses menayangkan sinetron yang menawarkan imaji kesenangan yang miskin hakikat soal cita-cita yang baik. Guru mereka juga sangat jarang membuka keterbatasan itu. Internet tersedia, tapi mereka tetap tidak tahu apa yang harus mereka cari di Internet sebab akar konsep makna “terdidik” atau “progresif” yang serba minimal.

Bagaimana dengan bocah-bocah kampung dengan sepatu buruk di hutan Purwodadi itu?

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa

Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi

Dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna

Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta.

(Jembatan – Sutardji Calzoum Bachri)

Aih.

Rumah saya sudah dekat ternyata.

Saya memacu motor lebih bergegas. Saya sudah kangen dengan Ibu saya.

Kalis Mardiasih
Latest posts by Kalis Mardiasih (see all)

1 Comment

Leave a Reply

Silakan dibaca juga