Bukan Bobo

Kalau kamu lupa, sini aku ingatkan. Tadi sore kita ke Bobo Fair, Nak. Di Jakarta Convention Centre. Lumayan rame. Ada banyak stand yang menawarkan produk untuk anak-anak. Segala macam susu dan vitamin berebut minta perhatian. Ada juga booth untuk hiburan, seperti tempat belajar main inline skate dan kereta-keretaan. Kamu banyak ketawa dan lari-lari. Kita beli camilan, kue-kue, dan minuman. Di salah satu booth, kita malah dapat bonus pijat. Pijat untuk bayi, tentu saja. Bukan untuk bapaknya.

Bobo masih segitu-segitu aja, Nak. Dari aku kecil masih begitu tampangnya. Tak banyak berubah. Umurnya di-rem. Dia tidak menjadi beruban atau jenggotan sebagaimana orang yang bertambah tua. Bajunya saja yang tambah kinclong, jadi agak-agak spotlight gimana gitu. Bobo inilah, Nak, yang menemaniku tumbuh. Telinga panjangnya itu jadi penghiburku melewati masa-masa awal mengenal aksara. Sebenarnya sebelum Bobo, aku sudah membolak-balik majalah anak-anak lainnya. Tapi itu pada umumnya lungsuran dari generasi sebelumnya. Aku punya majalah Kuncung, Tomtom, Ananda, dan Kawanku. Tiga nama yang pertama itu sudah berhenti terbit, sedang yang terakhir masih bertahan. Tempo hari, kita sempat main ke salah satu kantor grup Gramedia yang menerbitkan majalah Kawanku dan dapat hadiah majalah itu dari Bu Reda Gaudiamo, publisher-nya. Bentuknya sekarang sudah semakin mengecil, hampir seperti buku tulis.

BACA:  Pelangi Punya Siapa?

Tapi dari semua majalah-majalah itu, tak dipungkiri memang Bobo-lah yang paling populer. Mungkin karena karakter-karakternya kuat. Tak hanya Bobo sendirian yang membuat majalah ini bisa bertahan dan disukai sekian lama, melainkan dia ditemani oleh Upik, Coreng, Paman Gembul, Bona, Rongrong, dan Oki. Mereka semua berkolaborasi menyampaikan pesan kepada anak-anak se-Indonesia, bahwa kegembiraan itu perlu, bahwa kejahatan dan hal buruk tak akan pernah menang melawan hal baik. Mereka semua berjasa menggambarkan itu, termasuk Siti Sirik si penyihir jahat yang seringkali merelakan dirinya gosong terkena mantra Juwita.

Pesan. Bagaimana kita bicara tentang pesan, Nak. Tentang betapa kita mengagumi kesungguhan orang-orang untuk menjaga makna pesan agar tetap sampai tanpa terdirtorsi. Semisal ayah sejati kepada anaknya. Seumpama aku kepadamu, Nak. Aku bilang umpama, karena aku belum tentu bisa. Hampir mustahil menyampaikan pesan yang tak terdistrorsi kepadamu, karena hidupku sendiri penuh distorsi.

Dalam safari bergurunya, Nabi Musa dibuat heran oleh tindakan Nabi Khidir yang menegakkan sebuah tembok rumah yang hampir roboh. Nabi Musa, yang sebelum bertemu Nabi Khidir sempat menyebut dirinya sebagai mahluk paling alim di bumi, tak bisa menerima begitu saja tindakan Nabi Khidir. Mengapa dia harus menegakkan sebuah tembok di kota yang berisi orang-orang kafir yang tak mau menerima mereka dengan baik? Sebelumnya, Nabi Khidir melubangi perahu nelayan yang memberi mereka tumpangan dan membunuh seorang anak kecil yang mereka temui.

BACA:  Anak Itu Seperti Rumah

Nabi Musa akhirnya menyalahi janjinya karena tak tahan untuk tidak mempertanyakan itu semua.

Lalu, seperti yang diceritakan dalam Al-Quran, Nabi Khidir menjelaskan semua alasan tindakannya. Dia mendirikan kembali tembok yang hampir roboh itu karena di bawah tembok itu terkubur harta kakak beradik anak yatim. Harta itu warisan dari ayah mereka yang tak mereka ketahui. Bila tembok itu rubuh, harta itu akan ditemukan oleh warga kota yang akan mengangkangi harta itu karena kedua kakak beradik itu masih terlalu kecil untuk mengelolanya. Nabi Khidir, dengan pengetahuannya, melindungi harta itu hingga tiba saat yang tepat untuk sampai ke tangan kedua anak yatim itu.

Seorang guru, menceritakan kembali kisah ini kepadaku, Nak. Disitirnya ayat yang menjelaskan kejadian ini. Kata guru itu, Nabi Khidir adalah sarana sehingga amanah sang ayah sampai ke tangan anak-anaknya. Tapi yang membuatnya sampai sesungguhnya adalah karena ayah anak-anak itu sendiri adalah orang shaleh, orang baik. Keshalehan dan kebaikannya itu membuat pesan yang ditinggalkannya dijaga oleh Allah. Alam semesta bahu-membahu menjaga dan meneruskannya.

Lalu kami, Nak, apakah yang bisa menjamin pesan kami sampai padamu? Kami bukan orang baik. Dan kami juga bukan Bobo.

BACA:  Jangan Hujan Malam Ini
Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga