Kawanan semut itu terus merubung seekor rama-rama yang baru saja lulus jadi kepompong. Sayapnya belum lagi berwarna-warni. Tubuhnya masih ringkih. Ia baru belajar mengenali sayap dan segala tentang dirinya yang baru, hingga takdir membawanya pada serombongan semut yang tampak ulet bekerjasama. Para semut itu bahu membahu mengangkut si rama-rama yang malang. Tubuh hitam mereka yang kecil, seolah memiliki kekuatan berlipat ganda ketika harus melaksanakan tugas dari Sang Ratu.
Sambil berdiang di bawah sinar mentari pagi, saya terus mengamati pergerakan para semut itu di tembok rumah kami. Pelahan tapi pasti, rama-rama mulai dibawa merambat ke atas. Menuju plafon rumah. Di salah satu sudut rumah kami, sarang mereka berada, sepertinya. Menyaksikan pemandangan sederhana itu, ingatan saya seketika melayang ke masa ribuan tahun silam. Ketika seekor semut intelijen mengabarkan kedatangan baginda agung Nabi Sulaiman as, yang mereka junjung tinggi.
Kala itu, Sulaiman dan bala tentaranya sedang akan melintas di Lembah Semut. Maka demi mengamankan perjalanan rombongan mulia itu, kerajaan semut pun merapikan diri.
“Hei para semut, masuklah ke dalam sarangmu sebelum pasukan Nabi Sulaiman as itu datang, agar kamu tidak dibinasakan oleh injakan kaki Sulaiman dan bala tentaranya, sedang mereka tidak menyadari keberadaanmu di bawah telapak kakinya. Sebab kita begitu kecil dan mereka sangatlah perkasa.” (QS an-Naml [27]: 18)
Ternyata Baginda Sulaiman as mendengar perintah semut intelijen itu kepada kaumnya. Maka ia pun tersenyum dan tertawa–lalu berdoa:
“Rabbi awji’ni an asykura ni’matakallati an-amta ‘alayya wa ‘a la walidayya wa an-a’mala salihan tardhaahu wa adkhilni birahmatika fi ‘ibadika s-salihin: Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku & kepada kedua orangtuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan Rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS an-Naml [27]: 19)
Jika seorang nabi seperti Sulaiman saja lantas berdoa sedemikian rupa hanya dengan melihat semut, kenapa kita tak jua mengambil pelajaran dari banyak hal yang terkadang tampak remeh. Saking sepelenya, kita gagal mengambil pelajaran dari hidup sendiri. Padahal jelas tak ada yang tersia dari ciptaan-Nya. Semua jadi bagian penting yang saling bertautan dan patut dijadikan suri tauladan. “… Allah membuat perumpamaan-Nya bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nuur [24]: 35)
–Depok, 8 Rajab 1437 H