Risa masih sangat kecil saat itu, belum bersekolah. Sehari-hari ia hanya bermain di rumah bersama adiknya yang masih bayi dan ibunya yang bekerja sebagai tukang jahit.
Pada suatu hari, si adik bayi sakit dan harus dibawa ke Puskesmas. Ayah Risa, Pak Arwoko, yang bekerja di sebuah pergudangan beras, sedang tak punya uang. Bu Arwoko pun harus merelakan uang tabungannya untuk menebus setengah harga obat yang berjumlah Rp.2500. Setelah itu tak ada lagi uang yang tersisa, bahkan untuk membelikan sebuah balon yang diinginkan Risa.
Pak Arwoko sebenarnya bisa mendapat uang tambahan, asal ia bersedia bekerja sama dengan seorang cukong beras yang ingin memanfaatkan posisinya sebagai kepala gudang. Koh Abeng, pengusaha beras itu membutuhkan gudang untuk menimbun beras yang akan dijualnya lebih mahal saat persediaan di pasaran sudah menipis. Semua gudang sudah disewa oleh Koh Abeng, kecuali gudang yang berada di bawah tanggung jawab Pak Arwoko. Pak Arwoko menolak. Nilai kejujurannya jauh lebih mahal daripada segepok uang yang ditawarkan Koh Abeng.
Di kamar, Bu Arwoko menangis sambil memeluk anaknya. Sungguh bahagia dia memiliki suami yang jujur dan amanah seperti Pak Arwoko. Di tengah himpitan kesulitan ekonomi, mereka mendapat pelajaran berharga yang bisa diceritakan kelak kepada anak-anak mereka, kepada Risa dan adiknya.
Pengalaman masa kecil itu sangat membekas bagi Risa. Betapa keras dan pedihnya sebuah pelajaran tentang kejujuran. Namun tempaan orangtuanya membuat Risa menjadi jauh lebih kuat. Maka ketika ia sudah dewasa dan memegang posisi penting, ia pun tak merasa berat untuk menolak uang sejumlah USD 250.000 dari orang yang membutuhkan perizinan dengan jalan menyogok.
Risa memasang nama Arwoko di papan namanya dengan bangga. Dan ia tahu apa artinya. Nama belakangnya itu adalah tanda integritas.
Kisah Risa Arwoko ini bisa disaksikan dalam film Selamat Siang, Risa!. Film garapan sutradara Ine Febriyanti ini adalah satu dari empat film pendek yang terangkum dalam omnibus Kita Versus Korupsi. Kita Versus Korupsi adalah produksi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Transparency International Indonesia (TII), Cangkir Kopi, USAID, dan Management Systems International (MSI). Film ini diniatkan sebagai film penyuluhan tentang pemberantasan korupsi.
Selain Ine Febriyanti, tiga sutradara lain juga bekerja keras menyampaikan pesan anti-korupsi dalam film mereka, yaitu Emil Heradi (Rumah Perkara), Lasja F. Susatyo (Aku Padamu), dan Chairun Nissa (Psssttt… Jangan Bilang Siapa-siapa).
Semua film digarap dengan ide cerita yang sederhana, berangkat dari kejadian sehari-hari yang sering kita temui di sekitar kita. Lurah yang khianat di Rumah Perkara, anak muda kebelet nikah yang bimbang ingin menyogok petugas KUA di Aku Padamu, atau guru dan siswa yang doyan mencatut harga di Psssttt… Jangan Bilang Siapa-siapa.
Tokoh-tokoh dalam film itu mungkin adalah tetangga-tetangga kita, keluarga kita, atau bahkan diri kita sendiri. Dan dengan demikian, film Kita Versus Korupsi ini menjadi penting sebagai alarm. Barangkali kita lupa. Atau sengaja abai.
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023