Bacaannya Yang Kami Rindukan

Selalu ada hal-hal sederhana yang akan kita rindukan, Nak, pada sesuatu –atau seseorang– yang jika tiba saatnya tak bersama kita lagi.

Bertahun-tahun, aku menyusuri jalan-jalan yang tak aku akrabi. Kadang-kadang singgah setiap kali bertemu menara mesjid. Di waktu-waktu shalat yang bacaannya jahr, sesekali bertemu juga dengan imam yang terdengar serupa. Serupa dengan bacaannya. Lambat tapi tegas.

Ketika aku kecil, sering aku dengar dia menyebut nama qori favoritnya, Muammar ZA atau Haji Muhammadong. Di kemudian hari, aku baru sepakat betapa bacaan mereka itu memang menggetarkan. Aku dibuatnya seperti sedang berdiri di mulut sebuah lorong, yang di ujung sebelah sananya adalah surga. Panjang, dalam, dan ikhlas.

Dalam satu hari, tak pernah kami benar-benar terpisah. Maghrib adalah saat di mana kami sudah harus berada di rumah, di manapun kami berada siangnya. Seringkali masih ada sisa bau lumpur di tubuhku ketika aku berdiri makmum di belakangnya, berharap bisa segera meneriakkan amin dengan huruf “i” yang panjang. Lalu bersama abang dan adik-adikku berusaha menahan ketawa ketika sujud.

Itulah. Setiap hari, dia, bapakku, berusaha menunjukkan, ada imam di keluarga kami. Dan kami tak perlu khawatir.

BACA:  3 Urinoir

Suara seperti bacaannya itulah yang bertahun-tahun aku cari. Tak pernah kami sempat merekamnya sebelum dia pergi. Dan ketika rindu itulah, sering aku mendatangi mesjid entah di mana, berharap sang imam membaca surah seperti caranya. Kerinduan. Hanya itu yang ingin aku lepaskan.


Lalu aku berpikir, Nak, kelak, apa yang akan kau ingat dariku? Apakah suaraku yang tak lagi bisa kau dengar, masih bisa membawamu ke tempat-tempat yang baik?

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga