Peringatan: ulasan mengandung spoiler!
Ada Apa dengan Cinta (AADC) adalah sebuah legenda perfilman Indonesia. Legenda yang bermula dari zaman di mana euforia reformasi masih terasa segar di ingatan. Sebuah gambaran dunia remaja saat itu dinarasikan dengan serius oleh Rudi Soedjarwo. Anak SMA dengan geng eksis, eskul mading adalah eskul keren, dan lomba puisi dimenangkan pelajar yang “paham” sastra adalah beberapa wacana yang menjadi latar di mana AADC tampil membumi, mewakili dunia remaja yang heboh namun punya sisi sunyinya sendiri.
Plot yang dibangun menjadi sedemikian serius saat isu broken home ditampilkan lewat peran Alya yang rapuh dan Rangga yang sinis. Alya mencoba bunuh diri karena menjadi saksi KDRT. Sedangkan Rangga ditinggalkan ibunya tanpa penjelasan. Film ini semakin mengesankan saat isu ’65 disisipkan. Bapak Rangga semacam tapol yang sering mendapat teror dari massa. Bayangkan dunia SMA yang menyimpan beban gelap keluarga. AADC berhasil mengangkatnya ke permukaan dengan sukses.
Simbol-simbol yang mewakili pertentangan dua budaya juga bertebaran. Anak gaul nontonnya konser band, anak cupu misterius mainnya ke toko buku loak. Anak gaul joget-joget modern dance, anak cupu misterius mojok sama tukang kebun sekolah. Dua budaya ini lantas dipersatukan oleh puisi dan dipisahkan oleh bandara.
Empat belas tahun kemudian…
Indonesia masih di era reformasi. Presiden empat kali berganti. Kelas menengah tumbuh pesat. Teknologi komunikasi tak karuan mutakhirnya. Menonton AADC yang diputar lusinan kali di televisi bagai menyelam ke kehidupan lawas, dengan wajah-wajah artis yang tiba-tiba tampak kusam dari terakhir yang bisa diingat. Nostalgia jelas ada. Tetapi, benarkah banyak dari penggemar AADC yang menunggu kelanjutan cerita Cinta dan Rangga?
Menunggu tanpa kepastian untuk sebuah film adalah doa di urutan sekian-sekian. Jauh di bawah nomor menunggu baikan dengan mantan. Belum ada pernyataan dari sineas tertentu setelah meledaknya ADDC di bisokop bahwa sebuah rumah produksi segera merencanakan sekuelnya. Ini berbeda saat penonton sadar akan terjebak dengan euforia Harry Potter selama 7 seri, LOTR selama 3 seri, Twilight 3 seri dll. AADC tidak sedari awal dipersiapkan menjadi dwilogi, trilogi bahkan tetralogi. Kelanjutan AADC adalah sebuah ruang terbuka untuk siapa pun yang ingin meneruskan cerita Rangga dan Cinta. Meski sinetron AADC sempat tayang, tapi begitu mudah diabaikan karena kualitasnya yang jomplang.
Lalu Line –aplikasi pesan instan mobile—tiba-tiba mengeksekusi nasib AADC menjadi mini drama. Diunggah di Youtube pada 6 November 2014, video ini ditonton enam juta kali. Luar biasa untuk sebuah iklan layanan chatting. Ceritanya sederhana, mengenai sebuah pertemuan setelah melewati sekian ratus purnama. Ada adegan bandara. Ada buku puisi yang terselip. Dan ada fitur pencarian teman sekolah di ponsel pintar. Betapa dunia sudah berubah! Tapi perasaan kita tak pernah berubah (?)
Demam AADC kembali muncul. Desas-desus beredar. AADC 2 sedang digarap. Konferensi pers diadakan, temu kangen pemain AADC ditampilkan di berbagai sampul majalah. Di sela-sela promosi catering diet yang mewah dan olahraga rutin, Dian Sastro mengabarkan di akun Instagramnya bahwa Jogja menjadi lokasi istimewa untuk sekuel AADC.
28 April 2016, AADC 2 tayang serentak di tiga negara. Masyarakat sudah menyambutnya sejak trailer resmi diluncurkan. Meme “Jahh—hat” bertebaran di linimasa. Dilanjutkan dengan banyak meme “maafin aku yang dulu”. Diprediksi bahwa AADC 2 akan membawa sindrom baper masa lalu sesuai zeitgeist yang diwakilinya yakni: rekonsiliasi atas luka yang belum mengering.
Seorang teman bercerita bahwa temannya dari Gresik datang jauh-jauh ke Jogja sehari dan hanya menyambangi AADC 2 di bioskop serta beli oleh-oleh di Malioboro. Karpet merah digelar di Jogja. Entah, berapa pertambahan turis yang berasal dari efek samping AADC 2 di kota gudeg ini. Saya sendiri penasaran, sebagai salah satu penonton AADC yang kebetulan tumbuh tujuh tahun terakhir di Jogja, ingin tahu sejauh apa eksekusi Riri Riza terhadap makna “rekonsiliasi” dan bagaimana kacamata Jakarta memandang Jogja.
Seorang teman merenung lama. Ia terus mengucap potongan puisi Aan Mansyur yang berjudul Tidak ada New York hari ini yang sejatinya dibuat khusus untuk AADC 2. “Jurang antara kebodohan dan ingin memilikimu lagi… adalah tanda tanya,” gumamnya di parkiran, di atas motor, di depan toilet.
“Jurang antara kebodohan dan—“
“Dan kemiskinan adalah kapitalisme!” sambar saya cepat. Ia tergelak. Saya bahkan lupa saat itu Hari Buruh. Tetapi semakin penasaran, benarkah AADC 2 mampu membawa kembali masyarakat ke euforia bersastra? Plus berkesenian.
Tanpa kudapan, kami dengan khusyuk menonton.
“Satu sampai sepuluh, kamu beri nilai berapa?” tembak saya langsung setelah lampu dinyalakan dan hanya tersisa empat orang penonton yang membaca tuntas daftar credit title. Teman saya menolak. Kami putuskan membawa AADC 2 ke warung soto. Dalam pembahasan yang meluber, kami simpulkan AADC 2 mengecewakan. Tidak ada sesuatu yang menarik di sana kecuali dua dagangan utama, lakon dan tempat plus kesenian.
#1 Lakon
Saya mendapati bahwa narasi pembuka cerita gagal. Ada detail-detail kecil yang mengganggu. Dialog Memet yang menanyakan apakah Karmen seorang pecandu? Padahal ia adalah suami Milly yang seharusnya sudah mafhum nasib anggota geng Cinta. Pengumuman pertunangan yang heboh, namun janggal. Adakah sebuah geng mamah muda yang tidak peka pada cincin baru yang dikenakan salah satu anggotanya, dan tidak peka mengumumkan kabar tunangan di depan sahabatnya yang baru pulang dari tempat rehab dan masih trauma dengan perceraian? Ekspresi Cinta yang sangat baper saat menonton sebuah konser solo menurut saya juga berlebihan.
Sepanjang film, saya menemukan bahwa geng Cinta tetap geng Cinta. Tetap heboh, berisik tidak diliputi dialog mendalam namun persahabatan mereka lulus dari badai rumah tangga. Cinta tetaplah Cinta yang dulu saya kenal. Seorang perempuan yang berusaha tampak elegan, cerdas, namun punya potensi labil dalam menghadapi Rangga. Adegan ciuman yang sangat impulsif di pagi hari setelah semalaman berkelana berdua menurut saya “betapa mbak karier ini berjiwa remaja”. Perpisahan di bandara dengan ciuman basah adalah simbol mengenai perasaan Cinta. Dan ternyata ciuman dengan pesan yang sama berulang di AADC 2 untuk momen berpisah. Saya tak habis pikir, sekonsisten itu Cinta dan Rangga dalam memaknai perpisahan. Puisi pun juga ambil andil pasca perpisahan. Betapa Rangga tetap Rangga yang saya kenal di zaman ia menjadi pujaan gadis-gadis belia 14 tahun yang lalu. Puisi adalah marwahnya.
Saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang Cinta dan Rangga yang tak bersua 14 tahun lamanya masih terperangkap dalam jiwa SMA? Saya berkaca pada diri saya sendiri dan teman-teman di sekeliling. Banyak sekali perubahan dari SMA ke masa kuliah lalu ke masa karier. Penampilan tentu berubah. Namun yang paling terasa adalah cara memandang sesuatu. Biasanya saya akan membatin, “Apa yang sudah diperbuat Jakarta kepadamu? Bandung kepadamu? Surabaya kepadamu? Jogja kepadaku?”
Cinta kehilangan Alya. Rangga kehilangan bapak. Cinta seorang kurator galeri. Rangga penjual kopi. Cinta perempuan karier di Jakarta. Rangga perantau di New York. Dan keduanya bertemu di Prawirotaman, Jogja. Tanpa pengembangan karakter yang lebih matang dan kompleks berdasarkan plot atau latar cerita.
Apakah memang menjadi sebuah beban untuk memerankan lakon AADC yang otentik sehingga para artis aktornya takut mengecewakan penonton dan berakhir tanpa improvisasi yang berarti? Penokohan yang terlalu kuat justru tampak seperti AADC 2 tidak memberikan ruang untuk pengembangan karakter. Kecuali peran Milly yang paling berkembang dan mengalir. Beruntung, Sissy Priscillia tubuhnya melebar. Jika tidak, saya tak mungkin ingat bahwa sekarang geng eksis Cinta adalah geng mamah muda.
Dagangan utama AADC 2 adalah lakon yang sama yang seperti terakhir diingat penonton dengan deretan selebritis yang juga sama. Hal ini menimbulkan kesan bahwa AADC 2 tidak dibuat untuk para penggemarnya di tahun 2002 yang sekarang mayoritas menjadi mamah-papah muda. Segmentasi AADC 2 untuk umum. Untuk segala jenis penonton, dari penyuka drama Meteor Garden, K-pop, Anak Jalanan, Ganteng-Ganteng Serigala, Uttaran dan sinetron impor dari Turki. Ekspektasi meraup jumlah penonton yang sangat besar mengakibatkan tokoh tak berkembang dan isu yang diangkat sebatas “maaf” dan “aku masih sayang kamu”.
Kebolongan terbesar dalam AADC 2 adalah absennya suara orang tua. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rekonsiliasi dengan mantan setelah sembilan tahun berpisah tanpa diikuti keributan keluarga besar, apalagi mengorbankan tunangan seganteng dan semapan Ario Bayu.
Riri Riza sangat kejam dalam momen ini. Nicholas Saputra menampilkan kualitas akting terbaiknya saat bertemu dengan Sang Ibu. Namun selanjutnya adalah keheningan total. Gambar bergerak tanpa suara. Ini menyakitkan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengapa sang ibu harus pergi tanpa kejelasan dan Rangga akhirnya memaafkan sang Ibu di Jogja. Sebuah perdamaian dengan masa lalu yang sangat berat tidak dijelaskan dengan terang benderang. Bahkan bapak Cinta yang menjadi biang kegalauan Rangga tidak muncul sama sekali untuk mengintervensi. Makna rekonsiliasi berpusat di kisah Cinta dan Rangga. Peran orangtua hanya sebatas latar dan cenderung artifisial.
Meski tidak ada flashback scene satu pun—menampilkan makna hidup yang terus bergerak ke depan?—setidaknya ada konflik-konflik yang cukup besar yang membuka ruang pendewasaan di AADC 2. Itu harapan saya. Kenyataannya, balikan dengan mantan setelah sembilan tahun semudah kau memutuskan tunangan dalam satu bulan karena nyaris kecelakaan saking galaunya. Asyiknya, kau kelas menengah atas, New York – Jakarta adalah dekat. Tanpa berniat jahat untuk menulis spoiler, bagi saya resolusi “balikan dengan simpel atas nama masih ada perasaan” adalah ciri khas cinta-cintaan zaman SMA dan kuliah. Penonton disuguhi harapan yang tampak memabukkan melalui adegan ciuman di tengah taman kota yang bersalju.
#2 Tempat dan Kesenian
Dagangan yang kedua adalah destinasi wisata. Ini selaras dengan zeitgeist traveling kelas menengah urban ke tempat-tempat blusukan atau antimainstream. Jogja tampak eksotis dalam AADC 2. Dari mata kamera maupun mata lakonnya. Jogja seperti yang kerap ditampilkan FTV, masih tampak ndeso. Adegan minum es teh panas-panas pinggir jalan, Maura kikuk di pasar tradisional, Rangga diam-diam mencuri foto simbah di pasar, dua porsi sate Klathak plus minum seharga empat puluh ribu adalah segelintir narasi yang menunjukkan turis tetap turis, betapa pun yang satu adalah sosialita dan yang satu adalah petualang. Seperti film Eat, Pray, Love yang menampilkan Bali sebagai tempat pelarian yang ramah untuk jatuh cinta kembali, AADC 2 juga berusaha menampilkan modernitas Jogja melalui klab malam.
Namun tentu saja, dugem yang dikemas adalah dugem yang “khas”, ada lagu bahasa jawa yang berirama beat dan asyik dibuat bergoyang. Ada pula pameran seni rupa di dalam hotel yang sedang ngehits di kalangan turis. Anehnya, latar musik untuk adegan pameran tersebut adalah musik beat khas dugem. Seumur hidup di Jogja, saya tak pernah mendapati pameran seni rupa yang sedemikian ‘ajib’. Saya yang kurang gaul, atau kru film yang kurang riset? Hingga akhirnya yang paling kocak, saya nyengir mendapati Cinta, seorang kurator dari Jakarta, jauh-jauh ke Jogja, menghadiri pameran Eko Nugroho, ujung-ujungnya minta tanda tangan.
Betapa banyak tempelan yang campur aduk antara juktaposisi dan intertekstualitas scene. Kesunyian New York, keramaian Jakarta. Café di Brooklyn, kedai kopi di Jogja. Liburan ala turis berkoper, liburan ala turis beransel. Trian pengusaha muda, Rangga pengusaha kafe kecil dan penulis serabutan. Diceritakan bahwa selera seni kelas urban metropolis tertanam dalam identitas Cinta dan Rangga. Bahwa pegiat kesenian bisa tampak sangat fancy dan kekinian.
Rangga yang menghubungi Cinta melalui Line juga mengganggu. Terlepas dari ingatan atas mini drama AADC 2, saya ragu Line lebih populer untuk urban New York ketimbang WhatsApp. Adegan yang bermuatan kritik, soal kenaikan gaji karyawan kedai kopi dan pilihan atas capres 2014 justru membuat saya menilai pandangan anti kemapanan dan sikap politik Rangga agak ambigu. Dialog terbatas. Hanya ingin menjadi penanda Rangga belum benar-benar tercerabut dari tanah air dan idealismenya.
Berkaitan dengan sastra, mengingat AADC mampu mendekonstruksi puisi yang tadinya terkesan adiluhung dan njelimet lalu menjelma menjadi materi populer romansa remaja, AADC 2 belum mampu mendekonstruksi puisi menjadi ruang kontemplasi yang esensial bagi konflik batin dua orang dewasa. Muaranya, AADC 2 berhasil menempatkan seni dan sastra untuk kegenitan, hiburan kaum turis, dan ruang untuk melakukan trik “modus” pada mantan. AADC 2 mengukuhkan Jogja sebagai kota seni budaya yang eksotis untuk dua sejoli modern, yang tengah disergap romantisme kenangan. Selamat menonton!
- [CERPEN]Kunjungan Para Ki Sanak - 29/05/2016
- A-Z untuk Dagangan #AADC2 - 03/05/2016
mungkin mereka tidak menyadari cincin pertunangan Cinta karena cincin itu terlalu kecil dan remeh, mengingat Cinta bertunangan dengan pengusaha muda yang perlente.
otherwise, saya setuju kalau AADC2 ini dieksekusi terlalu terburu-buru hanya demi menuruti selera dan tuntutan pecintanya yang ingin bernostalgia.
beruntungnya, mereka memiliki pemain yang berkualitas dan telah memiliki chemistry satu sama lain. film ini menghibur (dan membaperkan) namun jelas masih banyak celah. seperti misalnya, bagaimana bisa Cinta yang ‘diculik’ seharian masih erlihat flawless tak berkeringat tak berpori-pori di tengah panasnya jogja. it’s either they use ryanogilvy or DiSastr really is a goddess!
<3 rex