Ayah yang Tak Pernah Keren

Usiaku masih sangat muda ketika aku mulai dirundung rasa cemburu. Bukan pada apa-apa, tapi pada teman-temanku yang sudah mengendarai sepeda motor.

Dua belas tahun. Kelas satu di Sekolah Menengah Pertama. Belum bisa kencing lurus.

Dan aku hanya bisa menatap mereka penuh harap dengan mimpi yang mengawang-awang. Sebutlah nama kawanku ini Abu, dia adalah remaja pertama di kampung kami yang bisa membeli Suzuki Crystal, motor paling keren saat itu. Mesin 100 cc dengan knalpot racing yang dibuat melingkar di bawah setang. Suara mesinnya melengking seperti beruang bangun pagi. Abu teman SD-ku. Dulu sering aku pinjam sepedanya, tapi sekarang tak mungkin aku pinjam motornya. Menurutku dia tak akan keberatan bila aku pinjam, tapi aku sendiri tidak bisa mengendarainya.

Kata bapakku, SMP belum boleh pakai motor. Dilarang Pak . Kalau sudah 16 tahun boleh, karena sudah punya Surat Izin Mengemudi. Wah, itu artinya harus menunggu setidaknya sampai kelas 2 SMA. Masih lama.

Tapi kenapa temanku itu bisa naik motor ke sekolah? Tanyaku heran. Setahuku temanku ini bukan polisi. Apa dia tidak takut ditilang?

Bapakku tak bisa jawab.

Sebenarnya bisa saja Bapak membeli sepeda motor untukku. Saat itu ekonomi keluarga sedang bagus. Bapak bahkan bisa beli mobil Mitsubhisi colt.

“Naik sepeda dulu saja ya,” kata bapakku menghibur. “Nanti bisa boncengan sama kakakmu.”
Ah, sepeda mana keren! Batinku membantah. Tapi aku tak berani menolak terang-terangan. Untuk anak SMP, sepeda juga bolehlah.

Jadilah akhirnya aku punya sepeda merk Golden yang ternyata ketika stiker panace body-nya lepas tiba-tiba berubah jadi Oyama.

Tapi semakin hari, semakin banyak temanku yang ke sekolah naik sepeda motor. Keadaan ini cukup membuat galau. Setiap pagi setibanya di halaman sekolah dadaku bergejolak. Campuran antara rasa iri yang buncah dan napas ngos-ngosan karena mengayuh sepeda jauh-jauh. Motor-motor mereka digabung di tempat parkir yang sama dengan sepeda-sepeda kami, dan semakin hari kami para pesepeda semakin tersingkir. Lahan parkir kami semakin sempit.

BACA:  Mantra di Punggung Aisha

Mengobati kemarahanku, aku akhirnya menerima ajakan untuk bergabung dengan PKS. Ini bukan nama partai. Saat itu PKS yang partai belum lahir, partai masih tiga biji dan selalu dimenangkan Golkar. PKS ini adalah singkatan Patroli Keamanan Sekolah. PKS ini semacam polisi-polisi cilik. Anggotanya anak kelas 1 dan 2. Bekerja sama dengan OSIS, kami direkrut oleh Pak Polisi betulan dan diajari ilmu lalu lintas. Seingatku, dulu setidaknya tiga sekali seminggu aku datang ke polisi pada sore hari untuk belajar rambu-rambu dan isyarat-isyarat lalu lintas. Supaya keren, kami dilengkapi dengan lencana, handband garis-garis, peluit dan selempang. Komandanku dulu –kalau tidak salah– namanya Aidil, anak kelas 1C. Dia terpilih karena paling tinggi dan ganteng.

Bergabung dengan PKS cukup menghibur hatiku. Aku merasa lebih percaya diri. Setiap hari, aku selalu datang lebih pagi untuk melaksanakan salah satu tugas mulia kami, yaitu menyeberangkan teman-teman. Aku suka menyeberangkan teman-temanku, apalagi yang cewek. Dengan kekuasaan yang dipercayakan kepada kami, kami bisa menyuruh semua kendaraan berhenti supaya teman-teman kami bisa menyeberang jalan dengan selamat. Aku juga senang meniup sempritan dan menyuruh teman-temanku yang mengendarai motor untuk berhenti di garis yang kami tetapkan. Senang rasanya melihat mereka mematuhi perintahku.

Itu kejadian waktu aku SMP.

Menginjak bangku SMA, sepeda motor bukan lagi hal yang mewah –bagi teman-temanku. Adapun aku, masih tetap dengan sepeda kayuh yang sudah berganti merek menjadi Federal. Rasanya tak tertahankan lagi keinginan untuk mengendarai sepeda motor. Aku sangat mengidamkan sepeda motor RX-King hitam. Kata temanku, itu motor rampok. Perampok paling sering pakai motor itu karena tenaganya kuat dan tak terkejar. Tapi aku tak terpengaruh, bagiku itu adalah motor paling hebat.

Tapi tetap saja tak bisa aku miliki. Setahun menjelang usiaku boleh punya SIM, keluarga kami mengalami “malaise”. Badai ekonomi sedang lucu-lucunya. Orangtuaku dengan terus terang bilang tak mampu membelikan aku motor. Alamak, padahal inilah masanya pengendara motor berjaya. Teman-temanku yang punya motor hampir setiap sore bertemu di alun-alun untuk mengebut di jalan-jalan kota. Dan pada malam hari mereka dikerubuti gadis-gadis.

BACA:  River's Corner

Aku terpuruk dalam kesedihan berkepanjangan. Anehnya, tak lama setelah itu, aku tak berminat lagi untuk punya motor.

Seingatku ini gara-gara sebuah cerita:
Ada seorang anak muda, sebutlah namanya Roxy. Usianya baru 15 tahun ketika ia tergila-gila pada motor RGR, motor sport paling baru saat itu. Keluarga Roxy termasuk berkecukupan, ayahnya punya toko kelontong. Meski demikian, saat Roxy meminta dibelikan motor itu, ayahnya merasa cukup berat. Tapi karena Roxy anak laki-laki satu-satunya, maka setelah menabung cukup lama, terbelilah motor itu atas nama rasa sayang.

Motor itu sontak membuat Roxy menjadi anak paling populer di sekolah. Setiap sore, meski belum punya SIM, dia suka mengebut di pusat kota dengan geng motornya. Bila Roxy melaju, dari jauh suara motornya sudah bisa kedengaran. 150 cc, Boy!

Tiba-tiba pesta harus berakhir. Roxy harus turun panggung. Suatu malam, saat berkumpul bersama teman-temannya di taman kota, motor kebanggaannya itu moksa dari tempat parkir, hilang dicuri orang.

Roxy sedih bukan main. Apalagi ayahnya.
“Mungkin memang sebaiknya kamu tidak punya motor dulu,” kata ayahnya, mencoba menenangkan. Namun Roxy tetaplah anak kesayangan orangtuanya. Orangtuanya tak ingin melihat Roxy bersedih terlalu lama. Kira-kira hanya berselang dua bulan dari peristiwa hilangnya RGR itu, Roxy sudah mendapatkan gantinya. Motor baru yang persis sama dengan miliknya yang hilang.

Mendapatkan motor baru itu, Roxy menemukan dunianya lagi. Dia kembali menjadi raja jalanan. Kali ini dia malah semakin menjadi-jadi. Roxy sudah berani adu balapan dengan bertaruh uang. Dengan motor keluaran terbaru, Roxy tak punya banyak lawan. Hampir semua adu balapan dimenangkannya. Hingga kemudian keriaannya kembali terhenti.

BACA:  Hari yang Berat

Dalam sebuah adu balap liar tengah malam, tiba-tiba seperti ada petugas ronda yang menggedor tiang listrik dengan sangat bernafsu. Rupanya Roxy yang menabrak besi pendiam tak bersalah itu setelah sebelumnya bersenggolan dengan lawannya.
Lawannya, anak muda seusia dia juga, tewas dengan motor remuk tak berbentuk. Roxy masih selamat. Sekitar 3 minggu kemudian, Roxy sudah bisa meninggalkan rumah sakit.

“Saat motor pertamaku hilang dan ayahku bilang, ‘mungkin memang sebaiknya kamu tidak punya motor dulu', seharusnya saya mengerti apa yang dia maksud. Itu peringatan. Dan mungkin ini maksudnya….”
Kata Roxy sambil memegangi dadanya yang sudah dipasangi lempengan pin besi dan menatap nanar ke kaki sebelah kirinya yang diamputasi sebatas lutut.

===

Begitulah aku ceritakan kembali kisah ini kepadamu. Seperti aku yang akhirnya bisa memahami kenapa aku tak pernah punya motor ketika remaja dulu –dan tak menjadi keren karena itu, mudah-mudahan kau pun sama memahami. Bahwa rasa sayang itu, Nak, kadang mencelakakan.

Fauzan Mukrim

5 Comments

Leave a Reply

Silakan dibaca juga