Arnold dan Tukang Batu dari Kuningan

#dearRiver
Ketika memposting foto Arnold yang tidur di bawah patung perunggunya yang saya sebut berkonten hoax, ada teman yang protes. Foto itu viral beberapa hari belakangan. Beredar dari grup-grup WA. Disebutkan, waktu jadi gubernur California, Arnold meresmikan sebuah hotel dan sekalian dibuatkan patungnya di depan hotel itu. Oleh manajemen hotel, ia dijanjikan bisa menginap di hotel itu kapan pun ia mau. Ternyata ketika ia tidak lagi menjabat, ia datang ke hotel itu dan ditolak. Ia pun menggelar sleeping bag di bawah patungnya. Dengan caption semacam “How times have changed,” Bagaimana Waktu Berubah”, “Jabatan Tidak Abadi”, dll, foto itu menarik simpati dan mempengaruhi emosi pembacanya. Banyak yang membagikannya tanpa mau tahu bahwa itu sebenarnya hoax. Padahal itu foto lama. Dan Arnold tidak tidur di depan hotel. Itu di depan gedung Greater Columbus Convention Centre. Dan Arnold cuma iseng tidur di bawah patungnya di situ.
“Abaikan hoax-nya, yang penting pesannya baik,” kata teman saya. Saya jadi berpikir, sepertinya memang ada yang salah. Apa iya kita boleh mentolerir kebohongan ketika pesan yang dibawakannya kita anggap baik?
Ada yang bilang, apa bedanya dengan film, misalnya. Film kan juga bohongan, tapi orang bisa mengambil pelajaran atau pesan moral dari situ. Yang penting bermanfaat.

Nah ini. Rasanya tidak perlu kuliah panjang untuk tahu bedanya antara fiksi, dramatisasi, reenacment, dan intensi untuk berbohong.
Saya jadi ingat pada suatu Jumatan yang lampau. Khotib saat itu berkhotbah tentang keikhlasan. Untuk menguatkan khotbahnya, ia bercerita tentang pertemuannya dengan seorang tukang batu dari Kuningan. Kuningan yang dimaksud itu sebuah daerah di Jawa, Nak. Bukan Kuningan Jakarta Selatan.
Khotib bercerita, tukang batu itu dimintai tolong oleh seseorang untuk membangun rumah. Sebutlah namanya Pak Toni. Pak Toni punya banyak rumah dan ia memang sering memakai jasa si tukang batu dari Kuningan ini –sebut saja namanya Pak Toto. Kali ini ia bilang, ia mau bikin rumah yang paling bagus dan mempercayakan si tukang batu untuk memilihkan material terbaik.
“Pokoknya saya percayakan semuanya sama Pak Toto. Saya mau semua yang paling bagus untuk rumah saya ini. Berapa pun harganya akan saya bayar,” begitu kata Pak Toni.

BACA:  Jujur, Sudah(dan Bisa)kah Kita?

Pak Toto pun mulai mengerjakan rumah pesanan Pak Toni. Awalnya semua ia kerjakan dengan baik, tapi lama-lama ia bimbang. Merasa diberi kepercayaan penuh, ia tergoda untuk bekerja asal-asalan. Ia pakai material di bawah standar. Toh pikirnya Pak Toni juga tidak bakal tahu. Apalagi selama ini, ia sudah bikin banyak rumah tapi merasa dibayar pas-pasan juga. Keikhlasannya menguap.

Singkat cerita, rumahnya sudah jadi. Sekilas terlihat megah, tapi Pak Toto -si tukang batu dari Kuningan itu- tahu bahwa rumah itu sesungguhnya penuh “lubang” di mana-mana. Tidak sekokoh kelihatannya.
Tibalah saat serah terima kunci. Ketika Pak Toto menyerahkan kunci kepada Pak Toni sebagai pemilik, Pak Toni justru menyerahkan kembali kunci itu kepada Pak Toto.
“Saya sudah meniatkan rumah ini untuk Pak Toto kalau sudah jadi, itu sebabnya saya meminta Pak Toto memilih sendiri material terbaik yang diperlukan. Pak Toto sudah membantu saya selama ini, anggaplah ini sebagai ucapan terima kasih saya,” kata Pak Toni.

Mendengar itu, Pak Toto pun lunglai. Tukang batu dari Kuningan itu merasa malu pada dirinya sendiri karena telah bekerja dengan tidak ikhlas. Padahal yang dia kerjakan itu untuk dirinya sendiri.
Begitu cerita khotib, dan ia bercerita seolah-olah itu kejadian faktual. Beberapa kali saya mendengar dia ceramah di tempat lain, ia memang sering menyisipkan kisah-kisah mulia yang patut diduga adalah fiktif. Jelas fiktif, karena cerita-cerita seperti itu bisa ditemukan dalam versi lain. Kira-kira seperti buku “Mati Ketawa Cara Rusia” yang diadaptasi dalam berbagai versi hanya dengan mengganti tokoh-tokohnya dan kata setelah ‘Cara’.
Saya bilang ke kawan saya yang sama-sama mendengar khotbah itu. “Hoax, ” kata saya, “seharusnya mimbar Jumat steril dari dongeng-dongeng tak terverifikasi seperti itu.”
Teman saya malah merengut. “Yang penting pesannya baik,” katanya. “Kamu belum tentu bisa gantiin dia kalau disuruh khotbah.”

BACA:  Pelajaran Bisnis Pertama dan Selanjutnya untuk #BekalOchan

Saya jadi bingung sendiri. Jadi kalau misalnya saya punya otoritas buat berkhotbah, saya boleh mengarang bebas, gitu?
Beragama itu mudah sekaligus berat. Beratnya karena ada konsekuensi kita harus percaya kepada hal-hal yang tidak bisa diterima akal kita. Sebutlah seperti kisah Musa membelah laut, Isa menghidupkan orang mati, atau Muhammad yang melakukan Isra Mi’raj. Itu sebabnya agama –agama apa pun itu- hanya diperuntukkan bagi orang-orang kuat dan tabah, karena yang harus dia lawan adalah pikiran dan dirinya sendiri. Tak ada musuh yang lebih berat daripada itu.

Namun, dengan pengetahuan yang minim ini, saya rasa kita juga dibekali akal untuk membedakan antara hal transendental dan fiksional.
Saya sering mendengar penceramah menyitir kisah-kisah “penguat iman”, semacam puluhan dokter di sebuah RS di Tiongkok yang masuk Islam setelah meneliti tentang puasa, Jacques Costeau masuk Islam setelah menemukan sungai tawar di bawah laut, atau Neil Armstrong yang masuk Islam setelah mendengar adzan di bulan.
Cuma perlu sedikit googling dan ditambah perangkat akal sederhana untuk tahu bahwa semua kisah itu adalah hoax. Saya heran juga, kenapa sih harus pakai kebohongan untuk sekadar membuktikan kebenaran?
Padahal yang kita bukan bicarakan ini bukan kecap, yang semuanya nomer satu. Berapa banyak orang yang mengganti kecapnya karena ternyata rasanya tidak selezat seperti yang diiklankan?

BACA:  #dearRiver: Susu Jahe Paling Pahit

 

#oldpost #25082017

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga