Anjing dalam Diri Kita

Waktu kecil, kalau aku bandel, Bapak sering mengancam dengan bergurau, “Mau Bapak masukkan ke Bispa?”.

Bispa itu singkatan dari Bimbingan Sosial dan Pengentasan Anak, sebuah lembaga yang berada di bawah Departemen Kehakiman jaman dulu. Gedungnya bersebelahan dengan Lembaga Pemasyarakatan di daerah kami. Kata temanku, Bispa itu penjara anak-anak. Kalau kebetulan lewat, sering aku mencuri pandang. Tapi tak pernah aku lihat ada anak-anak kecil yang dikerangkeng. Entah mengapa, beberapa kali aku lewat, yang justru sering terlihat adalah batang-batang bambu yang menjulur dari balik dinding melalui lubang-lubang kecil di sepanjang tembok. Kata temanku lagi, mereka itu narapidana-narapidana yang minta tolong. Caranya mengirim isyarat melalui batang-batang bambu itu.

Di kepalaku, seram sekalilah sosok penjara itu. Apalagi kalau membayangkan penghuninya adalah anak-anak kecil. Pikirku waktu itu, orang dewasa mana yang tega mengurung anak-anak kecil dalam bangunan seperti itu.

Nak, kemarin, bertemulah aku dengan anak-anak kecil yang dulu tak terbayangkan itu. Bukan sekadar anak yang dititipkan di Bispa karena tak bisa diatur. Mereka menghuni Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria di Tangerang. Ada 157 anak di dalam situ. Isom yang menunjukkan mushalla kepadaku, mengaku berada di situ gara-gara ganja beberapa linting. Aku meringis. Nyaris tertawa.

“Sekarang pasal baru, Bang,” katanya, yang lalu mengingatkanku pada teman-teman yang “beruntung” di luar sana. Bisa bebas menghisap dan berbagi tanpa pernah sekalipun tertangkap. Roni, 17 tahun, dipenjara juga gara-gara ganja. Empat linting kena empat tahun. Kampret si Gayus! Korupsi uang miliaran rupiah cuma kena 7 tahun.

BACA:  Jakarta dan Kisah Orang-orang (Tak Bernama) di Sekitar Kita

Rata-rata anak yang kena tahan di sini memang gara-gara narkoba dan asusila. Tapi ada juga yang parah. Seperti Ari misalnya, yang aku temui di tangga mushalla sebelum berwudhu. Umurnya baru 15 tahun. SMP lah kalau dia sekolah. Ari kena 6 tahun, kalau gak salah.

“Ngapain lo?” tanyaku.
“Bunuh, Bang.”
“Kenapa?”
“Gara-gara hape…”
“Hape lo diambil?”
“Bukan. Pengen ngambil hape dia, Bang.”

Dalam hati aku masih ingin bertanya, “Gara-gara hape doang kamu sampai ngebunuh?”
Tapi pertanyaan itu tentu saja sudah sering dia dengar di ruang interogasi atau ruang sidang. Jadi aku diam saja. Aku lalu meninggalkannya di tangga mushalla sambil menitipkan sepatuku.

“Gue titip ya. Aman kan di sini?”
Ari dan beberapa orang temannya yang mengerubutiku menjamin. “Aman, Bang.”

Setelah shalat, aku lihat sepatuku sudah berpindah tempat. Diletakkan terpisah dekat sudut. Maksudnya tentu saja supaya lebih aman.

Untuk orang yang baru punya anak seperti aku, melihat mereka semua memang rada-rada membuat hati pecah. River, bulan depan insya Allah umurmu sudah setahun. Banyak anak-anak di lapas ini yang hanya berjarak satu dasawarsa denganmu. Sepuluh atau limabelas tahun kemudian, kamu akan sebesar mereka sekarang. Anak-anak itu, Nak, terlalu cepat mereka kehilangan kebebasannya. Terlalu cepat mereka lepas dari pelukan orangtuanya. Mereka harusnya masih di rumah, dibelai rambutnya atau diberesin kemejanya oleh ibunya. Atau apapunlah yang menyenangkan. Percaya atau tidak, waktu SMP aku punya teman yang masih menyusu sama ibunya.

BACA:  Masih Ada Tuhan di Kalijodo

Di lapas anak, sulit rasanya mempercayai apa yang aku lihat itu, Nak. Selama ini aku selalu berpikir anak-anak harus selalu dimaafkan. Senakal-nakalnya, paling ditabok atau diancam mau dimasukkan ke Bispa. Tapi inilah dunia yang kejam. Tak ada yang benar-benar fiksi.

Melihat mereka bermain bola, menjadi jamaah shalat, dihukum mengepel, menjemur pakaian, atau saling mengobrol dari balik jaring kawat, semuanya mengingatkanku kepadamu, Nak. Mengingatkanku pada kelemahanku sendiri sebagai ayah. Aku sudah membaca banyak buku tentang pengasuhan, tapi rasanya masih banyak titik-titik lemah yang gampang jebol.

Ketika Kakek Gepeto terbangun pada suatu pagi dan menemukan boneka kayunya bisa berbicara, dia merasa bahagia. Tapi di sisi lain, dia juga menyadari keterbatasannya. Pinokio tetaplah boneka kayu, bukan seorang anak laki-laki yang selama ini dia impikan. Kakek Gepeto tak mengetahui ada deal pribadi antara Peri Biru dan Pinokio.

Peri Biru menjanjikan Pinokio akan menjadi anak laki-laki yang sesungguhnya jika Pinokio bisa menjaga dirinya tetap jujur. Sekali berbohong, kesempatan untuk menjadi anak laki-laki semakin jauh.

Peri Biru mengajarkan kepada Pinokio bahwa menjadi laki-laki adalah persoalan usaha sendiri. Menjadi lelaki adalah sejauh seperti apa yang kau bisa buktikan. Dengan keberanianmu, dengan usahamu untuk tetap menjaga kejujuranmu. Kami para ayah tak ubahnya seperti Kakek Gepeto. Ada hal yang tak bisa kami sentuh. Itulah lubang hitam di hatimu. Anjing-anjing di dalam dirimu. Karena ketahuilah, Nak, seperti seorang guru Ninja pernah berkata, di dalam diri kita ada dua anjing yang selalu bertarung. Anjing baik dan anjing jahat. Dan yang akan menang adalah yang kita beri makan lebih banyak.

BACA:  Semesta Kobokan
Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga