“Anak itu seperti rumah,” kata dokter Sri Puji. Kami menemuinya lagi di ruangan prakteknya yang nyaman. Pertemuan bulanan kesekian untuk mengetahui apakah kamu baik-baik saja di sana. Sambil melengkapi catatan di buku catatan medik ibumu, dokter ahli kandungan itu menjelaskan ucapannya.
“Iya, seperti rumah. membangun rumah itu harus dengan bahan-bahan yang bagus, yang kuat. Rumah yang dibuat dari bambu, misalnya, tentu gampang roboh kena terpa angin. Membesarkan anak juga seperti itu.”
River, anakku sayang, sudah 21 minggu kamu di perut ibumu. Dokter Sri bilang kamu baik-baik saja, sehat. Alhamdulillah. Ibumu hanya disarankan mengurangi asupan gula agar tak mempengaruhi bobotmu. Beratmu normal. Ada angka 447 tertulis di monitor USG. Entah apa satuannya. Mungkin gram.
Yang membuatku berpikir justru perkataan dokter Sri itu. Anak itu seperti rumah. Dan kufurlah aku jika tidak bersyukur, karena hingga bulan kesekian ini, bahan-bahan untuk membuat “rumah” itu masih lapang tersedia.
Di pertemuan bulan kemarin, dokter Sri menawarkan vitamin tambahan dalam resep obat ibumu. DHA.
“Saya biasanya tanya dulu, karena kalau sekiranya masih ada kebutuhan lain, yang ini bisa dikesampingkan,” kata dokter Sri.
“Kalau itu bagus untuk janin, kami ambil, Dok…” kataku.
“Ini bagus,” kata dokter Sri lagi, “seandainya saya masih bisa hamil, saya akan pakai juga.”
Dan memang, dari deretan nama obat di kuitansi, DHA itu yang paling mahal.
Aku bukan orang kaya. Ibumu juga. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan tersier. Setiap hari kami berusaha mengumpulkan remah-remah kebahagiaan, yang sederhana saja. Tapi yang pasti kami bahagia. Dengan segala cara aku berusaha untuk itu.
Bisa sampai ke ruang praktek dokter Sri itu juga adalah anugerah. Setiap bulan, gajiku yang tak seberapa itu aku sisihkan hingga ke rupiah terkecilnya agar bisa mempersembahkan ruang periksa yang sedikit lebih beradab bagi ibumu. Juga dokter kandungan yang sedikit lebih mewah. Percayalah,aku mati-matian berusaha untuk itu. Aku ingin ibumu nyaman menanti kelahiranmu, wahai buah hati kami. Aku lelaki. dan inilah kesempatan bagiku untuk belajar bertanggungjawab.
Dan mungkin benar kata dokter Sri. Anak itu seperti rumah. Seyogyanya kau membangunnya hanya dengan material yang terbaik saja.
Tapi ingin kulengkapi ajaran dokter Sri itu. Rumah tak hanya melulu soal material.
Sini kubuktikan. Bertahun-tahun aku dan saudara-saudaraku hidup di atas rumah panggung kayu, hingga kami besar dan meninggalkan rumah, meninggalkan tanah kelahiran. Rumah itu masih berdiri kokoh, padahal dia hanya terbuat dari papan dan sedikit batu bata. Beberapa tahun lalu, dia bahkan selamat dari serangan angin puting beliung di saat beberapa rumah tetangga kami beterbangan atap-atapnya. Tentu ada hal yang membuatnya bisa tetap berdiri, sekalipun tanpa material terbaik.
Ini cerita yang lain lagi. Sehari setelah gempa menghantam Padang Rabu minggu lalu, aku dan ibumu bertukar cerita di tempat tidur. Dia tahu aku gelisah. Ya, aku gelisah karena kantor tidak mengirimku meliput ke sana. Jika engkau wartawan, ada perasaan aneh yang tak bisa digambarkan bila engkau tak bisa berada di sebuah tempat di mana orang banyak berkumpul. Semacam perasaan kalah dan bersalah bila tak ikut melihat sesuatu terjadi. Aku dikirim ke Aceh pasca gempa dan tsunami tahun 2004, dan egoku bilang aku juga harus berangkat ke Padang kali ini. Tapi itulah, kantor tidak mengirimku.
Di tengah kegalauan itu, tiba-tiba muncul niatku untuk mengajukan cuti dan berangkat ke sana sebagai volunteer atau relawan. Malam itu juga, ibumu pun membantu dengan mencarikan jalur relawan melalui relasi-relasinya. Ada beberapa tapi semuanya memprioritaskan bagi pekerja dan tenaga medis. Tak ada lowongan bagi orang dengan skill tak jelas sepertiku. Dan malam itu, kami menghabiskan malam di rumah saja. Di kamar kami yang sejuk. Aku tidak kemana-mana.
Mungkin bagimu aneh. Tapi aku ingin bilang, aku mencoba bergerak menuju antipoda. Di saat orang lain tak ingin meninggalkan istrinya yang sedang hamil, padaku dorongan kuat untuk berangkat justru timbul karena melihat perut ibumu yang membusung. Aku ingin kamu di dalam rahim ibumu bisa menangkap pesanku yang samar. Tangan dan kaki yang Allah kasih ke kita tidak melulu milik kita, sesekali perlu digunakan untuk kepentingan orang lain juga.
Entah bagaimana prosesnya, tapi aku berharap kamu akan menjadi jauh lebih baik daripada aku, River.
Dan beginilah cara-Nya mengabulkan keinginanku.
Empat hari setelah hari gempa itu, aku menerima pesan dari ibumu.
“River jalan-jalan luar biasa hari ini,” tulisnya..
Pesan pendek itu tiba-tiba membuat mataku berair. Saat itu aku sedang di Padang, di depan Hotel Ambacang yang rubuh tak berbentuk itu.
“Ayahnya juga,” tulisku untuk ibumu. “Bilang ke River, nanti ayah pulang bawa banyak cerita. Semoga dia mewarisi yang baik-baik saja dari kita berdua.”
Dan mungkin memang benar kata dokter Sri itu.
Iya. Anak itu seperti rumah, Dokter. Rumah yang harus banyak jendelanya.
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023