“Pak, Bapak tahu nggak, boneka mana yang paling aku sering main sama?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Hayun, anak kami. Umurnya sekarang 6,5 tahun. Sekejap saya mengernyit mendengar kalimat aneh itu. Namun dua detik kemudian saya langsung terkekeh, menyadari di mana letak lucunya, dan bagaimana penjelasannya.
***
Kami boyongan pindah sementara ke Perth, Australia, pada akhir 2013. Saat itu umur Hayun empat tahun, belum sekolah, meski di Jogja sudah sempat mencicipi setahun playgroup dan dua bulan TK Kecil. Nah, selama menunggu tibanya masa kindy (kindergarten alias TK) di Perth, satu hal yang paling kami takutkan adalah problem bahasa.
Kecemasan kami wajar adanya. Bayangkan saja, begini kondisinya. Waktu di Jogja sebelum bedol desa, Hayun sedang senang-senangnya mulai masuk ke kehidupan sosial, dalam sebuah masyarakat kecil bernama sekolah. Ada guru-guru, ada teman-teman yang ia jumpai setiap waktu, yakni anak-anak sebaya yang jadi lawan komunikasi saban harinya. Sementara itu, karakter Hayun agaknya cenderung kurang cepat beradaptasi—meski kalau sudah on dia akan nempel dengan gampang.
Pada periode transisi seperti itulah, ia justru harus pergi. Memulai lagi dari nol karir sosialnya, di sebuah lingkungan yang sama sekali baru dikenalnya. Jangankan ke luar negeri yang beda bahasa. Perpindahan ke kota lain dengan bahasa yang sama pun, saya kira akan membawa sedikit goncangan (atau minimal goyangan) pada psikologi anak. Iya nggak sih?
Saya yang rapuh dan cengeng ini waktu itu sering membayangkan dengan sentimentil, betapa akan sangat tertekannya anak saya. Tingak-tinguk di kelas, gagalpaham atas apa yang dibicarakan teman-temannya, cuma bisa melongo waktu ditanyai gurunya, memandang kebingungan saat anak-anak di sekitarnya melakukan sesuatu sementara anak saya nge-blank tak tahu harus berbuat apa. Oh Tuhan, mengerikan sekali situasi seperti itu, bukan?
Jangankan anak-anak. Lha wong saya sendiri yang setua, eh, sedewasa ini saja pernah depresi berat ketika dalam sebuah perjalanan mengalami keadaan buta-bahasa-setempat. Jadi, sambil mencari pembenaran atas sikap-sikap sentimentil yang memalukan, saya yakin betapa normalnya kecemasan seorang papah pemula seperti saya. Percayalah.
***
Singkat cerita, dalam beberapa bulan sebelum Hayun masuk kindy, kami berkeputusan menitipkannya ke tempat penitipan anak. Itu bukan langkah politik yang gampang. Ongkosnya mihil, coy! Tarif penitipan anak dari pagi sampai menjelang sore adalah 88 AUD, atau nyaris setara dengan kebutuhan belanja bahan pangan kami sekeluarga untuk sepekan.
Aspek pengasuhan memang masuk dalam salah satu pertimbangan. Seringkali ibunya harus ke kampus, dan bapaknya harus nyopir truk demi mengais sesuap dolar. Tapi jauh di atas pertimbangan teknis itu, kami berharap Hayun bisa mulai sedikit-sedikit belajar bahasa Australian-Inggris di childcare, meski cuma dari pengasuhnya dan dari rekan-rekan satu korps-nya yang masih pada pakai pempers itu.
Sebulan, dua bulan, saya terus tegang, tegang terus. Hayun masih sangat pendiam, kata Lily, ibu asuhnya di childcare. Dia agak sulit diajari menggunakan ekspresi-ekspresi sesimpel ‘please’ dan ‘thank you’, misalnya. Aduduuuh. Saya semakin gundah gulana. Ngopi tak enak, mero**k tak nikmat…
Hingga akhirnya bulan Februari tahun 2014 tiba. Hayun harus masuk ke kindy. Nah ini dia, batin saya. Kami pun mencermati perkembangan Hayun dari hari ke hari. Sehari, dua hari, sepekan, empat pekan…
Mendadak, keajaiban demi keajaiban datang silih berganti. Dengan sejenis lompatan kuantum yang sulit saya jelaskan, tiba-tiba anak itu sudah sering ngoceh, dengan bahasa Inggris aksen Australia—bahasa antah berantah yang lebih mirip fase lanjut bahasa Kal El di Planet Krypton. Hayun mulai bernyanyi dengan lancar dalam bahasa itu. Ia mulai sering mengoreksi kesalahan pengucapan satu-dua kata Inggris yang keluar dari mulut ibunya. Ketika Abisha, anak Bangladesh teman sekelasnya, datang ke rumah lalu mereka main bersama, saya ternganga-nganga. Mendengar bagaimana mereka bercicit-cuit dengan cara berbicara yang begituan, membuat saya bertanya-tanya ke istri saya, “Bu’, i.. ini beneran anak kita apa bukan sih?”
***
Tenang, jangan salah paham dulu. Saya tidak sedang terserang sindrom ibu-ibu yang kumpul di Posyandu, yang sembari ngobrol mereka bersaing membanggakan kepintaran anak masing-masing hahaha. Tidak, tidak. Ini bukan tentang keistimewaan personal Hayun seorang. Sebab, proses belajar semacam itu terjadi pada semua anak Indonesia seumuran Hayun di sini. Bahkan pada semua anak dari negeri lain yang memulai pendidikan usia dini di tempat ini.
Waktu awal-awal kami menitipkan Hayun di childcare-nya Lily, Si Lily pun sudah berpesan, “Kalian tenang saja, tak usah khawatir, anak-anak akan belajar bahasa Inggris dengan sangat mudah dan cepat.”
Barang tentu, bukannya saya tak pernah mendengar teori semacam itu. Setidaknya belasan tahun silam saya membaca buku berjudul Manajemen Kecerdasan karya Dr. Taufiq Pasiak, neurolog kondang dari Makassar. Kalau tak salah ingat, ada sepotong tulisan di sana, menjelaskan bagian otak yang memahami bahasa—saya lupa namanya, Anda cek sendiri ya wkwkwk. Nah, bagian itu berkembang cepat pada usia-usai sangat dini. Semakin terlambat belajar bahasa, ia akan semakin tidak sensitif. Dengan sensitivitas tersebut, anak-anak belajar bahasa asing dengan cara yang sama sekali berbeda dengan cara belajarnya orang dewasa.
”Maka, salah satu keajaiban sistem pendidikan di Indonesia adalah pengajaran bahasa asing yang baru dimulai saat anak masuk ke tahun ketujuh,” begitu kira-kira kalimat Pak Doktor Taufiq. (Itu emang ditulis di konteks masa saat buku itu ditulis. Kalau anak SD zaman sekarang dengar-dengar sudah pada belajar bahasa asing ya? Bagus, lah.)
Nah, meski sudah mendengar teori itu pun, saya baru bisa mempercayainya sungguh-sungguh ketika saya mengalaminya langsung. Betapa teman-teman Hayun sesama anak mahasiswa Indonesia di sini acapkali membuat saya minder, saat mereka ngoceh dengan bahasa Inggris satu sama lain. Betapa ketika Hayun dan Calista—salah satu sohib Hayun, anaknya Mas Onnie rekan nongkrong saya—main bersama, nyaris tak pernah lagi keluar kata-kata bahasa Indonesia.
Saya cemburu. Saya belajar bahasa Inggris bertahun-tahun dengan penuh tirakat dan semedi, namun tak kunjung mencapai perkembangan berarti. Sedangkan anak-anak itu, duh Gusti, baru selang berapa hari, tapi dengan teganya membuat saya kepingin membuang semua sertifikat dari LIA dan ELTI.
“Wis to Mas,” kata Jeng Kiky, ibunya Calista. “Kalau mau pinter bahasa Inggris di sini, jangan kuliah master atau PhD. Sana, sekolah di TK saja.”
***
“Pak, Bapak tahu nggak, boneka mana yang paling aku sering main sama?” Saya kembali terkekeh mengingat kalimat Hayun itu. Jelas sekali, itu merupakan terjemahan ala Google Translate dari “Which doll do I play with most, Pak?”
Dalam program translator di kepala Hayun, frasa ‘play with’ diterjemahkan dengan kejam menjadi ‘main sama’. Rupanya, saking intensnya anak-anak asing dalam berbahasa Inggris di tanah ini, mereka mulai membangun cetakan logika linguistik sesuai grammar Inggris. Begitu mereka mau bicara lagi dalam bahasa ibu mereka, justru prosesor Inggris yang bekerja untuk fungsi penerjemahan.
Maka, saya jadi tak kaget—meski tetap saja ngakak—mendengar Hayun menawari teman-teman saya pas main ke rumah, “Haloooo! Ada yang mau punya kopi?” (Jelas itu dari frasa ‘have coffee’, minum kopi). Atau ketika dia teriak ke temannya, “Awaaas ada nakal ulaaaar!” (Tentu itu dari ‘naughty snake’, hanya saja Hayun sudah lupa kalau frasa dalam bahasa Indonesia tuh berpola DM, bukan MD sebagaimana bahasa Inggris.) Dan sebagainya.
Itu membawa kecemasan baru lagi. Bagaimana dengan bahasa Indonesia Hayun sepulang kami ke Indonesia tahun depan? Jangan-jangan dia akan diolok-olok temannya karena bahasa Indonesianya amburadul? Namun, segera saya tepis kekhawatiran lanjutan semacam itu. Minimal, ada dua dasarnya.
Pertama, Hayun relatif masih sangat aktif berbahasa Indonesia, juga bahasa Jawa. Itulah hikmahnya punya bapak keren yang nggak bisa bahasa Inggris. Akibatnya, anak saya sangat sering berbahasa Inggris dengan ibunya, tapi sama bapaknya ia tak tega. Cukup ngomong dengan bahasa Indonesia atau Jawa.
Kedua, saya kira saya harus belajar dari kasus kecemasan pertama. Betapa banyak orangtua yang mengkhawatirkan anaknya, tak percaya akan kemampuan anaknya. Padahal, sesungguhnya ada “chip” yang tertanam dalam komputer otak di kepala setiap anak, yang dengan mudah akan teraktivasi tanpa harus menghadirkan kelakuan reseh orangtua yang ngotot dengan ini-itu. Syaratnya cuma tiga: ada lingkungan yang baik, ada stimulasi, dan ada contoh-contoh nyata untuk diimitasi.
Oiya satu lagi: ada doa yang dirapal setiap hari. Hihihi.