28 April 2016. Bioskop gempar. Di media sosial beredar foto-foto yang memuat antrean panjang di sejumlah bioskop. Dari Jakarta, Semarang, hingga Makassar. Semuanya disebabkan oleh satu hal: ADA APA DENGAN CINTA 2?
Sejujurnya saya termasuk salah satu dari segelintir orang yang tak terlalu antusias dengan sekuel tersebut. Buat saya, “Ada Apa dengan Cinta” adalah film penanda jaman, film yang mungkin mewakili generasi saya, dengan demikian sangat sakral hingga tak bisa diutak-atik, bahkan oleh pemilik filmnya sekalipun.
Tapi kesinisan saya berubah ketika mengikuti pujian dari mereka yang beruntung menonton sekuel tersebut saat pemutaran perdananya di Jogja. Dari sini semuanya berubah. Saya mulai antusias mengikuti perkembangan “Ada Apa dengan Cinta 2?”. Ketika tahu bahwa film tersebut akan diputar di 183 layar di seluruh Indonesia, saya mulai berhitung. Jika saja satu layar dipenuhi oleh 1000 penonton, maka AADC2 potensial beroleh 183 ribu penonton di hari pertamanya saja. Perlu diketahui bahwa dalam sehari, satu layar di bioskop akan memutar film sebanyak 4 – 5 kali sehari. Karenanya AADC2 “cuma” perlu 200 – 250 orang untuk setiap jam pertunjukan. Dan melihat antusiasme penonton plus penempatan film tersebut di theatre dengan kapasitas tempat duduk yang besar, saya pun optimis.
Dan benar saja, di hari pertamanya AADC2 membuat rekor baru: menangguk 200 ribu penonton di hari pertamanya saja. Dan per 6 Mei 2016 alias dalam 8 hari pemutarannya, film yang disutradarai Riri Riza itu beroleh 2 juta penonton dan langsung menjadi film nomor satu terlaris di negeri ini di tahun ini.
Apa resep sehingga AADC2 bisa membuat penonton berbondong-bondong memenuhi bioskop di seantero negeri?
Saya lantas teringat wawancara dengan Alan Horn, chairman Disney, yang dimuat di majalah Variety. Di situ ia bilang bahwa ia hanya akan bikin film jika bisa melewati 2 pertanyaan:
Do i have to watch it now?
Do i have to watch it in theatres?
Ketika mini drama LINE yang menampilkan secuplik kisah Rangga dan Cinta [dengan pemeran yang sama] menyedot perhatian jutaan penduduk dunia maya, mulailah bergulir isu bahwa “Ada Apa dengan Cinta?” pantas dibuatkan sekuelnya. Dan sang produser, Mira Lesmana, memberi semacam sinyal di penghujung 2014. Dari sinilah antusiasme itu muncul.
Jika di dunia marketing kita mengenal 4P yakni Product, Price, Placement dan Promotion, maka di film, dalam hal ini film Indonesia, kita hanya mengenal 2P: Product dan Promotion. “Ada Apa dengan Cinta” adalah sebuah produk dengan brand persona yang sangat kuat. Kurang lebih 2 jutaan orang yang menontonnya di bioskop di tahun 2002 akan kembali lagi menyaksikan bagaimana Rangga dan Cinta menahan rasa. Reuni besar-besaran akan terjadi dan kali ini melibatkan suami/istri dari penonton lanjutan tersebut. Sementara dari sisi promosi, selain diuntungkan karena kekuatan mereknya, Mira Lesmana juga dikenal sebagai produser yang jeli memperhitungkan sisi promosi. Ia selalu cermat melakukan kalkulasi atas produk yang dikeluarkannya [meski tak semuanya berhasil secara komersial]. Mini drama LINE adalah awal dan Mira Lesmana menutupnya dengan efektif dengan pemutaran perdana di Jogja yang sontak menjadi “talk of the town”.
Kekuatan merek dari sebuah produk dan promosi yang cerdas menjadi kunci yang menjawab pertanyaan Alan Horn. Do i have to watch it now? Yes, saya seperti tak sabar menunggu tanggal 28 April. Ada urgensi yang ditimbulkan oleh produk yang semula tak terlalu membuat saya antusias itu. Do i have to watch it in theatres? Yes again, di tahun 2002 terhitung sebanyak 2 kali saya menyaksikan “Ada Apa dengan Cinta?” di bioskop. Masa kali ini saya menunggu ratusan purnama untuk menyaksikannya di televisi?
AADC2 menjadi film Indonesia ketiga tahun ini yang berhasil menembus perolehan 1 juta penonton. Keberhasilan film dengan perolehan penonton sebanyak itu selalu membuat produser seperti saya juga ikut gembira. Artinya penonton film Indonesia masih ada. Sebelumnya film yang menembus sejuta penonton adalah “Comic 8: Casino Kings Part 2” dan “London Love Story”.
Dari ulasan diatas, kita sudah bisa meraba mengapa AADC2 bisa diterima sedemikian hebohnya di bioskop. Tapi bagaimana dengan “Comic 8: Casino Kings Part 2” dan “London Love Story”? Di saat film Indonesia sedemikian sulitnya meraih penonton untuk jumlah 50 ribu sekalipun, mengapa kedua film itu bisa membuat penonton juga riuh dan lantas memenuhi kursi bioskop?
“Comic 8: Casino Kings Part 2” punya sejarah yang serupa dengan AADC2. Kekuatan merek “Comic 8” yang rilis di tahun 2014 menjadi modal utama. Tapi apakah hanya dengan modal seperti itu lantas sebuah film bisa menjadi hit?
“Comic 8” boleh jadi adalah sebuah surprise hit di tahun 2014. Tak seorangpun menyangka bahwa film kedua dari Anggy Umbara itu akan meledak. Sebelumnya Anggy menyutradarai “Mama Cake” yang ditanggapi dingin oleh pasar. Hingga tiba saatnya trailer “Comic 8” dilepas di Youtube. Dan kita kaget sekaligus terkekeh menyaksikan tingkah polah komedian yang dikumpulkan dalam satu layar. Trailer “Comic 8” sangat menghibur dan dengan mudah bisa membuat orang tergerak untuk membagikannya di media sosial dan akhirnya menjadi viral. Namun di balik itu semua, kita tak boleh lupa dengan kejelian Anggy membaca jaman. Ia melihat demam program stand-up comedian di stasiun televisi yang potensial melahirkan bintang-bintang baru. Tapi ia tak mau hanya memajang satu atau dua orang saja, ia memajangnya hingga 8 orang sekaligus. Maka bayangkanlah jika penggemar dari kedelapan stand-up comedian tersebut menjadi calon penonton potensial dari “Comic 8”. Jelas sekali ini sebuah strategi yang cerdik dan mungkin tak terpikirkan oleh pembuat film di negeri ini saat itu. Anggy mengambil resiko itu dan “menambahkan” resikonya dengan sebuah film yang terasa sekali bedanya dengan film yang pernah dibuat. Ia memadukan unsur aksi, komedi dan kelokan cerita dalam satu produk. Dan hasilnya 1,6 juta orang menyaksikannya di bioskop.
Mungkin terdengar berlebihan, namun saya mencoba menyamakan kisah sukses Anggy Umbara dengan “Comic 8”-nya dengan yang dilakukan Howard Wein dengan restoran premium-nya di Philadelphia yang bernama Barclay Prime. Kisah ini saya cuplik di buku Contagious karangan Jonah Berger. Pada Maret 2004, Wein ingin membuat restoran yang menyajikan pengalaman steakhouse terbaik yang belum pernah terbayangkan. Ia membuat restoran dengan desain yang mewah di salah satu wilayah paling berkelas di kawasan bisnis Philadelphia. Namun Wein tahu bahwa ia perlu kartu As untuk membuatnya menonjol. Dan yang dipikirkannya di luar kebiasaan. Ketika restoran di sekitarnya menjual cheesesteak seharga empat hingga lima dolar saja, Wein malah menaikkan level cheesesteak yang bersahaja menjadi sensasi di dunia hiburan. Dan ia menjualnya seharga 100 dollar! Anggy menempuh jalan yang mirip dengan yang diambil oleh Wein. Di tengah sesaknya produksi film Indonesia yang bisa merilis 2 – 3 judul seminggu, Anggy merasa perlu membuat produk yang memberi sensasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya: 8 bintang komedi dalam kisah penuh aksi dan kejutan. Sebuah produk yang bisa jadi senilai dengan cheesesteak seharga 100 dolar.
Pemikiran di luar kebiasaan memang kerap menjadi kunci. Namun anomali juga sering terjadi. Di tahun 2016, anomali itu adalah film berjudul “London Love Story”. Ada berapa banyak film Indonesia yang menjual kisah cinta segitiga yang sudah diproduksi di negeri ini? Mungkin ribuan, terutama jika dihitung dengan film Indonesia yang diproduksi sebelum tahun 2000-an. Ada berapa banyak film Indonesia yang berlokasi di luar negeri? Bisa jadi ratusan, karena demam melakukan pengambilan gambar di luar negeri juga bukan baru kali ini saja terjadi, tapi sudah dilakukan sejak puluhan tahun silam.
Lantas apa yang dimiliki “London Love Story” sehingga mengundang peminat sejuta orang? Kisahnya biasa saja dan mungkin bisa dengan mudah kita temukan di film televisi. Tak ada unsur kebaruan di dalamnya yang membuat kita tergerak untuk menontonnya. Tapi tunggu dulu, kita lupa menyadari sesuatu. Saya yang berusia 30-an bukanlah target pasar dari film tersebut. Film ini mencoba menyasar pangsa pasar remaja yang gemar baper [baca: terbawa perasaan]. Maka coba tontonlah filmnya dengan dialog/adegan yang dengan mudah membuat seorang remaja putri menjadi baper. Dialog yang mungkin sulit sekali kita dengar diucapkan oleh seseorang di dunia nyata, namun di dunia yang dikreasikan di “London Love Story” tentu saja sah saja. Dengan kata lain, “London Love Story” terasa relevan dengan target pasarnya.
Dan kita juga jangan melupakan faktor bahwa “London Love Story” adalah penyempurnaan formula dari “Magic Hour” [diproduksi oleh rumah produksi yang sama dan dengan pemain yang juga sama] yang sudah dilepas ke bioskop setahun sebelumnya. Kisah cinta dengan dialog-dialog yang bikin baper, pemain cantik – ganteng yang tenar di televisi, gambar yang memanjakan mata di “Magic Hour” kini didorong dengan pemandangan indah di London.
Selain produk, keberhasilan film Indonesia juga sangat ditentukan oleh promosi. “Ada Apa dengan Cinta 2?” dan “London Love Story” didukung penuh promosinya oleh stasiun televisi yang sama yang menjadi kemewahan tersendiri. Dengan promosi yang sedemikian gencar, tak urung membuat calon penonton bisa dengan mudah menjawab dua pertanyaan dari Alan Horn diatas. “Comic 8: Casino Kings Part 2” juga didukung oleh gelontoran biaya promosi yang kabarnya tembus 10 miliar rupiah.
Saya tak akan heran sekiranya AADC2 bisa meruntuhkan rekor “Laskar Pelangi” dengan 4,6 juta penonton yang sudah dipegang selama 8 tahun. Bahkan ketika “Habibie & Ainun” tak mampu meruntuhkannya. Mengapa demikian? Karena AADC2 punya faktor lain yang jarang dimiliki film lainnya: NOSTALGIA. Produser mana yang bisa melawan penonton dengan nostalgia?
- 5 Film Paling Favorit di Paruh Akhir 2016 - 31/12/2016
- 5 Film Paling Favorit di Paruh Pertama 2016 - 11/07/2016
- Jika Reza Bisa Jadi Habibie, Kenapa DiCaprio Tak Bisa Jadi Rumi? - 11/06/2016
Baru kali ini baca ulasan asik. Bersahabat sama blog ini boleh ya