5 Film Paling Favorit di Paruh Akhir 2016

Tahun ini menjadi tahun yang menyenangkan bagi perfilman Indonesia. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah ada 8 judul yang berhasil beroleh lebih dari sejuta penonton. Sejarah juga diukir oleh “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1” yang mematahkan rekor yang dipegang “Laskar Pelangi” selama bertahun-tahun dengan menjadi film Indonesia terlaris sepanjang masa. Film yang dibintangi trio Abimana Aryasatya, Vino G Bastian dan Tora Sudiro itu mencetak perolehan 6,8 juta penonton.

Di luar faktor sukses, saya memilih 2 judul film Indonesia untuk masuk ke dalam daftar di akhir tahun. Keduanya berdampingan dengan 3 judul film lainnya dari raksasa perfilman dunia: Hollywood dan Bollywood.

#6 – 3 Srikandi
Olahraga panahan bukan cabang olahraga yang populer di tanah air. Namun panahan mengukir prestasi dunia ketika trio Lilies Handayani, Nurfitriyana Saiman dan Kusuma Wardhani merebut medali perak nomor beregu putri di Olimpiade Seoul 1988. Inilah medali pertama yang direbut Indonesia di ajang olahraga paling prestisius sejagat itu.

Film bertema olahraga tak banyak dibuat di negeri ini, biasanya pun seputar sepakbola. Langkah memfilmkan kisah tiga srikandi ini menjadi pendekatan berani yang dilakukan rumah produksi Multivision Plus dibawah komando sutradara Iman Brotoseno. Alih-alih menjadi membosankan karena selain tak populer, panahan juga rasanya tak “sevisual” sepakbola, “3 Srikandi” hadir menjadi film yang utuh berkat kolaborasi padu dari skenario, departemen penyutradaraan dan akting dari tiga pemerannya. Meski disana-sini memang masih tersaji keklisean yang mungkin sulit dihindari film bertema sejenis, namun sama sekali tak mengganggu betapa lancarnya kisah didalamnya bertutur dan berpilin dengan baik.

Kredit khusus patut diberikan pada Chelsea Islan yang kali ini tampil diluar kebiasaan: kenes, tak takut terlihat jelek dan menjadi pencair suasana. Sebelumnya kita mungkin sulit membayangkan aksi Chelsea bisa membuat penonton terbahak-bahak di sebuah film, namun disini sebagai Lilies, ia berhasil melakukannya. Lontaran dialog hingga gerak tubuhnya terukur namun tak tampak diatur. Chelsea berhasil membuat penonton peduli pada karakternya yang memang lebih dramatis dari dua rekan seperjuangannya, namun dalam cara yang jenaka.

#7 – Nerve
Tak pernah sekalipun saya membayangkan sebuah cerita berbasis tantangan online bisa sedemikian mengasyikkan, sedemikian menegangkan dan sedemikian menariknya. Cerita secemen ini juga bisa digunakan sebagai medium untuk mengkritik secara cerdas mengenai perilaku narsistik generasi masa kini yang tampaknya sudah berada di ambang mengkhawatirkan. Mereka membuka diri seluas-luasnya untuk orang asing masuk ke dalam kehidupan pribadi mereka melalui video yang mereka buat dan disebarluaskan.

BACA:  Tri Narmini, "Ratu Uber" Asal Indonesia di Maryland

“Nerve” membungkus cerita berdasar tantangan demi tantangan yang sungguh mengejutkan dan mendebarkan dengan pilihan musik yang beragam, sangat kekinian dan masuk dengan mudah ke dalam urat nadi cerita. Kita terkaget-kaget melihat Vee [Emma Roberts] dan Ian [Dave Franco] melakukan tantangan gila seperti mengendarai motor dengan mata tertutup hingga masuk ke butik mahal untuk mengenakan busana super mahal dan lantas terbirit-birit keluar dengan kondisi setengah telanjang. Sedemikian hausnya kah kaum muda dengan pengakuan dari sesamanya sehingga rela melakukan tantangan yang bahkan membahayakan jiwa.

Dan di ujung kisah, “Nerve” memperlihatkan warna aslinya: film ini bukan sekedar film remaja biasa dengan kisah cinta nan manis. Ia memergoki naluri jahat yang tersimpan di dalam diri kita.

#8 – Captain Fantastic
Siapa yang tak jatuh cinta dengan kisah seperti ini? Seorang ayah membesarkan enam putra-putrinya sendirian di tengah hutan. Ia tak hanya mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai buku namun juga bagaimana mereka beradaptasi dengan alam liar yang terkadang buas. Tapi apa jadinya jika anak-anak itu akhirnya masuk ke dunia modern karena sebuah peristiwa? Sanggupkah mereka beradaptasi dengan perubahan mendadak setelah selama bertahun-tahun nyaman dibesarkan oleh panas, hujan, badai dan lumpur?

Viggo Mortensen menjadi kunci di film ini. Sosoknya sebagai seorang ayah yang berjiwa bebas begitu merasuk. Ia bukan lagi aktor yang berperan sebagai Ben Cash, ayah beranak enam itu. Viggo adalah Ben. Kita peduli dengan bagaimana ia menyayangi anak-anaknya, merasakan kepedihan ketika salah satu putranya ingin menjauh darinya dan bagaimana ia berjuang untuk kebaikan anak-anaknya sendiri.

Jangan tanya berapa banyak airmata yang tumpah di film ini. Padahal sesungguhnya kisahnya bukanlah kisah yang direkonstruksi sedemikian rupa agar penonton menjadi cengeng. Hati kita tersentuh oleh kisah luar biasa ini.

BACA:  Perpustakaan Paling Hening di Dunia

“Captain Fantastic” adalah kisah fantastis dari seorang ayah biasa yang berjuang dengan cara luar biasa demi anak-anaknya.

#9 – Hacksaw Ridge
Tak pernah sedikitpun saya membayangkan akan ada film religi dengan latar belakang medan perang. Namun Mel Gibson membuatnya dan mendapatkan cerita luar biasa ini dari kisah yang benar-benar terjadi. Inilah film yang kompleks dimana desing peluru dan gemuruh bom bertarung dengan ide anti-perang. Bukankah ini menakjubkan?

Kita mungkin tak akan percaya bertemu dengan sosok seperti Desmond Doss. Pemuda cinta damai yang ingin membela negerinya di medan perang tanpa bermodalkan senjata. Ajaran agama yang dianutnya memberinya kegigihan dan keyakinan bahwa terjun di medan perang tanpa senjata tak akan membuatnya mati konyol. Sebaliknya, ia justru berhasil menyelamatkan puluhan tentara yang terluka.

Detik demi detik di film ini memang memberi rasa ketakjuban. Bukan main cemerlangnya cara Mel Gibson yang duduk di kursi sutradara untuk berceramah tentang keyakinan. Ia memperlihatkannya, tak sekedar diucapkan oleh para karakter yang lalu lalang di dalam filmnya. Ia memberi kami harapan, para pembuat film, bahwa sesungguhnya genre religi bisa sangat lentur berinteraksi dengan genre lainnya. Di genre yang terasa paling tak cocok dengan religi, ia berhasil mengawinkannya dengan kombinasi yang brilyan.

Dan Mel Gibson juga perlu berterima kasih pada Andrew Garfield. Desmond yang tampak seperti malaikat yang turun ke bumi berhasilnya dibuatnya membumi. Desmond juga bisa takut, bisa putus asa, namun ia tak pernah kehilangan harapan pada Tuhan.

#10 – Dangal
Salah satu cara terbaik menikmati film adalah tak perlu tahu apapun tentang kisah yang tersaji dalam filmnya. Begitulah cara saya menikmati “Dangal”. Saya hanya tahu bahwa film ini dibintangi Aamir Khan. Hanya itu saja informasi atas film ini. Dan saya berangkat menonton filmnya tanpa ekspektasi apapun.

Tapi sejak menit awal, saya kaget dengan kisah yang disajikan. Terlebih saat tahu bahwa film ini mendasarkan dirinya pada kisah nyata. Di sebuah negeri yang sering sekali menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, bagaimana mungkin menemukan seorang ayah yang punya mimpi besar agar anaknya membawa pulang medali emas dari penghargaan internasional dari cabang olahraga gulat? Dan kekagetan saya rupanya belum berakhir. Mahavir Singh Phogat [Aamir Khan] menumpukan mimpi itu pada dua anak gadisnya. Bisa membayangkan dua orang gadis remaja harus bertarung di cabang olahraga yang semaskulin gulat? Well, saya tak pernah mencoba membayangkannya.

BACA:  Siswi Indonesia Juara Cerdas Cermat Internasional di India

Saya memang punya kecenderungan menyukai cerita tentang seorang pemimpi. Mereka yang datang dengan mimpi yang seringkali terdengar muluk-muluk, dicemooh karena mimpinya yang terdengar gila itu dan pada akhirnya membuktikan bahwa mimpi itu bisa terwujud. “Dangal” tak hanya punya itu. Ia punya 2 pasang pemain remaja [berperan sebagai versi remaja dan versi dewasa] yang bermain luar biasa cemerlang mendampingi Aamir Khan yang menampilkan keindahan seni akting tingkat tinggi.

Diluar semua itu, “Dangal” membuat kita jatuh cinta karena Geeta dan Babita mungkin adalah kita. Pada suatu masa, kita mungkin pernah merasa betapa kejamnya orangtua memaksa kita untuk serius menekuni suatu bidang karena percaya bahwa kita bisa menjadi terbaik di bidang itu. Tapi lambat laun seiring waktu berjalan, tahulah kita betapa orangtua kita hanya menginginkan yang terbaik untuk kita. Dan Mahavir bisa jadi sosok ayah yang kita benci di awal untuk kita cintai pada akhirnya.

Ichwan Persada

1 Comment

Leave a Reply

Silakan dibaca juga