Tali Cadangan di Sepatuku

Pada suatu ketika, kami punya uang lebih untuk membawamu berkeliling. Kita pulang kampung, Nak. Bertemu nenek yang merindukanmu. Kamu baru pertama kali bepergian jauh naik pesawat. Umurmu belum empat bulan ketika itu. Setelah naik pesawat 2 jam dan beristirahat seperlunya, perjalanan masih dilanjutkan dengan perjalanan darat naik mobil kurang lebih 4 jam. Makassar-Bone kita tempuh dengan senang. Sesekali kamu menangis tapi selalu bisa didiamkan.

Di kampung, kita bergembira. Kamu menghirup udara seperti yang ayahmu hirup sedari kecil. Kamu merasakan panasnya kota kecil kami. Panas yang bisa bikin mentega meleleh.

Tapi kita bersenang-senang belaka, hingga tiba waktunya pulang.

Bone-Makassar harus kita tempuh 4 jam lagi. Dan seperti waktu berangkat, alhamdulillah, kita ada rezeki lebih sehingga bisa membayar satu baris kursi di mobil angkutan. Satu baris yang biasa diisi 4 orang itu aku bayar semua, sehingga hanya ada aku, ibumu dan kamu di gendongan, serta dua ransel berisi peralatan-peralatanmu. Lumayan lapang.

Lalu ada penumpang satu keluarga ikut naik. 3 orang dewasa dan 2 anak kecil. Mereka duduk di bangku belakang baris kami, padahal sudah ada satu penumpang di situ. Seorang gadis remaja. Kata sopir, rombongan keluarga itu hanya membayar untuk 3 orang dan memutuskan untuk memangku dua anak kecil mereka. Mobil penuh.

Seperempat jalan, anak-anak kecil itu mulai rewel dan menangis, dan salah satu orang dewasa itu mengeluh kakinya keram. Berdesak-desakan seperti itu sungguh tidak nyaman.Tiba-tiba aku dihinggapi rasa bersalah. Aku memandangi ibumu dan kamu yang sedang tertidur. Aku tidak berani menoleh ke belakang. Tuhan, salahkah kami bila bisa membayar lebih?

Kira-kira menjelang separuh perjalanan, mobil berhenti di sebuah warung. Semua penumpang turun mengisi perut. Gadis remaja yang duduk berdesakan dengan keluarga itu juga turun duduk di dekat kami.

Kamu masih tertidur. Aku mendekati ibumu dan mencium keningnya.

“Kelak di surga, Sayang, kita bisa mengambil tempat selapang yang kita mau…,” bisikku. Ibumu mengangguk. Subhanallah, beruntung sekali memiliki dia.

Lalu si gadis remaja itu kami minta pindah duduk bersama kami, di baris kami. Dia tersenyum senang.

BACA:  Di Jalan Pulang dari Resepsi Pernikahan Sang Mursyid

Nak, sesungguhnya aku merasa berat untuk menceritakan ini. Seperti ketakutan-ketakutanku yang lazim, aku takut ini hanya akan berakhir riya atau sum’ah. Kita bangkrut amal karena menceritakan kebaikan yang kita kerjakan. Makanya aku sempat mendiamkan ini beberapa hari sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menulisnya untukmu. Harga pelajaran memang mahal, Nak. Jika memang aku harus bangkrut, bangkrutlah asalkan engkau bisa menerima pesanku. Tapi, insya Allah, Nak, sama sekali tak ada niatku untuk membangga-banggakan diri. Kami ini hanya orang-orang dhaif yang berjuang mengurangi tumpukan dosa dengan perbuatan-perbuatan baik sebanyak mungkin.

Soal memberikan kursi itu, aku sudah lupa hingga kami berada di depan konter check in sebuah maskapai. Kami akan terbang pulang ke Jakarta.

Seat yang kami incar sudah terisi orang rupanya. Itu seat kelas ekonomi paling depan, tepat di belakang dinding kelas bisnis. Tempat itu kami incar supaya ibumu gampang bila ingin menyusuimu, dan juga supaya orang tidak merasa terganggu bila kamu menangis.

Akhirnya kami dapat nomer kursi 31, nyaris paling belakang. Tak apa-apalah. Di baris itu ada sedikit ruang lowong untuk kaki karena letaknya dekat pintu darurat.

Ketika semua penumpang sudah naik dan pramugari sibuk mengatur, tiba-tiba seorang awak kabin mendekati kami. Kami diminta pindah karena tidak boleh ada bayi di sekitar pintu darurat. Tadinya aku ingin protes karena toh baris kami itu tidak persis sebaris dengan pintu darurat melainkan di baris belakangnya. Tapi kami ikuti saja kemana awak kabin itu memindahkan kami. Barang-barang yang terlanjur sudah aku masukkan ke bagasi kabin aku tinggalkan begitu saja.

Dan kamu tahu, Nak, kemana kami dipindahkan? Ke kelas bisnis yang kursinya besar dan lapang!

Di kelas bisnis yang terdiri dari 10 kursi itu, rupanya hanya terisi delapan kursi. Dan kursi merah besar yang tersisa itu diberikan untuk kami. Aku tertegun dan sempat bertanya-tanya dalam hati. Kenapa kami? Di pesawat itu ada banyak penumpang yang membawa bayi, dan di sekitar kursi yang pertama kami tadi juga aku lihat ada beberapa penumpang yang membawa bayi. Kenapa bukan mereka dan harus kami?

BACA:  Sisa Senyum

Lalu aku ingat apa yang aku bisikkan kepada ibumu ketika kami memutuskan untuk merelakan kursi kami kepada penumpang mobil tempo hari.

“Kelak di surga, kita bisa mengambil tempat selapang yang kita mau…”

Itu yang terngiang. Tiba-tiba ada rasa bahagia campur takut. Bahagia karena begitu cepatnya Allah membalas perbuatan kecil kami. Dan sekaligus takut karena berpikir, “Jika Allah telah membalasnya di dunia, masih dapatkah kami balasan di akhirat nanti?”

Kami takut, Nak, jangan-jangan kami ini tak pantas untuk masuk surga, sehingga Allah membalas semuanya di dunia. Jangan-jangan semua ini istidraj. Kita seolah-olah dimudahkan agar kita merasa bahwa kita ini hamba terpilih, dan akhirnya kita menjadi lalai dan sesat. Naudzubillah…

Lalu aku menghibur diri. Teringat ucapan Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah Radiallahu anhu, “Barangsiapa yang meringankan penderitaan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah akan meringankan penderitaan dan kesulitannya kelak di hari Kiamat, dan barangsiapa yang memudahkan urusan orang yang mengalami kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.”

Rasulullah Muhammad adalah sosok yang selalu ingin memudahkan orang lain. Suatu ketika beliau sedang menyampaikan khotbah di hadapan sahabat-sahabat yang sudah berkumpul di mesjid. Ketika menyampaikan khotbahnya, tiba-tiba sekelompok jamaah lain datang belakangan. Rasulullah segera meminta sahabat-sahabat yang sudah datang lebih dahulu untuk bergeser dan memberikan tempat kepada mereka yang datang terlambat. Konon ada yang protes, kenapa mereka yang datang terlambat justru lebih dipentingkan.

Nak, aku mendengar kisah ini sambil terkantuk-kantuk di sebuah khotbah Jumat. Tapi yang pasti, aku bisa menangkap inti kisahnya. Bahwa kita harus selalu berusaha memudahkan orang lain. Bagaimanapun caranya. Seperti yang dicontohkan Rasulullah.

Dan teringatlah aku pada sebuah kisah yang lain, Nak. Kisah anak kecil yang berangkat sekolah. Anak kecil ini setiap berangkat sekolah selalu meminta dua pasang kaos kaki kepada ibunya. Satu dipakai, dan satu lagi disimpan dalam tasnya. Sang ibu berpikir, mungkin kaos kaki itu sebagai cadangan bila kaos kakinya basah atau untuk dipakai dobel bila udara dingin.

BACA:  Beras

Suatu hari, sang ibu akhirnya tak tahan untuk tidak bertanya, “Kenapa harus selalu membawa dua pasang kaos kaki, Nak?”
Dan anak kecil itu menjawab, “Siapa tahu ada teman yang butuh, Ma…”
Subhanallah. Semoga kita bisa belajar dari anak kecil itu.

Sehingga jika suatu hari kau melihat sepatuku, Nak, kamu tak perlu lagi bertanya. Kenapa ada tali cadangan di situ. Di sepatuku, Nak, jenis hiking boot Hi-Tec V-Lite Mid Fasthike, ada selingkar tali prusik kecil ukuran 3 mm yang jika diurai kira-kira ada sepanjang 2,5 meter. Dia sudah ada di sana sejak lama, jauh sebelum aku menikah dengan ibumu.

Adalah seorang kawan yang mengajarkan. Itu saat kami masih sering berkelana kemana-mana. Masuk ke kampung ke orang, hanya membawa ransel dan diri. Tali itu ada di sana, Nak, di sepatuku, karena aku yakin suatu hari pasti akan bertemu dengan seseorang yang membutuhkan. Dan dengan itu, Nak, semoga aku bisa merasa sedikit berguna.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga