Semesta Kobokan

semesta kobokan

Saya selalu membayangkan Ibu ketika membasuh tangan di dalam kobokan. Ia seperti ibu, yang selalu mengingatkan bahwa pikiran harus sering-sering dibersihkan.

Di masa kanak-kanak, saat yang paling menyenangkan bagi saya adalah ketika makan malam bersama di rumah. Selain menikmati masakan ibu yang selalu sedap di lidah, saya selalu bersemangat memerhatikan bagaimana kobokan berpindah dan berubah warna sedemikian rupa. Bagi keluarga kami yang penutur bahasa Bugis, kobokan dinamaiakkenynyong; oleh orang Makassar ia disebut cimbokang, atau kimbokang.

Kami menyantap makanan dengan menggunakan tangan. Sendok hanya dipakai untuk mencedok sayuran dan nasi. Garpu tak ada, karena memang tak pernah kami gunakan. Dengan menggunakan tangan saja, sendok dan garpu tak akan punya peranan sama sekali di atas piring kami. Di meja makan, hal pertama yang menjadi perhatian kami semua adalah kobokan, wadah air yang berbentuk mangkok kecil dari bahan gelas atau besi yang cukup memuat satu kepalan tangan. Kami tak akan bisa memulai santap bersama kecuali kobokan sudah tersedia, untuk membersihkan tangan sebelum menyentuh makanan. Air bening yang mengisi kobokan ini diambil dari bak penampungan di dapur atau kamar mandi. Pada saat itu, meski kami berlangganan air bersih yang mengalir melalui keran, tapi aliran air hanya bisa dinikmati pada saat-saat tertentu saja dan biasanya tengah malam. Dan karenanya, kobokan menjadi satu-satunya alat bantu bagi kami untuk membersihkan tangan sebelum makan dengan lahap.

Biasanya ibu menyediakan hanya satu kobokan. Kali lain sekira jumlah penikmat makan malam lebih banyak, kadang sepupu atau kerabat dari kampung ikut serta, Ibu akan menghadirkan dua atau tiga wadah kobokan. Selain bakul nasi, hanya kobokan yang boleh berpindah tempat, mangkok sayur atau piring berisi lauk dan selebihnya mesti diam di tempat. Kobokan memulai tugasnya di tangan Ayah, pedagang yang sehari-harinya menjaga kios campuran, sebutan umum untuk kios yang menjual aneka ragam pakaian di pasar, dari pagi hingga petang. Tangan Ayah yang selalu bersih oleh bekas-bekas wudhu tentu tak banyak mengubah warna air kobokan. Kobokan kemudian berpindah ke saudara yang duduknya dekat dari Ayah dan seterusnya, demikian mangkok kecil itu akan memutar hingga kembali lagi ke hadapan Ayah.

Ketika kobokan sudah menyempurnakan urusannya, air yang dia tampung juga telah berubah rupa. Tak lagi bening seperti semula, tapi sudah keruh menyesuaikan warnanya dengan debu-debu yang kami bawa ke meja makan. Kadang berakhir dengan warna coklat, kemerahan, atau hitam pekat seperti air selokan. Melihat perubahan itu tentu saja kami merasa jorok, dan dengan segera Ibu mengganti airnya dengan yang baru, menimba lagi dari bak penampungan. Kobokan mulai bertugas lagi untuk kedua kalinya ketika perut sudah kenyang dan piring tak lagi bersisa. Jari jemari yang masih dilengketi sisa-sisa makanan kami bersihkan lagi dengan kobokan, untuk yang terakhir kali. Demikianlah, selain bacaan basmalah dan hamdalah di bibir, makan malam kami dimulai dan diakhiri dengan tugas suci semangkok kobokan.

BACA:  Menjahit Robekan Tenun: Bacaan Sebelum Pemilihan

***

Kobokan yang dipergunakan bersama-sama ini tidak hanya ditemukan di hampir semua suku di nusantara atau asia tenggara, tapi juga di belahan dunia lain. Godfrey Mwakikagile, cendekia asal Tanzania pernah menulis juga tentang kobokan ini. Mirip dengan cerita saya di atas, ia mengisahkan bahwa seorang kawannya dari Michigan pernah bergidik melihat penduduk Afrika Barat menggunakan kobokan secara berjamaah. Sebelum makan, mereka bergantian menggunakan kobokan hingga air di dalamnya berubah warna menjadi coklat. “Masyarakat Afrika sesungguhnya sangat menyenangkan, kecuali bahwa mereka membasuh tangannya yang kotor di kobokan yang sama” ungkapnya dengan nada heran.

Tradisi mencuci tangan sejatinya ada di mana-mana. Jauh sebelum sendok, garpu dan sumpit ditemukan, tangan yang dipakai sebagai alat menyuapkan makanan selalu dibersihkan dahulu. Tentu saja alasan utamanya adalah soal hygienitas, kebersihan dan pencegahan penyakit. Adapun landasan agamis yang muncul belakangan itu hanya untuk menaikkan derajat kegiatan basuh tangan ke bentuk seruan atau kewajiban. Tapi intinya ya persoalan kebersihan, termasuk makna kiasannya.

Di dalam kitab Talmud, buku suci kaum Yudaism, disebutkan bahwa Raja Sulaiman mewajibkan pengikutnya untuk membasuh tangan ke dalam kobokan besar yang dinamakanlavers sebelum menyantap hewan kurban dari altar persembahan. Kobokan besar berbahan kuningan ini juga berfungsi sebagai cermin yang memantulkan wajah jemaatnya. Mereka mempercayai bahwa selain membersihkan tangan mereka, lavers juga akan melunturkan dosa-dosa mereka. Tradisi gereja juga mengenal ritual basuh tangan yang dikisahkan dilakukan oleh Pontius Pilatus untuk menunjukkan bahwa dirinya tak bersalah dalam kematian Yesus. Selain itu, basuh tangan juga melebar menjadi ritual awal sebelum melakukan perayaan suci dalam Kristen. Hal yang sama juga jamak disaksikan dalam ritual berwudhu di kalangan umat Islam, mensucikan diri sebelum menghadap Tuhan.

Persoalan membasuh tangan ini pernah menjadi temuan yang revolusioner di Eropa. Tahun 1846, Ignaz Semmelweis, seorang dokter kelahiran Hungaria yang bekerja di Rumah Sakit di Wina Austria berhasil mencegah kematian lebih banyak yang dialami para ibu saat itu. Bukan saja ibu-ibu yang melahirkan yang menjadi korban, tetapi juga tercatat banyak dokter rekannya yang mendadak sakit dan meninggal. Ignaz kemudian melakukan beberapa riset dan menarik sekian kesimpulan sebelum akhirnya menyadari bahwa kematian dalam jumlah banyak itu disebabkan berpindahnya kuman penyakit dari tangan dokter ke pasien atau sebaliknya. Fakta paling jelas saat itu adalah bahwa kematian ibu yang melahirkan dengan bantuan bidan jauh lebih sedikit lima kali daripada kematian ibu yang dibantu oleh dokter. Rupanya dokter yang sama yang menangani kelahiran itu juga memiliki tugas tambahan untuk membedah pasien lain dengan penyakit serius. Tentu saja bidan tak melakukan hal yang sama.

BACA:  3 Urinoir

Karenanya, Dokter Ignaz Semmelweis kemudian menyarankan agar para dokter membasuh tangan sebelum beralih tugas ke kamar bersalin atau kamar operasi, juga alat-alat kedokteran yang dipakai di Rumah Sakit itu, dan membersihkannya dengan cairan klorin yang berfungsi sebagai disinfektan, pembunuh kuman penyakit. Temuan Ignaz ini dianggap sangat signifikan di dunia kedokteran saat itu, dan kemudian menjadi praktik standar di mana-mana untuk mencegah perpindahan penyakit melalui tangan atau alat-alat kedokteran.

***

Semesta kobokan sejatinya bukan hanya sebatas meja makan, atau altar persembahan, atau meja operasi di Rumah Sakit. Bagi saya pribadi, ia menyimpan semacam pesan yang luhur. Kegunaan azalinya memang untuk membersihkan tangan sebelum makan, tapi kobokan juga semacam kiasan bahwa hidup ini mesti sering-sering dibersihkan.

Saya selalu membayangkan Ibu ketika membasuh tangan di dalam kobokan. Ia selalu mengingatkan bahwa pikiran harus sering-sering dibersihkan. Meski kita mungkin yakin bahwa apa yang kita pahami sudah benar, tapi tak ada salahnya sering-sering merenungi diri lagi. Membasuhnya dengan pengetahuan baru, atau perspektif baru mungkin bisa bermanfaat untuk membersihkan kotoran berupa dugaan-dugaan yang salah namun telanjur melekat dalam pikiran kita.

Dengan latar kekinian, seperti kita saat ini berada di dunia dengan ragam informasi yang melintas pesat melebihi apapun. Banyak berita atau artikel yang membanjiri timeline kita di social media atau group diskusi, namun tak semuanya layak kita kunyah begitu saja. Berita fitnah, hoax atau dugaan-dugaan yang belum jelas kebenarannya begitu mudah dilemparkan orang di sana. Diperlukan kobokan, baik sebelum atau sesudah meraup segala perlintasan informasi itu, untuk melindungi diri dan pikiran dari akibat buruk jahatnya informasi itu. Demi untuk tetap menjaga kewarasan sebagai manusia, juga memuliakan akal dan nurani yang telah dianugerahkan oleh Tuhan untuk kita pakai menyaring dan hanya menyisakan hal-hal yang baik.

Dengan kiasan kobokan ini, kita berharap bahwa segala rupa kotoran yang masih melekat di tangan dan pikiran kita, bisa larut dan mengendap bersama keruhnya air basuhan itu. Dan jangan sampai malah kobokan menjadi ikut terminum lagi oleh kita. Ada kisah lucu saat Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, saat Gamal Abdul Nasser dan Jawaharlal Nehru, presiden Mesir dan Perdana Menteri India hendak bersantap siang di Rumah Makan Madrawi Bandung, keduanya nyaris meminum air di dalam kobokan yang dihidangkan untuk mereka. Kalau tak dicegah oleh pelayan di Rumah Makan itu, mungkin air kobokan sudah tandas diteguk kedua pemimpin Asia itu.

BACA:  Mengapa Kisah Seperti Ini Harus Terus Dibagi....

Tulisan sederhana ini saya tutup dengan sebuah kisah jenaka yang saya salin dari sebuah forum diskusi, mudah-mudahan pesan yang hendak disampaikan sama baiknya.

Alkisah, seorang raja melayu sempat diprotes oleh tamu yang lain dalam acara jamuan makan malam kerajaan. Ia begitu eksentrik karena saat para raja lain makan dengan elegan menggunakan sendok dan perangkat lain, ia dengan santai membasuh bersih tangannya sendiri lalu makan menggunakan telapak tangan dan jari-jarinya itu. Saat ditanya serius, ia menjawab dengan 3 alasan mengapa ia lebih mempercayai tangannya daripada sendok. Ia pun berkata:

“Pertama; Saya yakin tangan saya lebih bersih daripada sendok dan garpu karena saya sendirilah yang membasuhnya, bukan orang lain. Sendok- garpu yang dibasuh orang lain belum tentu bersih.

Kedua; saya yakin tangan saya lebih bersih karena hanya saya seorang yang menggunakannya, tidak pernah dipinjam orang lain. Sedangkan sendok itu sudah dipakai oleh orang yang berbeda-beda.
Ketiga; saya percaya tangan saya lebih bersih karena tak pernah jatuh dari tempatnya setelah dicuci.”

Anda pembaca, boleh mengganti lema “tangan” dalam kisah di atas dengan pikiran.

Muhammad Ruslailang
Latest posts by Muhammad Ruslailang (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga