Sebab Engkau Bukan Putra Luqman

Ilustrasi. Img:freeimages.com
Ilustrasi. Img:freeimages.com

Dia seorang manusia biasa, Nak. Bukan nabi bukan rasul. Tapi Allah SWT memberinya derajat yang diimpikan oleh seluruh ayah di kolong langit ini. Dia memahami hikmah, maqam tertinggi dalam ilmu. Namanya tercantum dalam Al-Quran. Luqman Al Hakim. Luqman yang penuh dengan hikmah.

Nasehat dan petuah Luqman kepada putranya adalah ajaran yang tak lekang oleh zaman. Seringkali jika datang waktu-waktu tenang, aku berusaha mempelajarinya, berusaha memahaminya dengan bekal pengetahuanku yang bahkan semata kaki pun tak sampai. Dangkal. Kamu tahu, Nak, aku ini drop out dari madrasah ibtidaiyah.

Suatu hari, Nak, sewaktu aku masih menjalankan ibadah kuliah di universitas, seorang perempuan menyelipkan pesan di buku catatanku. Dia menulis dengan huruf berukuran besar. “Kalau kamu ingin memahami arti hikmah dan kebijaksanaan, maka janganlah pernah membiarkan dirimu dikuasai oleh wanita. Karena wanita itu adalah seperti perang tanpa perdamaian. Bila dia mencintaimu, maka dia akan memangsamu. Dan bila dia membencimu, maka dia akan membinasakanmu.”

Aku lupa apa yang aku perbuat pada perempuan itu hingga dia memuntahkan kalimat itu.

Tentu saja, ketika membacanya pertama kali aku berpikir siapa gerangan yang membuat pernyataan seksis begini rupa. Belakangan aku baru tahu bahwa itu adalah salah satu nasihat Luqman Al Hakim kepada anaknya, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Luqman Al-Hakim Wahikamuhu karya Al-Allamah Al-Habib Ali bin Hasan bin Abdullah bin Hasan bin Umar Al-Attas Shahibur Ratib Al-Alawi Al-Hadhrami Rahimahullah.

Dan karena dia Luqman Al-Hakim dan aku hanya seorang drop out madrasah, maka aku berhenti mempertentangkannya. Jika bukan karena salah kutip atau salah tafsir, pernyataan itu tentu bukan untuk melecehkan kaum wanita seperti prasangkaku. Luqman pasti telah melewati perenungan mendalam sebelum menetaskan nasehat pars pro toto itu. Tanpa bermaksud menyalahkan kaum wanita yang mulia, tapi mari kita sejenak membenarkan Luqman. Kamu lihat sekarang, Nak, banyak orang yang harus korupsi karena istrinya minta kulkas atau mobil baru. Mari berdoa, semoga kita terhindar dari situasi yang demikian.

BACA:  Pagliacci dan Badut yang Tidak Bisa Sulap

Sesungguhnya masih banyak lagi nasehat Luqman untuk anaknya. Tentu tak bisa aku tuliskan semuanya di sini untukmu, melainkan tulisan ini akan jadi ratusan halaman.

Semoga Allah memberi kita banyak kesempatan bersama sehingga bisa mengkaji lebih banyak lagi nasehat Luqman. Tentu dengan keterbatasan pemahamanku, Nak.

Jika boleh menyesali sesuatu, maka aku menyesal tidak sempat belajar banyak ketika aku muda. Ketika otakku masih seperti spons yang bisa menyerap semua. Aku lebih sering kabur ketika ibuku menyuruhku mengaji. Padahal seandainya aku patuh, maka mungkin sekarang aku bisa juga bergelar ustadz. Ustadz Cinta. Hehehe.

Ilmu itu penting, Nak, sehingga seringkali disandingkan dengan iman. Iman tanpa ilmu adalah buta, dan ilmu tanpa iman adalah lumpuh. Ilmu adalah senjata orang berakal. Jangan banyak bicara yang tak perlu, karena banyak bicara yang tak perlu adalah tanda orang tidak berakal. Kecuali kalau kau motivator atau trainer. Engkau boleh banyak bicara, supaya orang jadi bersemangat atau menangis menyesali dosa-dosanya. Dan kau dibayar mahal untuk itu.

Banyak nasehat Luqman, Nak. Tapi tak bisa aku jelaskan demikian rinci. Apalah aku ini, Nak. Aku ini hanya seorang ayah di zaman yang kacau balau. Seringkali aku berkhayal bisa seperti Luqman, mengajakmu ke pasar menuntun keledai dan mempelajari pendapat orang-orang. Tapi jangankan hikmah, pelajaran paling dasar pun seringkali tak bisa aku cerna. Aku ini hanya seorang ayah medioker yang berjuang mati-matian untuk berguna. Sehingga kelak bila ada sesi bercerita di depan kelas, kamu dengan bangga akan bilang kepada teman-temanmu, “Ayahku… selain ganteng, dia juga keren dan berpikir dirinya Luqman.”

BACA:  Mengetes Tuhan

Tapi aku tentu bukan Luqman, Nak. Tak ada Luqman yang sering telat bangun shalat subuh. Tak ada Luqman yang lebih suka duduk di shaf paling belakang saat shalat Jumat. Tak ada Luqman yang sering terkantuk-kantuk saat mendengar khotbah…

Begitulah, Nak. Aku ini hanya seorang ayah akhir zaman yang ingin meniru Luqman. Mencari sesuatu yang bisa kami sebut sebagai kesamaan.

Luqman Al Hakim, orang bijak dalam kitab suci itu berkata kepada anaknya:
Anakku, dirikanlah shalat dan ajaklah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong, dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
[QS 31:17-19]

Terpisah jarak dan sejarah ribuan tahun, aku pernah dengar Dik Doank, seorang entertainer, berkata kepada anaknya:
“Nak, kecuali apa yang agama larang, bebaskan dirimu memilih jalan!”

BACA:  Ilmu Dasar Kamera

Bapakku, laki-laki bersahaja, pensiunan pegawai negeri, berkata kepadaku:
“Kalau kamu memang ingin nakal, nakallah sewajarnya. Tapi kamu jangan merusak sesuatu yang kamu tak bisa ikut memperbaikinya.”

Aku, seorang karyawan swasta seolah-olah jurnalis, berkata kepadamu. Pada titik ini, Nak, aku rasa, tak ada beda aku atau bapakku dengan mereka. Sama-sama ingin melindungi anaknya, seluas kemampuan tangannya.

Tangan. Itulah sesuatu yang sakral, wahai anakku River. Hingga Luqman, setelah serangkaian perjalanannya, berkata kepada anaknya.

“Anakku, aku sudah pernah memikul batu-batu besar, aku juga sudah mengangkat besi-besi berat. Tapi tidak pernah kurasakan sesuatu yang lebih berat daripada tangan yang buruk perangainya.”

Jumat, 12 Maret 2010

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga