Rashford dan Jerusalem Syndrome

 
Tidak banyak pemain Manchester United yang terang-terangan dipuji oleh fans Liverpool, selain seorang Marcus Rashford. Untuk Rashford, bahkan Jurgen Klopp – pelatih kharismatik The Reds memberikan pujian yang bisa membuatnya besar kepala, “Saya tak menemukan kata lain selain luar biasa untuknya, dan apa yang dia lakukan sungguh sangat mengagumkan”.
 
Rashford, striker the Red Devil yang baru berusia 23 tahun ini, memang baru melesakkan 3 gol di ajang Liga Inggris musim ini, kalah jauh dari winger Liverpool, Mohammed Salah yang sudah mengkoleksi 9 gol untuk timnya.
 
Namun Rashford punya prestasi lain yang terbilang tak bisa diukur oleh jumlah gol atau penampilan ciamik di lapangan hijau. Ia adalah inisiator sebuah gerakan sosial bertajuk “Free School Meal” selama masa pandemik Covid19.
 
Sampai hari ini, Rashford berhasil mengumpulkan donasi sebesar 20 juta Paun (setara Rp374 Miliar) untuk membelikan paket makanan untuk 1,3 juta anak sekolah di Inggris yang terdampak krisis ekonomi karena pandemic Covid19.
 
Aksi sosial Rashford ini seperti bah yang mengundang simpati para pemain bola, usahawan, buruh, birokrat dan yang memiliki panggilan yang sama. Kota Liverpool, seteru abadi Manchester dalam palagan liga Inggris, ikut menyumbang 300,000 paun untuk program ini.
 
Rashford, berkat usaha mulia ini – di tahun 2019 ia juga mempelopori aksi donasi makanan untuk para pengangguran dan gelandangan usia muda di Manchester, Rashford mendapat gelar kebangsawanan MBE (Member of the British Empire) dari Ratu Inggris karena aksi ini.
 
Padahal, Rashford sempat dicibir dan dianggap mengganggu para politisi dan pejabat di pemerintahan Inggris. Pemerintah Inggris awalnya menolak memberikan makanan untuk anak sekolah di Inggris, sebagaimana usulan Rashford, sampai akhir liburan musim panas.
 
Pemerintah berdalih, bahwa kewajiban menyantuni peserta didik itu berakhir ketika masa sekolah juga usai. Namun Rashford berdalih bahwa efek krisis ekonomi akibat pandemi ini juga berlangsung sampai liburan musim panas.
 
Berkat kengototan Rashhord, juga didukung oleh banyak pengacara di negerinya, beserta netizen followernya yang berjumlah 2,8juta itu, Boris Johnson, perdana menteri Inggris terpaksa mengiyakan usulan ini. Namun Rashford, sudah kadung dianggap pembangkang – meski tujuannya mulia – karena dianggap “mengganggu” pemerintah Boris saat itu.
 
==
 
YERUSALEM SYNDROME, dikenal sebagai penyakit mental yang penderitanya mengaku memiliki gagasan obsesif, delusi atau pengalaman dibisiki Tuhan atau simbol agama, yang timbul saat atau sehabis berkunjung ke kota Yerusalem.
 
Selama kurun waktu 13 tahun, dari 1980-1993 Klinik Mental Kfar Shaul di Yerusalem terpaksa merawat sekitar 1200 wisawatan yang mengidap penyakit mental merasa mendapat “bisikan atau panggilan” ilahi.
 
Rerata setiap tahun jumlah pasien yang terpaksa diobati di klinik itu adalah 100 wisatawan, dan 40 diantaranya harus diperiksa secara intensif di Sakit.
 
Fenomena Yerusalem Syndrome ini kemudian menjadi istilah umum yang disematkan kepada mereka yang punya kecenderungan mental yang sama, merasa mendapat bisikan atau panggilan spiritual, setelah mengunjungi atau mempelajari agama atau keyakinan tertentu.
 
Wikipedia mencatat, sepanjang sejarah, ada lebih 100-an tokoh yang mengaku sebagai titisan Tuhan, sejak jaman Firaun sampai Joseph Roy Kony di Uganda, 1987. Belum lagi mereka yang mengaku sebagai Nabi, atau jelmaan Isa AlMasih, mungkin berjumlah ribuan, dan ajaibnya, pengikutnya juga banya yang mempercayai.
 
Persoalan mengaku Nabi, atau titisan Tuhan, atau semacamnya adalah persoalan klaim subyektif. Dalam wacana keagamaan, klaim semacam itu memang ranah pengalaman spiritual yang tidak bisa diverifikasi. Tak ada yang bisa membuktikan kebenarannya, selain dia atau mereka yang mengalaminya.
 
Banyak klaim-klaim seperti ini umumnya bernuansa politis, selain tentu saja ada persoalan mental yang perlu diobati. Klaim politis ini punya tujuan yang universal, pembangkangan terhadap status quo atau kondisi yang dipenuhi ketidak-adilan. Gerakan-gerakan messiah selalu mengambil corak ini, memperjuangkan keadilan.
 
Namun tentu saja pembangkangan ini bisa dianggap baik, kalau memang menghasilkan sebaran kebaikan yang massif juga, dan malah tak menimbulkan kekacauan di masyarakat. Apalagi menunjukkan arogansi atau tindakan premanisme yang membuat warga takut.
 
Kebaikan karena panggilan ilahi mestinya mewujud sebagaimana yang dilakukan oleh sang penyerang Manchester United, Marcus Rashford, 23 tahun itu. Untungnya, Rashford tak mencampur adukkan kegiatan sosialnya dengan niatan agamis atau politis, menjadi tokoh yang diglorifikasi.
 
Padahal, Rashford punya banyak kriteria untuk memenuhi syarat menjadi seorang yang dikultuskan, muda cerdas dan baik hati. Kecuali soal torehan golnya yang masih minim saat ini, dan tak mampu mengangkat klubnya, Manchester United untuk bisa bersaing dengan Liverpool.
 

Leave a Reply

Silakan dibaca juga