Pagi Satu Syawal yang Asing

Ini, saya lampirkan satu buah foto lubang jendela hotel tempat saya tinggal, anggap saja semacam Kartu Lebaran, berobjek segelas kopi berwadahkan cangkir bergambar hati dan sebungkus rokok dengan jenama Lucky.

Agama sejati, mungkin sesederhana objek foto itu: wadah berselubung cinta, tempat para pemeluknya menabur kebaikan dan berharap menuai keberuntungan.

***

Virendra masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. “Jadi, ini hari terakhir ya?” Saya mengangguk mengiyakan sambil menyodorkan kurma menu berbuka dan mengajaknya keluar ke balkon untuk ngopi, ngobrol sambil menyulut rokok. Sudah jam delapan malam, matahari baru saja tenggelam. Itu matahari terakhir bulan Ramadhan, yang tahun ini saya lewati di negeri yang jauh. Di paruh awal, saya menjalaninya di negara bagian Maharashtra, di penghujung musim panas yang menggila, empat puluh lima derajat celcius, semacam pembenar bagi arti kata Ramadhan itu sendiri: panas yang membakar.

Di sini, tidak ada sama sekali nuansa bulan puasa, kecuali ketika saya menjadi sedikit lebih rajin membuka lembar-lembar halaman Al-Qur’an, emmm, anu, maksud saya, halaman media sosial dan mendapati teman-teman Facebook rutin mengunggah menu tahunan yang sekedar diniati sebagai bahan lucu-lucuan penggoda iman, memposting gambar es pisang ijo dengan taburan sirup dehate di siang bolong. Damn!

Ramadhan yang sunyi dan asing, saat beberapa hari pertama saya lewati dengan sahur dan berbuka dengan menu yang sama, sebungkus biskuit dan segelas air putih. Semua, pada awalnya, saya lakukan diam-diam. Menjadi seorang-sendiri penyandang agama Islam, di antara mayoritas umat Hindu dan Sikh serta beberapa kawan yang beragama Kristen, kadang membuat saya merenung-renung, sekumpulan nilai yang kita sebut sebagai agama itu tujuannya apa sih? Ketika segala laku syariat menjadikanmu aneh sendiri, harus tunduk membungkuk, sujud meletakkan kepala ke tanah lima kali sehari, menahan diri untuk tidak makan selama sebulan dari jam empat pagi hingga jam setengah delapan malam.

BACA:  Rolapena, Pena yang Tumbuh Menjadi Pohon

Menjadi minoritas memang memaksamu mengenali diri lebih jauh. Saya tidak mampu menjelaskan kepada orang yang sama sekali buta terhadap agama yang saya anut ini, bahwa sembahyang itu tujuannya begini, dan puasa tujuannya begitu. Sebab mereka pun, dalam bentuk yang lain, mempunyai tata cara ibadahnya sendiri-sendiri. Lantas, apa yang membuat saya harus merasa bahwa agama yang saya peluk lebih unggul?

Mungkin, tidak ada yang bisa saya andalkan kecuali menonjolkan perilaku yang baik. Tapi apa itu cukup? Hindu, Budha mengajarkan kebaikan, Kristen pun, dan sepertinya, semua model kepercayaan yang jumlahnya ribuan itu juga menganjurkannya.

Rajendra, Indian yang bergama Hindu yang bekerja sebagai koki di proyek menawarkan, “Ashaan Ji, are you doing Ramjan fasting? Datang aja ke dapur jam tiga pagi, bangunkan saya, saya akan menyiapkan early breakfast untukmu…” Bagaimana caranya menandingi kebaikan-kebaikan sederhana nan tulus seperti ini? Seperti ketika Mr. Nwachukwu, penganut Kristen asal
Nigeria mengangsurkan sebotol jus untuk saya minum saat ia tahu bahwa matahari sudah tenggelam.

Asli, saya peras otak!

Andai saja bukan karena Nabi Muhammad SAW yang didaulat sebagai pribadi paling agung dan paling luhur budi pekertinya sepanjang sejarah umat manusia, bisa jadi sebagian orang telah melepaskan diri dari agama Islam. Termasuk saya barangkali. Tapi, saya, dan mungkin juga anda, karena tidak (belum) mampu memiliki pondasi sendiri dalam menopang keberimanan kita, hanya mampu menjadi follower belaka, dengan berdasar pada, “Ah, ikut Gus Dur aja!” atau, “Ngaji ama Prof Quraish Shihab saja, beliau pasti punya cakrawala yang lebih luas sehingga memilih Islam…” atau, “Ikut Gus Mus deh, lebih adem,” atau, “Syech Jonru dan Muallim Felix Siau kayaknya cocok nih untuk konteks kekinian,” atau “Ikut Kyai A saja…” atau “Itu tuh, Ulama B lebih runut cara berpikirnya, bisa kita jadikan rujukan…” dan sebagainya, dan seterusnya, dan lain-lain.

BACA:  Lagu Baru Tulus dan Urat Lehermu, Dik...

Agama, yang hadir ke hadapan kita dalam bentuk jutaan keping puzzle, menjadi hal yang teramat susah untuk kita pahami gambar utuhnya seperti apa. Kita butuh ‘Orang Besar’, untuk kemudian kita jadikan sebagai pandu, dan kita terus berusaha konsisten berdiri di balik punggungnya. Hingga akhirnya kita memiliki preferensi masing-masing yang kita jadikan sebagai hujjah. “Sebab beliau Islam, maka saya pun ikut Islam, sebab beliau kecil kemungkinannya untuk keliru dalam mengimani sesuatu. Sebab saya belum mampu untuk sampai di tingkatan pemahaman seperti itu, makanya saya ikut saja…” Demikian, kira-kira.

Tapi, pertanyaan-pertanyaan tadi, selalu terbentur tatkala berhadap-hadapan dengan kebaikan hati dari penganut agama lain. Nilai kebaikan seperti apa gerangan yang membuat Islam menjadi berbeda. Kalau shalatku dan puasaku ini tidak membuahkan efek sosial yang lebih baik, maka, celaka, saya hanya menjadi sekumpulan orang yang lalai seperti yang diceritakan dalam Al-Maun. Saya terpaksa membuka lagi bacaan-bacaan yang mengangkat tema Psikologi Agama. Mencoba mencerna, bahwa agama yang kita peluk adalah dua mata pedang yang sama tajam, sisi satunya kerap dijadikan dalih untuk menebar kebencian bahkan berperang dan saling bunuh, sementara sisi lainya adalah alasan untuk berperangai lemah lembut dan berhati mulia.

*

Pagi ini, ketika orang-orang di kampung halaman berduyun-duyun ke masjid atau ke tanah lapang merayakan Ied, saya tengah berada di Gujarat, di negeri yang diceritakan sejarah sebagai tempat asal mula Islam yang datang ke Nusantara melalui tangan-tangan para saudagarnya. Namun, Gujarat yang sekarang sudah beda, setelah pada suatu waktu yang lampau, konflik komunal antara ekstrimis Hindu dan kaum garis keras Islam saling berseteru baku bantai satu sama lain, hingga keduanya hidup dalam keadaan bersitegang dan akhirnya sebagian Muslim memilih menyingkir.

BACA:  Unicorn

Pagi ini, tidak ada itu gema takbir, silaturrahmi, maaf-maafan, kue nastar, opor ayam, ketupat dan nasu likku. Ramadhan seolah berlalu begitu saja dan menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang terus berkecambah memenuhi batok kepala. Entah kelak ia akan tumbuh sebagai apa.

Jalanan lengang. Saya berdiri, merayakan kesunyian, menghirup udara pagi Satu Syawal yang asing.

Ahsan Azhar

Leave a Reply

Silakan dibaca juga