Nachtwey

Bersama Natchwey

“I have been a witness,
and these pictures are my testimony.
The events I have recorded
should not be forgotten and must not be repeated.”
-James Nachtwey-

World Press Photo Award yang dianugerahkan padanya pada tahun 1994 semakin menasbihkan James Nachtwey sebagai seorang jurnalis foto terbaik di dunia.

James Nachtwey lahir pada tahun 1948, sedikit lebih muda dibanding bapakku. Nachtwey tumbuh besar di Massachusetts dan belajar Art History and Political Science di Dartmouth College sepanjang tahun 1966 hingga 1970.

James Natchwey

Tahun 1976, setelah bekerja serabutan sebagai magang editor film dan supir truk, Nachtwey mulai bekerja sebagai fotografer pada koran Albuquerque Journal di New Mexico. Tahun 1980, Nachtwey hijrah ke New York dan memulai karir sebagai fotografer freelance. Penugasan pertamanya adalah meliput pergolakan sipil di Irlandia Utara pada tahun 1981.

Setelah itu, Nachtwey hadir hampir di semua peristiwa besar di seluruh dunia. Nachtwey mendokumentasikan konflik senjata mulai dari Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, hingga Rusia.

Ethnic Cleansing in Bosnia - James Nachtcwey

Nachtwey sudah menyaksikan banyak. Saat jurnalis Ken Oosterbroek tewas terbunuh dalam tugas liputan pemilu non-rasial pertama Afrika Selatan tahun 1994, Nachtwey ada di tempat yang sama. Nachtwey memotret Perang Teluk, Bosnia, Kosovo, hingga Afganistan. Di Indonesia, Nachtwey mengabadikan kerusuhan sosial pasca kejatuhan Soeharto pada tahun 1998. Seri fotonya dalam kerusuhan di Jalan Ketapang bahkan menjadi bagian dari the truly shocking photos, di mana dia merekam gambar seorang yang dipenggal lehernya, dalam jarak yang sangat dekat.

BACA:  Belum dan Tidak

Di Indonesia, Nachtwey tak hanya memotret disharmoni tapi juga harmoni. Seperti saat ia memotret seorang bocah perempuan di antara jemaah shalat Idul Adha di komunitas Annadzir di Gowa, Sulawesi Selatan. Foto ini ia buat untuk Majalah National Geographic edisi September 2009.

James Nachtwey : Komunitas An Nadzir (National Geographic)

Nak, aku pertama kali bertemu Nachtwey pada awal tahun 2005, saat kami sama-sama berteduh di tenda darurat milik PMI di Meulaboh.

“Mr. Nachtwey?” Aku menyapa dengan girang, tak menyangka bisa bertemu orang sekaliber dia di tempat seperti ini.
Dia hanya tersenyum sambil tetap melindungi kamera Canon-nya dari tempias air hujan.
“Just call me James,” katanya.

Pertemuan itu tidak lama, karena begitu hujan reda kami harus bergerak mengikuti penugasan masing-masing. Nachtwey, seperti biasa, bergerak sendirian. Kemana-mana dia memang lebih sering sendirian, paling sering dia menyewa tukang ojek. Dia tidak senang bergerak berombongan. Kata seorang fotografer senior, bekerja soliter adalah salah satu cara Nachtwey untuk mengatasi kesedihannya atas semua peristiwa buruk yang pernah dilihatnya. Dengan itu Nachtwey merayakan kemarahan dan rasa frustrasinya.

Famine in Sudan 1993 - James Nacthwey

Dalam sebuah wawancara dia pernah bilang, “Salah satu yang harus saya pelajari sebagai seorang jurnalis adalah apa yang yang harus saya lakukan dengan perasaan marah yang muncul dalam diri saya. Saya harus memanfaatkannya, menyalurkan energinya supaya bisa memperjelas visi saya dan tidak membuatnya semakin keruh…”

BACA:  Menjadi Ayah

Di Bali sekitar tahun 2007, aku kembali bertemu Nachtwey. Kami sama-sama meliput prosesi Ngaben salah seorang kerabat Kerajaan Ubud. Berbaur di antara ribuan turis, nyaris tak ada yang mengenalnya. Sekali lagi, Nachtwey menunjukkan betapa dia seolah bergerak dengan senyap. Seorang turis tampak keheranan saat melihat puluhan wartawan terdistraksi ketika menyadari Nachtwey ada di tengah-tengah mereka. “Who’s that guy?” katanya heran.

Bersama Natchwey

Christian Frei, seorang sutradara film dokumenter, membuat film dokumenter tentang James Nachtwey. Judulnya “War Photographer”. Perasaan dulu aku punya DVD-nya, tapi kemarin dicari-cari tidak ketemu. Baiklah nanti kita cari lagi ya, Nak. Mungkin masih ada bajakannya di Ambasador.

Di pembukaan film, Christian Frei menyebut Nachtwey sebagai perwujudan pernyataan Robert Capa, seorang legenda jurnalis foto.

“If your photos aren’t good enough, you are not close enough”.

Itulah Nachtwey, Nak.

Beberapa hari ini, adagium itu terngiang-ngiang lagi di pikiranku. Kalau fotomu kurang bagus, berati kamu kurang dekat. Nak, ayahmu ini hanya seorang wartawan kapiran yang janganlah sampai kau bandingkan dengan Nachtwey. Aku ini hanya mencoba belajar dari orang-orang hebat yang pernah aku temui. Dan dengan begini juga mungkin kamu bisa mengambil celah hikmah.

Ini memang bukan soal foto, Nak. Beberapa minggu belakangan ini, banyak kerjaanku yang mentok dan hasilnya tak kelihatan. Sudah mencoba tabah tapi kok jadi kepikiran juga. Sementara target sudah membayang-bayang di depan mata.

BACA:  Mantra di Punggung Aisha

Hingga akhirnya sampailah aku pada kesimpulan. Hasil pekerjaanku tak bagus, berarti aku masih belum cukup keras berusaha.

Inilah kenapa aku ceritakan tentang Nachtwey padamu.

–semua foto kecuali foto paling atas dan bawah adalah karya James Nachtwey dari www.jamesnachtwey.com dan National Geographic. Foto paling atas adalah foto still dari film War Photografer by Christian Frei. Foto paling bawah dijepret oleh Haris Fadilla.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga