Malam

Bunyi mesin fax membuyarkan rekat kelopak mataku. Setengah tiga pagi. Secarik kertas keluar, terasa hangat akibat baru saja dilindas drum tinta. Tertulis di kop-nya, The Hon Brendan O’Connor MP. Dari kedutaan besar Australia rupanya, mengabarkan Pak Connor, mendagri negeri Kanguru itu, sedang berada di Jakarta dan akan bertemu dengan Jenderal Timur Pradopo, kapolri negeri komodo. Mereka akan membahas soal penegakan hukum. Australia, menurut rilis fax itu, sedang mengerjakan tiga kapal patroli berkecapatan tinggi sepanjang 16 meter yang akan diserahkan kepada Polri untuk membantu mengatasi penyelundupan manusia di kawasan yang berbatasan.

Inilah pekerjaanku sekarang, Nak. Menjaga malam. Tidak selalu. Kebetulan saja hari ini kena aplusan malam. Rada sepi juga malam ini. Macet yang mengular karena hujan tadi sore sudah mulai cair dan terurai, begitu kata media online. Kemorosok suara radio juga tak lagi ribut. Hanya diskusi-diskusi saja perihal perlukah Kangen Band dipenjara atau cukup direhabilitasi saja. Soal bom di Utan Kayu juga tak banyak lagi dibicarakan.

Inilah malam ini. Malam dimana aku menuliskan ini untukmu. Ada baiknya kau baca di malam hari juga, agar kau rasakan hawa dingin menusuk, segelas kopi merk Ya! yang nyaris tandas, detak jam yang kadang terdengar kadang tidak, dan Mr. Big yang memberi hiburan bagi kami.

BACA:  Ini dari Om Didit, Nak

Baiklah, akan kuceritakan padamu tentang malam. Suatu hari, di halaman-halaman depan skripsi Bang Luhur yang aku pinjam, aku baca kalimat ini: dan malam adalah cermin, yang selalu setia menunjukkan kekurangan diri. Kira-kira seperti itu. Kalimat pendek itu sangat menohokku, mengingatkan bahwa setengah dari hidup ini adalah perjalanan malam. dan bisa jadi setengahnya itulah penuh kekurangan. Malam menyimpan rahasia-rahasia kejahatan.

Di malam hari, ketika semua topeng siang lepas, te-review-lah apa saja yang telah berlalu. Terbukalah hak-hak siapa yang telah kita langgar. Hati siapa yang disakiti. Meski dia akan tetap menjadi rahasia. Karena ketika siang kembali datang, terlupakanlah semua seolah tak pernah ada apa-apa.

Di malam hari, koruptor, playboy, alay, pemuda karang taruna, penjaga mushalla, ketua KUD, kordinator liputan, semua tergoda untuk merenung, tak peduli seberapa sibuk mereka di siang hari. Ada apa dengan malam?

Lalu aku teringat pada Ags. Arya Dipayana, yang berpulang awal Maret lalu. Kenapa malam? tanyanya.
Dan dijawabnya pula dalam puisi yang sama:
Maka diciptakan-Nya malam bagimu agar kau sempat menangisi dukamu.

Leave a Reply

Silakan dibaca juga