Nenek Rus Sang Tukang Pijat Artis

Artikel ke [part not set] dari 42 artikel dalam Topik : Lomba Menggunjing Tetangga 2016

Pritha Khalida_Lomba Menggunjing Tetangga_Foto Nenek Rus


Melihat dengan Hati. Kisah Inspiratif Nenek Rus Sang Tukang Pijat Artis

Pagi itu, saat hendak belanja sayur mayur di kampung sebelah, saya melihat plang sederhana terpampang di dinding warung,

Bu Rus Madura

Terima Pijit pegal, Keseleo, Urut Bayi

Hal biasa saja sepertinya, namun sangat istimewa jika dibaca oleh pecinta pijat seperti saya. Memiliki rutinitas mendidik, mengasuh dan mengimbangi dua anak lelaki yang superaktif bukanlah pekerjaan yang mudah. Butuh kondisi tubuh yang selalu prima. Maka selain memberinya asupan gizi yang baik dan mengupayakan istirahat yang cukup (meski jarang berhasil), pijat rutin menjadi pilihan saya untuk me-recharge energi. Lumayan, sekalian me-time.

Saya pun mendatangi ‘tempat praktek’ Bu Rus. Sebuah kontrakan berupa rumah petak khas Jabodetabek yang hanya terdiri dari satu ruang tamu, satu kamar dan kamar mandi-dapur di petak yang sama. Tanpa pintu, hanya dinding penyekat yang membatasi setiap ruangan. Meski kecil, dan tak begitu terang, namun bersih dan rapi. Nenek Rus—yang saya perkirakan berusia tujuh puluhan, menyambut saya dengan baik. Tubuhnya yang kurus, sempat membuat underestimate pada tenaganya. Sedetik setelah ia mulai memijit, saya pun merasa malu, karena ternyata dugaan itu salah total.

Ada satu hal yang menarik dan unik di kediaman Nenek Rus, yang bisa kita lihat begitu memasuki kontrakannya. Tampak beberapa foto terpajang di dinding. Bukan foto keluarga, tapi foto beliau bersama beberapa artis ibukota. Artis? Iya. Meskipun saya jarang menonton televisi dan tidak hafal nama artis, tapi wajah mereka tentu sangat familiar. Hingga saya pun tak tahan untuk nggak kepo alias menginvestigasi lebih lanjut.

“Itu Anang, Non.” Kata beliau pelan.

“Oh, kalau itu saya tahu, Nek. Nah yang itu?” tunjuk saya.

“Itu artis-artis yang main di sinetron Tukang Bubur. Haji Muhidin. Non nggak pernah nonton?” logat khas Madura mulai terdengar dalam nada bicara beliau.

“Oh, yaa..” Meski belum pernah nonton sinetronnya, tapi iklannya kan sering muncul. Maklum lah, selain memang tak memiliki waktu untuk menonton, di rumah saya televisi biasanya hanya distel untuk film animasi saja, mengikuti selera anak-anak.

“Kok Nenek bisa foto bareng mereka?” Sambil bertanya otak saya dipenuhi berbagai dugaan. Apakah si nenek pernah jadi figuran di sinetron? Atau jadi salah satu penonton berbayar yang suka muncul di acara lagu atau talkshow?

“Nenek suka dipanggil mijit tiap bulan sama mereka, Non. Kalau sudah di Jakarta, bisa tiga hari Nenek ninggalin rumah.”

“Di rumah para artis itu?”

“Nggak, di lokasi syuting Tukang Bubur. Kalau ke rumah, biasanya ke rumah Anang Ashanty.”

“Mijit Ashanty, Nek? Wah, kapan-kapan tanya ya, Nek, gimana caranya dia bisa cantik gitu…” pinta saya, bercanda sih tapi penuh harap. Hehe!

Nenek Rus tersenyum, “Non juga sudah cantik. Mau diapakan lagi?”

“Nenek bisa aja. Tapi, itu awalnya jadi tukang pijit artis, gimana sih Nek?” kejar saya, semakin penasaran.

“Nah, itu ceritanya panjang lagi, Non.” Sejenak beliau menarik napas panjang. “Jadi nenek ini janda, Non. Suami sudah meninggal. Di Madurasana, dulu nenek juga mijit. Ya, kerja apa lagi yang bisa dilakukan sama nenek, dengan mata rabun begini?” (belakangan saya tahu kalau kedua mata Nenek Rus terkena katarak).

“Terus, kok nenek bisa pindah kesini? Memangnya nggak betah jadi tukang pijit di kampung?”

“Saya sebetulnya betah, Non. Dari hasil mijit, selepas suami meninggal, saya masih bisa menyekolahkan anak dan mengumpulkan barang sedikit demi sedikit. Tapi…” ceritanya terhenti.

BACA:  Opung, Sederhananya Sebuah Kebajikan

“Kenapa, Nek?”

“Saya kurang cocok dengan menantu, Non.”

“Menantu Nenek galak?”

“Ah, galak sih nggak, cuma agak cerewet. Nenek kan suka ibadah, ya shalat malam atau ngaji. Sepertinya dia kurang sreg. Entah kenapa, mungkin dia maunya nenek ikut membantu di rumah. Walaupun Nenek juga nggak tinggal diam sebetulnya, Nenek suka ikut bantu-bantu, Cuma ya namanya mata nenek rabun, jarang lah. Kalaupun beres-beres nggak selalu beres. Sekali dua kali pernah nenek pecahkan gelas, dia marah.”

“Wah kok gitu? Mestinya dibantu saja sudah terimakasih lho, Nek. Nenek kan mertua, sudah jadi orangtuanya juga berarti. Harusnya nggak boleh disuruh-suruh. Lagian, Nenek kok mau aja tinggal sama dia?” ucap saya geram.

“Bukan Nenek yang numpang sama dia, Non. Sebaliknya, yang kami tinggali itu rumah Nenek. Berbagai perabot di dalamnya juga sebagian besar milik Nenek. Peninggalan almarhum suami ditambah hasil mijit.” Nenek berusia hampir delapan dasawarsa itu berkata lirih.

“Aih, gak sopan amat itu menantu Nenek. Udah numpang malah sikapnya nyebelin. Kenapa nggak Nenek marahin aja? Anak Nenek tau nggak kalau ibunya diperlakukan begitu?” saya terpancing emosi. Marah. Membayangkan sosok renta ini dimarahi oleh menantunya, membuat saya kesal.

“Tau. Ya, kadang tau kadang nggak. Nggak selalu lah maksudnya, Non. Kadang dia juga marah sama isterinya. Nenek juga kesal. Tapi mau bagaimana lagi, Non? Lama-lama Nenek pikir, daripada hati Nenek jadi kotor dan bikin anak menantu dosa, ya sudah Nenek pergi aja. Merantau lah gitu. Biar lebih tenang juga Nenek beribadah.”

Saya menelan ludah, betapa mulia hati beliau,

“Sampai akhirnya Nenek kesini dan mijit artis-artis, kenal dari mana?”

“Nah, dari kampung Nenek kenal dengan penyanyi dangdut itu lho, Non, Dewi Perssik. Nenek ikut sama dia. Trus di Jakarta, dikenalkan sama almarhum Olga. Dari dia itu Nenek kenal banyak artis. Kalau ada teman-temannya datang ke rumahnya, dia suka promosikan Nenek, ‘Eh, lu pijit deh ama si Nenek. Lumayan buat bantuin dia. Lagi pijitannya enak banget.’ Gitu dia bilang, Non. Jadilah Nenek kenal dengan artis lain. Sampai yang langganan itu ya pemain sinetron Haji Muhidin sama Ashanty. Hampir tiap bulan Nenek kesana. Kalaupun nggak mijit, suka ada aja nenek dikasih beras atau uang.”

Saya manggut-manggut. Tanya jawab seringkali berganti posisi, dengan Nenek Rus sebagai penanya dan saya narasumber. Biasanya kami membahas kegiatan saya dan anak-anak. Terutama kalau putera sulung saya ikut, Nenek senang sekali dan suka menanyainya langsung.

Bulan berikutnya juga begitu, kami mengobrol banyak. Kali ini tak lagi hanya soal artis-artis pelanggan jasa pijit Nenek Rus, tapi berganti topik lain. Oh ya, pada kunjungan kedua atau ketiga gitu, foto-foto artis itu sudah banyak yang dilepas, hanya tersisa satu-dua. Penasaran, saya kembali bertanya. Alasannya sungguh menohok,

“Nenek nonton ceramah di tivi, Non. Katanya dalam Islam sebetulnya nggak boleh majang-majang foto makhluk hidup itu. Alasannya nenek lupa. Tapi ya nenek pikir, kalau memang aturannya begitu, mending nurut aja. Kan sayang non, Nenek solat tahajjud, ngaji, kalau ada perintah Allah yang masih dilanggar, padahal sudah tahu aturannya.” Ujarnya panjang lebar.

Haduh, jlebb! Sementara saya yang jauh lebih muda dari beliau, kok masih suka menganggap ajaran agama seperti prasmanan, pilih yang disukai dan tinggalkan yang tidak suka, dengan berbagai alasan. Sungguh malu rasanya hati ini. Nenek Rus, dengan keterbatasan penglihatannya akibat katarak, ternyata mampu melihat dengan hati yang lebih jernih dari saya.

BACA:  Sttt! Ada Relawan Tuhan di Bajang

Pertemuan selanjutnya, ada kejutan dari Nenek Rus. Beliau bercerita bahwa baru saja mendapatkan rezeki nomplok.

“Nenek dapat dua puluh juta dari acara Eat Bulaga, Non! Itu lho yang pembawa acaranya Uya. Non pernah nonton nggak?” tanyanya antusias.

“Ohh ya ya, pernah Nek.” Jawab saya spontan. Nggak bohong, saya memang pernah lihat iklannya. Sementara acaranya, jujur saja saya belum pernah nonton. Lah kan udah dibilang, tivi di rumah saya nyala kalau anak-anak mau nonton animasi. Tapi, saya nggak mau mengecewakan Nenek yang baik ini, jadi bilang tahu saja.

“Nah, ini dia acaranya, Non!” sambil menyalakan televisi, Nenek Rus mencolek saya. Tampak acara tersebut disiarkan live, dimana ada seorang kakek yang sedang menangis haru karena mendapatkan hadiah berupa sepeda motor dan barang elektronik lainnya.

“Nenek didaftarin orang kesitu, Non. Terus, ikut seleksi, diwawancara. Abisitu syuting. Deg-degan lho, Non. Disuruh jawab pertanyaan, nebak kotak yang ada hadiahnya, lalu alhamdulillaah Nenek dapat hadiah utamanya. Uang dua puluh juta sama kipas angin, Non. Persis banget sama yang Nenek minta di tahajjud malam sebelumnya. Ya, Non kan tau di sini gerah banget. Kipasnya cuma baling-baling digantung di langit-langit begitu. Kecil tapi berisik, kaya helicopter kalau kata puteranya Non yang besar itu.”

Hahaha, Nenek masih ingat aja celetukan anak saya waktu menemani pijit bulan lalu.

“Pas banget lah, Non. Nenek lagi butuh uang besar. Untuk bayar utang, bayar kontrakan, beras pun udah mau habis. Allah betul-betul dengar dan kabulkan doa Nenek, persis seperti yang diminta. Alhamdulillaah. Oya, katanya di kampung nenek sana, pak lurah dan pak camat juga ikut nonton! Mereka kasih selamat untuk Nenek.” Kisahnya dengan mata berbinar.

“Lho, dari mana Nenek tau?”

“Dari saudaranya tetangga Nenek yang tinggal di sana, Non (Nenek Rus menyebut nama sebuah tempat, tapi saya lupa). Dia suka kesini.”

Uang dua puluh juta, ya itu jumlah yang banyak, tak hanya untuk Nenek Rus tapi juga untuk saya. Tapi kipas angin.. Ah, betapa sederhana permintaan beliau. Sederhana tapi spesifik dan sangat sesuai dengan kebutuhannya. Mungkin karena itulah begitu cepat Allah mengabulkannya. Mana pula diminta pada sepertiga malam terakhir, dimana Sang Maha Penyayang menjanjikan itu sebagai waktu dimana para malaikat turun ke bumi, mendengar dan menyampaikan segala doa yang dipanjatkan manusia yang terjaga untuk mendirikan shalat.

Lama-lama kedatangan saya ke Nenek Rus tak lagi sekedar ingin dipijit, tapi berharap lebih, yaitu mendapatkan hikmah kehidupan yang diperoleh dari pengalaman beliau. Seorang nenek berusia hampir delapan puluh tahun dengan keyakinan yang besar terhadap Sang Pencipta. Kalau tidak yakin, dari mana keberanian untuk merantau di usianya yang tak lagi muda itu ia dapatkan? Bagaimana pula ia bisa demikian percaya diri untuk mengontrak rumah dengan tarif tiga ratus lima puluh ribu rupiah dengan penghasilan yang tak menentu jumlahnya? Lebih dari itu, beliau sanggup meninggalkan rumahnya karena tak ingin membuat anak dan menantunya berdosa.

Ah Nenek Rus… Begitu banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan gratis dari beliau.

Sampai akhirnya, pada kunjungan kesekian, saya dikejutkan dengan pertanyaan Nenek,

“Non ini siapa ya? Sudah sering kesini, kah?”

Waduh, ini Nenek amnesia apa ya?

“Eh Nek, ini kan ibu yang dari kompleks sebelah, yang sering kesini. Yang suka bawain nenek beras itu, lho.” Ujar tetangga kontrakannya.

“Astaghfirullaah… Maaf, Non. Nenek ini sudah bisa lihat. Dan baru kali ini Nenek lihat Non dengan jelas. Aiih, ayo masuk, Non!”

BACA:  Mbah Sarpinah Sang Wonder Woman

Dan masyaa Allah, rupanya Nenek Rus baru saja menjalani operasi katarak untuk sebelah matanya, dengan uang yang didapat dari kemenangannya di acara Eat Bulaga.

“Kenapa cuma sebelah, Nek?”

“Kalau dua-duanya, uangnya gak cukup, Non. Sebelah ini aja tujuh juta. Dua kali lipat kalau keduanya. Uang dua puluh juta kemarin setelah dipotong pajak kan Nenek pakai bayar utang, ngasih-ngasih ke yang antar, bayar kontrakan dan keperluan-keperluan lain. Jadi ya, sebelah saja dulu. Tapi ya ini saja Nenek sudah bersyukur, Non. Dengan mata sebelah yang jelas gini, Nenek jadi lebih enak kalau ngaji. Rumah juga jadi lebih bersih, karena kelihatan lebih jelas kalau beres-beres. Nenek jadi bisa jalan-jalan nyari dedaunan untuk jamu. Sebelumnya kan nggak keliatan perbedaan daun-daunan itu. Dan satu lagi, Nenek jadi bisa lihat Non, enggak samar-samar. Cantik sekali! Alhamdulillaah, gusti Allah sayang sama Nenek, Non.” Ucapnya antusias sekali.

“Nenek juga jadi lebih gemuk.” Kata saya.

“Apa iya, Non? Masyaa Allah, ternyata bisa lihat jelas rezeki yang kita makan itu nikmat sekali, ya? Nenek jadi lebih lahap.”

Dan sekali lagi, saya merasa di-skak mat! Betapa besar arti sebelah mata bagi beliau. Sampai urusan yang bagi saya seringkali tampak sepele macam melihat makanan saja, tak luput dari perhatiannya. Dibarengi dengan rasa syukur yang berlipat ganda besarnya. Tak hanya di mulut, namun dibuktikan dalam tindakan.

Ah Nenek Rus, tak habis-habis rasanya jika bercerita tentang beliau. Ada banyak hikmah yang bisa digali. Tentang kebesaran hatinya, semangat beribadahnya, keyakinannya yang sangat besar kepada Allah, serta kemampuannya mensyukuri segala nikmat—meski sekecil apapun.

Oya, nyaris lupa satu lagi. Meski sudah berusia senja, namun Nenek Rus sangat hati-hati dalam memijit laki-laki. Setiap ada laki-laki yang mau memakai jasanya, beliau selalu mensyaratkan agar didampingi oleh isteri atau saudara perempuannya. Jika tidak, biasanya akan ditolak, dengan alasan khawatir menimbulkan fitnah.

Entahlah, mungkin masih banyak kisah sarat hikmah lainnya yang karena keterbatasan ingatan saya, luput untuk dituliskan. Namun dari yang sedikit ini, saya berharap kisah sang nenek bisa menginspirasi. Nenek Rus, seorang tukang pijit, yang dengan sebelah matanya, mampu melihat segala permasalahan hidup dengan hatinya yang jernih.

Bagaimana pula kita, yang memiliki dua mata sempurna, seringkali abai terhadap nikmat-Nya? Pertanggungjawaban seperti apa yang kelak akan kita bawa di hadapan-Nya kelak?

…Fabi ayyi alaa irabbikumaa tukadzdzibaan… Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?

 

Penulis:

Pritha Khalida

FB: Pritha Khalida

Twitter: @PrithaKhalida

 

–Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menggunjing Tetangga 2016 yang diadakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik

Artikel dalam Topik Ini :

Leave a Reply

Silakan dibaca juga