Lihat Mataku, Nak…

Nasi dan lauk di piringmu tinggal sedikit. Biasanya di suapan-suapan akhir itu kamu senang berlama-lama mengunyah. Kami pun harus mengikuti kemauanmu, mengikuti pacing dan seleramu. Jadi aku letakkan lagi piring plastik itu. Kalau sudah ingin lagi, sambil membuka mulut kamu akan bilang, “Sudah kosong, Ayah.”
Sering di tengah-tengah makan, kamu tiba-tiba berganti selera.

“Ipaw tidak suka ayam. Mau jagung aja..” Kamu menyebut dirimu Ipaw, tapi lebih sering Ipat.
Begitulah kami harus selalu bersabar. Karena ini sesungguhnya adalah karunia, kami bisa menyuapimu sendiri tanpa harus menyerahkanmu ke pembantu atau babysitter.

Tapi sering juga kami kehilangan kendali, dan mendapati suara kami lebih tinggi dari level yang seharusnya.
Pada suatu malam sepulang dari kerja, aku menemanimu bermain mobil-mobilan. Ibumu sudah tertidur. Belakangan ini memang begitu. Karena jam tidurmu yang kacau, kami harus bergantian menemanimu bermain.

Kamu main-main mobilan sambil menonton film Thomas The Tank Engine di laptopku.
Tiba-tiba kamu minta makan. Padahal kata ibumu tadi kamu sudah makan malam dan bahkan sudah gosok gigi pula. Tentu tak ada alasan aku untuk menolakmu, Nak. Maka beranjaklah aku ke dapur, memanaskan dua potong nugget untukmu.

BACA:  Pagliacci dan Badut yang Tidak Bisa Sulap

Saat makananmu siap, kamu masih sibuk dengan Thomas di layar laptop. Suapan pertama, lancar. Suapan kedua dan ketiga, juga lancar. Memasuki suapan keempat, kamu semakin terpaku pada layar laptop. Thomas sedang berkenalan dengan sebuah trem berwarna kuning bernama Flora. Kamu membuka mulut, tapi wajahmu tetap menghadap ke layar. Aku kesulitan memasukkan sendok. Beberapa butir nasi terjatuh karena tersangkut pinggiran bibirmu.

“River,” kataku agak keras. “Kalau makan, lihat Ayah.”

Kamu menoleh dan tampak agak kaget. Mata kita bertemu. Dan aku pun seketika merasa bersalah. Kuraih kepalamu dan aku cium. Harum rambutmu melewati rongga hidungku dan membuat semuanya terasa berlompatan dan berjejalan.

Beberapa hari sebelumnya, mengikuti ritus tahunan, aku baru saja menerima SK kenaikan gaji. Dan seperti biasa sebagaimana karyawan kelas menengah, apa yang tertera di situ, jarang sesuai dengan harapan. Mungkin karena memang aku yang berharap terlalu tinggi.

Kecewa sudah pasti. Lalu berhari-hari itu aku memelihara kemarahan terselubung. Aku pun ikut tertawa-tawa nyinyir ketika beberapa teman mengolok-olok “dia yang tak boleh disebutkan namanya” itu sebagai orang pelit yang hanya menganggap karyawan sebagai sapi perah dan bukan aset.

BACA:  Menonton Artis Ibukota

Dan melihat kamu makan dengan cara seperti itu, tiba-tiba dadaku terasa jadi dingin. Dingin yang dengan anehnya justru membuat bagian tubuh lain jadi menghangat. Jika dalam hidup kita sengaja membentuk lingkaran, maka sebenarnya ada jauh lebih banyak hal yang berada di luar lingkaran kita. Hal yang hanya bisa kita lihat dengan ketidaktahuan sehingga satu-satunya hal untuk mencapainya adalah dengan prasangka. Lalu kita pun lupa bersyukur, lupa berterima kasih.

“River sayang,” bisikku, dengan suara yang seolah hanya untuk diriku sendiri. “Kalau makan, selalu lihat siapa yang kasih makan ya, Nak. Begitulah cara manusia berterima kasih…”

Fauzan Mukrim

4 Comments

Leave a Reply

Silakan dibaca juga