Kisah Seorang Suami Pelari Pagi

Pagi-pagi sekali, setelah shalat subuh, ibumu sudah keluar rumah. Meninggalkan kita berdua yang masih terkapar dihajar mimpi.

ipawlariSamar-samar aku hanya mendengar dia memberi petunjuk singkat yang apapun itu pasti aku jawab dengan “iya”.
“Yah, Mama bawa yang XL ya.”
“Iya…”
“Yah, Mama bawa yang Simpati ya..”
“Iya..”
Lalu aku pun tertidur lagi.

Saat benar-benar bangun, sudah pasti aku lupa apa pesannya tadi. Aku pun harus melongok ke kotak tempat kami menyimpan hp dan memastikan hp mana yang tidak ada. Itu kalau kamu tiba-tiba terbangun dan menanyakan di mana ibumu, dan aku harus menelponnya untuk tahu dia sudah di mana. Kalau dekat kita susul, kalau jauh kita tunggu.

Begitulah, Nak. Ibumu sekarang sedang gemar lari. Maksudku olahraga lari pagi. Aku lupa kapan mulainya, tapi total jarak yang dia tempuh sudah cukup jauh. Kemarin dia memamerkan aplikasi handphone yang bisa mencatat seberapa jauh orang sudah berlari. Di situ, dia bisa bersaing dengan beberapa teman-temannya sesama pelari amatir.

“Bulan ini sudah 90 kilo, Yah,” katanya bangga. Buset. Kalau itu aku, sudah meledak betisku.

BACA:  Balada Calon Debitur

Beberapa minggu lalu, dia sudah ikut lomba Kemang Village 10 K. Itu lomba lari amal untuk mencari dana bagi anak-anak penderita kanker. Pesertanya banyak. Lumayan, dengan waktu tempuh 1 jam 40 menit, ibumu bisa mencapai garis finish. Kita nggak lihat dia masuk garis finish, karena aku harus menunggu sampai kamu bangun, Nak.
Kita sampai di sana sekitar jam 10 pagi, ibumu sudah leyeh-leyeh sambil memamerkan medali finishernya.
River masih muka bantal, nyusul Mama ke lomba lari 🙂

Erich Fromm, sosiolog humanis Jerman pernah menulis buku tentang “lari”. Judulnya “Lari dari Kebebasan”. Sebenarnya itu terjemahan Indonesia dari “Escape from Freedom”. Sama sekali bukan tentang lari olahraga. Aku jadi ingat buku itu saat kemarin tak sengaja bertemu dengan salah seorang teman lari ibumu. Dia bilang, lari itu salah satu cara untuk mendapatkan “me time” dengan lebih berfaedah.

Aku tidak terlalu paham seperti apa sebenarnya konsep “me time” itu. Secara serampangan, malah sering aku artikan sebagai waktu di mana para ibu-ibu ingin sesekali lepas dari rutinitas mengurus suami dan anak. Ada yang ke spa, ada yang arisan, dan ada juga yang lari. Tak mengapa. Seorang ibu juga butuh waktu untuk bersenang-senang. Bagaimanapun caranya.

BACA:  Di Jalan Pulang dari Resepsi Pernikahan Sang Mursyid

Aku pun cukup senang, Nak. Setidaknya selama ibumu masih senang berlari, artinya dia masih dikarunia kesehatan yang prima. Artinya dia bisa mengurus kita berdua dengan baik. Artinya kesulitan-kesulitan sosial ekonomi karena salah hitung yang kita alami beberapa bulan ini tidak terlalu mempengaruhi kebahagiaannya. 🙂

Lihatlah betapa ibumu sangat bersemangat. Tadi subuh, dengan maksud tertentu, aku membangunkannya dengan sebuah ciuman.

Dia membuka mata, tersenyum, dan berbisik,
“Ayah, Mama belum daftar (lomba lari) yang di UI …”

Mantap!

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga