Kasur

Jika Aku Menjadi namanya, Nak. Sudah cukup lama juga program ini tayang di stasiun tempat kerjaku. Seingatku ide awalnya dikerjakan oleh Mas Satrio Arismunandar. Episode pertama –seingatku lagi– bercerita tentang seorang model (atau mahasiswi) yang tinggal bersama keluarga nelayan miskin dan mencoba melakukan pekerjaan mereka. Formula ini terbukti cespleng. Ratusan episode sudah tayang. Ceritanya pun –tak terhindarkan- nyaris template. Anak muda, biasanya cewek cakep, dari keluarga kaya yang mencoba merasakan kehidupan orang miskin dan di akhir episode selalu diwarnai dengan acara tangis-menangis.

Acara ini banyak dipuji, salah satunya karena dianggap mendorong empati dan solidaritas sosial. Tapi yang mencaci juga tak sedikit. Penonton televisi kritis menuding acara ini tak lebih dari akal-akalan kapitalis berkedok karitas. Kaum kapitalis yang merasa bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan hanya dengan memberikan sumbangan.

Aku tak pernah terlibat secara langsung di program ini (dan juga tidak berharap), kecuali hanya beberapa persentuhan kecil yang akhirnya memantikku untuk menulis ini. Jika Aku Menjadi atau JAM dikerjakan dengan model drama-dokumenter. Sebagai sebuah tayangan visual, drama adalah bumbu yang susah untuk tak ada. Namun, Insya Allah, aspek dokumenternya selalu lebih banyak dibanding aspek dramanya. Itulah sebabnya, pun orang-orang dengan latar belakang jurnalisme “hardcore” seperti Mas Satrio, masih bersedia memasang namanya di credit tittle.

Narasumber JAM tidak pernah tahu mereka diliput untuk sebuah acara televisi. Sejauh ini, kru selalu berdalih mereka adalah mahasiswa KKN yang sedang mengerjakan tugas dari kampus. Makanya, profil narasumber yang diliput biasanya yang berada di remote area yang belum atau susah terjangkau siaran televisi. Memang rada-rada ngibul sedikit, tapi aku lihat stasiun TV sekaliber BBC juga melakukan cara ini di program Undercover Boss.

Sejauh ini ada beberapa yang gagal. Karena beberapa sebab, “rahasia” para kru bisa saja terbongkar. Bila sudah begini, biasanya kru akan mencari alternatif narasumber lain. Ini demi menjaga efek surprise yang diperlukan dalam dramatisasi. Bukan apa-apa, karena di akhir acara para kru selalu memberikan hadiah –mereka menyebutnya solusi– kepada narasumber yang diliput. Bentuknya bisa berupa barang yang mereka memang butuhkan, seperti gerobak dagangan, modal usaha, jala, atau bahkan sepeda motor.

BACA:  Gerhana Matahari 1983 dan Kisah Saribulang

Kemarin aku dapat cerita, Nak. Dalam sebuah liputan di Bengkulu, kru JAM mengangkat kehidupan narasumber bernama Pak Bahtiar. Aku kurang jelas apa pekerjaan Pak Bahtiar ini, yang pasti pada saat proses syuting berlangsung, beliau sedang sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Hanya berselang beberapa hari setelah kru pulang ke Jakarta, mereka dapat kabar kalau Pak Bahtiar meninggal. Meski hanya berinteraksi selama beberapa hari, ikatan emosional yang terbangun antara kru dan narsumber biasanya sudah berubah total dibanding ketika mereka datang pertama kali. Bukan lagi sekadar sekelompok kru stasiun TV yang butuh liputan dan orang miskin yang butuh dibantu. Menanggapi kepergian narasumbernya, Amel, salah seorang kru yang bertugas mengerjakan episode Pak Bahtiar ini, mengungkapkan kesedihannya yang sangat dalam melalui status facebook-nya: “Bapak mudah2an tenang yah,di rumah sudah ada ayam buat modal hidup emak dan anak2 ke depan. Padahal bapak uda dibeliin kasur baru supaya kalo pulang dari RS ga tidur di kasur tipis lagi..makasih banyak Pak, uda nerima kami dengan ikhlas di rumah bapak.”

Begitulah, River. Pemberian itu kadang hanya berupa benda-benda sederhana. Mungkin kelihatannya sepele dan menggampangkan persoalan, tapi proses memberi itu seringkali menghadirkan pendar bahagia juga di hati para kru. Okelah, itu memang bukan murni berasal dari kantong para kru, melainkan dari kantong Pak CT. Kami, para kru, hanya menjadi salurannya. Tapi tidak selalu demikian juga. Suatu kali, kawanku –sesuai kehendaknya, kita sebutlah namanya Lucifer– mendapat tugas membuat dokumenter kehidupan seorang wanita buruh panggul. Wanita itu contoh yang luar biasa, dia bekerja keras menyekolahkan anaknya dengan menjadi pengumpul pasir. Lucifer, kawan saya yang badannya macho dan tegap ini, luluh hatinya melihat perjuangan wanita itu. Sebelum pulang ke Jakarta, dia bawa salah satu anak ibu itu ke bank terdekat. Di sana, Lucifer membuatkan rekening atas nama sang anak . Selain honor narasumber yang memang wajib diserahkan, Lucifer juga menyerahkan semua uang jatah hariannya selama enam hari untuk ibu itu. Itulah kawanku, Nak, dia sering menyebut dirinya Lucifer, tapi sungguh mulia hatinya.

BACA:  Tali Cadangan di Sepatuku

Ini cerita yang lain lagi. Suatu kali, aku sedang mengerjakan liputan di Lembang. Menjelang pulang ke Jakarta, kawan reporterku mengajakku singgah ke sebuah rumah. Sebelumnya dia mampir dulu membeli sekantong beras. Sudah malam saat itu. Rumah yang kami datangi adalah sebuah rumah gubuk yang mencapainya harus melewati jalan-jalan sempit di perkampungan.

Di rumah itu kami disambut oleh seorang nenek yang tampak terkejut melihat kami muncul di depan pintunya.
“Ini Mak Onah,” kawan reporterku, sebut saja namanya Nadine, mengenalkan kami. Aku menjabat tangannya yang dingin dan keriput. Mak Onah minta maaf karena membiarkan kami menunggu lama di depan pintu. Ia rupanya sedang shalat Isya tadi.
“Siti mana, Mak?” Nadine menanyakan cucu Mak Onah.
“Sudah tidur…”
Tak jauh dari kami, di ruangan yang hanya dibatasi triplek, seorang bocah perempuan tampak tertidur pulas.

Hampir runtuh air mataku, Nak. Sejak ibumu melahirkan kamu, aku selalu terenyuh melihat anak kecil yang tertidur pulas. Wajah-wajah itu, tak ada prasangka buruk pada kehidupan yang mungkin memperlakukan mereka dengan keras.

Waktu kru Jika Aku Menjadi meliput kehidupan Mak Onah beberapa bulan sebelumnya, mereka masih hidup bertiga. Mak Onah, anak perempuannya, dan Siti cucunya. Ibunya Siti baru saja wafat karena penyakit kanker darah. Siti sebenarnya masih punya ayah, tapi laki-laki itu pergi begitu saja saat tahu istrinya memilki penyakit yang tak bisa sembuh.
Alhasil tinggallah mereka berdua di gubuk kecil itu.

Mak Onah bercerita setiap subuh dia harus membawa-bawa Siti berkeliling berjualan nasi ketan. Tak jarang bocah perempuan berkulit putih bersih itu masih tertidur di gendongan Mak Onah. Setelah pagi, Mak Onah baru bisa sedikit beristirahat karena Siti bersekolah TK.

BACA:  Balada Calon Debitur

Nadine bercerita bahwa Siti sudah didaftarkan di sekolah SD terdekat bila TK-nya sudah beres. Kru Jika Aku Menjadi sudah membayarkan biaya sekolahnya hingga tamat nanti.
“Masalahnya adalah biaya hariannya, Can. Siti pasti harus beli buku, biaya transport, dan uang jajannya,” kata Nadine kepadaku. Aku berjanji akan mencarikannya donatur. Aku bilang aku punya banyak teman yang kaya dan baik. Janji yang hingga hari ini belum aku tepati.

Setelah ngobrol sekitar satu jam, kami pamit. Siti masih terlelap di biliknya. Sebelum berbalik, Nadine tak sengaja melihat sebuah benda terikat rapi di atas lemari.
“Itu kasur yang kemarin kita kasih ya, Mak?” tanya Nadine.
Mak Onah mengangguk.
“Kenapa gak dipakai?”
“Nanti saja. Tunggu kalau Siti sudah besar…” kata Mak Onah. Dan aku lihat Nadine menatap ke langit-langit, menahan air matanya agar tidak tumpah.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga