Jam Berapa Lebah Pulang?

Jam Berapa Lebah Pulang

Kemarin – hanya berselang sehari setelah aku pulang, gantian dia yang berangkat. Hampir terucap di mulutku yang kurang ajar: hubungan apa ini? Tapi dia tahu, aku orang yang lucu. dan aku tak akan pernah bicara seperti itu. Seperti dia memahamiku, aku pun memahaminya. Memahami pekerjaannya. Kami ini, dua jurnalis karbitan yang berusaha eksis.

Kurang lebih seminggu lalu, aku ingin menulis ini sebenarnya. tepat saat sebelum aku berangkat menyisir kaki pulau Sulawesi, melewatkan seminggu memandangi jalan, sawah, pantai, dan kepompong ulat sutra.
Lalu aku pulang bawa banyak cerita, yang belum sempat aku ceritakan dan tiba-tiba dia sudah harus berangkat, ikut Pak Beye ke Suramadu.

Ini sudah dua bulan lebih bersamanya. Serumah denganmu. Menarikku dari sebuah kosan sempit di gang B ke sebuah rumah kontrakan yang lumayan lapang di gang L, di jalan yang sama. Rumah yang kami sewa seharga lebih dari gabungan sewa masing-masing kontrakan kami yang lama. Akhirnya kami punya tempat untuk menaruh botol-botol pasir yang kita kumpulkan dari pantai di mana saja. Juga sebidang dinding untuk menggantung foto-fotomu kelak, Nak.

BACA:  The Things You Won't Regret

Sebuah rumah yang di bagian belakang dekat tempat jemurannya, ternyata ikut bersarang sekawanan lebah. Lebah tawon dengan sarang sebesar empat kepalan tangan.

Lebah-lebah itu, yang dari sejak pertama kami tahu mereka di situ, kami beri kesempatan tinggal tanpa harus ikut membayar sewa.

Lalu hari bergerak sebegitu cepat. Semakin lama bersamanya, semakin aku sadar ternyata aku tidak pandai-pandai banget. Setiap malam saat tidur di sampingnya seolah-olah seperti pelajaran mengeja di kelas satu SD. Belajar mengeja tarikan nafas, butiran keringat, dan wangi rambutnya, hingga aku paham arti keindahan. Kami berusaha membawa semua hal bergerak ke kanan.

Tapi, tentu saja tidak semua bisa kami bawa ke kanan. Ada yang berubah, itu pasti. Di rumah ini, kami belajar bahagia, yang dengan itu kadang kami terpaksa harus menutup pintu rapat-rapat, yang membuat kami makin jauh dari gangguan pengemis, salesman, dan mungkin musafir yang ingin minta air. Bukan salah siapa-siapa. Mungkin berita-berita di koran dan TV lah yang membuat kita seperti itu, berpikir seolah-olah semua orang yang datang mengetuk pagar pastilah ingin menipu atau menyakiti.

Lalu apa arti bahagia tanpa melibatkan orang lain? Atau hewan lain? Jangan dijawab. Ini pertanyaan naif.
Tapi setidaknya kami masih beruntung, kawanan lebah itu masih mau bersarang di belakang rumah kami, dekat sekali dengan tali jemuran.

BACA:  Ibu Wahono, Mendayagunakan Sampah Plastik

Ini sudah dua bulan lebih bersamanya. Baru dua bulan. Jika Allah meridhoi, kami masih akan melewati banyak tahun. Tahun yang pasti tidak semuanya ringan. Tidak perlu ilmu roket untuk tahu itu. Toh bukankah hidup adalah perjuangan abadi melawan kesedihan?

Malam ini, aku bolos satu pelajaran. Dia, guru kehidupanku, masih di luar kota tugas liputan. Besok pagi pulang, dia bilang. Dari Surabaya, Pak Beye terus ke Bali, dan mereka tidak diajak.

Aku tunggu, Sayang. Malam ini aku tidur di kantor, malas pulang setelah main layangan di teras belakang tadi. Jemuran masih aku biarkan di tali gantungannya di belakang rumah, dekat sarang lebah itu. Belum aku pindahkan. Biar kata orang itu obat, aku ngeri kena sengat lebah-lebah itu.
Hanya dia –ibumu itu, Nak– yang tahu kapan mereka berangkat dan pulang ke sarang, dan dengan itu kami tak perlu mengganggunya. |

Leave a Reply

Silakan dibaca juga