Integritas di Tempat Kerja

integritas di tempat kerja

River, inilah yang terjadi malam ini.

Bosku yang baru saja menerima petuah dari bosnya dalam rapat mingguan, mendatangiku yang sedang sibuk main fesbuk. Karena dia bos, tentu saja aku harus memberi atensi padanya dan menelantarkan fesbuk. Beliau duduk sebentar, mengusap-usap kepalanya yang ditumbuhi rambut tipis nyaris semua putih. Aku ingat ikyu-san.

“Kayaknya gue mesti minta turun gaji nih,” katanya tiba-tiba. Menurutku dia bercanda sehingga aku menertawainya. Atau mungkin dia serius tapi sedang menerapkan ilmu logika terbalik.
“Kegedean kayaknya gaji gue buat kerjaan cuma gini doang,” katanya lagi.
Aku menangkap nada ironi. Sesuatu mungkin telah terjadi di perbincangan sebelumnya.
“Ada gitu, Bang, yang kayak gitu?” tanyaku.
“Ada,” katanya.

Lalu dia bercerita tentang Kalifah Umar bin Abdul Aziz.

Sebagai khalifah, Umar menerima gaji dari negara yang dananya diambil dari Baitul Maal, semacam kas negara.
Alkisah pada suatu hari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz mendapati istrinya menyediakan makanan yang beda dari biasanya. Di deretan hidangan, ada sepotong roti yang masih hangat dan harum.
Umar merasa heran dan bertanya kepada istrinya, “Dari mana roti ini?”
Istrinya menjawab bahwa itu buatannya sendiri dan sengaja dia buat untuk Umar.
“Setiap hari engkau sibuk dengan urusan negara dan umat, sesekali apa salahnya menyenangkanmu, wahai Amirul Mukminin,” kata istrinya.
“Berapa uang yang kamu perlukan untuk membuat roti seperti ini?” tanya Khalifah Umar.
“Hanya tiga setengah dirham. Kenapa memangnya?”
“Semua yang masuk ke perutku akan aku pertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Aku perlu tahu asal usul makanan dan minuman yang aku makan,” jawab Khalifah.
Istrinya terdiam.
“Lalu darimana uang yang tiga setengah dirham itu kau dapatkan?” tanya Umar lagi.
“Aku menyisihkan setengah dirham tiap hari dari uang belanja harian rumah tangga kita yang selalu kau berikan kepadaku, jadi dalam seminggu terkumpullah tiga setengah dirham. Itu cukup untuk membuat roti seperti ini,” kata istri Umar.
“Baiklah. Aku percaya asal usul roti ini halal dan bersih. Aku hanya berpikir bahwa itu berarti kebutuhan biaya harian rumah tangga kita harus dikurangi setengah dirham, agar tak mendapat kelebihan yang membuat kita mampu memakan roti yang lezat atas tanggungan umat.”

BACA:  Tak Perlu Menangis

Kemudian Khalifah memanggil bendahara Baitul Maal dan meminta agar uang belanja harian untuk rumah tangga Khalifah dikurangi setengah dirham.

Lalu kepada istrinya, Khalifah Umar berkata, “Aku akan berusaha mengganti harga roti ini agar hati dan perut kita tenang dari perasaan bersalah karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi.”

Demikian bos-ku bercerita tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tentu dia tidak berpretensi untuk menyamakan dirinya dengan Umar, karena sesekali dia juga seperti atasan pada umumnya yang punya kekurangan dalam manajerial. Tapi aku bisa menjamin bahwa bos-ku ini seorang yang tawaddu’, rendah hati dan wara’ (berhati-hati).
Suatu hari dia pernah kehabisan pulsa dan harus menelepon istrinya di rumah. Rata-rata kami punya dua handphone, 1 nomer pribadi dan 1 lagi nomer XL yang pulsanya disediakan kantor setiap bulan. Aku lalu meminjamkan salah satu handphone-ku padanya, tapi dia menolak ketika tahu yang aku sodorkan itu handphone bernomer XL fasilitas kantor.
“Ini urusan pribadi,” katanya.
Ketika itu aku merasa cukup malu dan segera mencari pembenaran bahwa kami juga sering menggunakan handphone pribadi kami untuk pekerjaan kantor. Jadi impaslah, begitu hitung-hitunganku. Tapi bos-ku itu tetap menolak. Sungguh, betapa aku sangat beruntung bisa bekerja di bawah supervisinya.

BACA:  Hal-hal Kecil yang Berat

Selain bosku itu, aku juga mengenal seseorang yang benar-benar pernah minta turun gaji. Dia seorang dokter yang bekerja di sebuah klinik swasta. Karena ada urusan pribadi, dia terpaksa tidak bisa masuk beberapa hari dalam sebulan. Pihak manajemen klinik yang selama ini puas dengan pekerjaan dokter muda itu sama sekali tak merasa keberatan dan tidak menerapkan pemotongan gaji.
Suatu hari sang dokter muda menghadap kepada direktur klinik. Sang direktur yang mengira dokter muda itu ingin meminta kenaikan gaji, dibuat terkejut karena sang dokter justru minta gajinya dikurangi.
“Bulan ini hari kerja saya berkurang. Saya tidak berhak untuk gaji sebesar bulan sebelumnya,” katanya.

Sang direktur sangat terpukau oleh si dokter muda itu, dan berandai-andai sekiranya dia masih punya anak gadis maka akan dia nikahkan dengan dokter muda tersebut.

Begitulah. Cerita ini benar adanya, River, kecuali bagian di mana sang direktur berniat menikahkan anaknya dengan si dokter. Itu karanganku saja supaya kau merasa terhibur.

Hal yang aku ceritakan padamu ini, Nak, mari kita beri nama integritas. Integritas tak bisa diwariskan, tapi bisa diajarkan atau ditularkan. Belajarlah dari siapa saja. Mungkin dari kami, bila kelak masih ada sisa yang kami punya untukmu. Kamu tahu, Nak, betapa susahnya menjaga integritas di zaman seperti sekarang.

Tapi percayalah, Nak, Allah Maha Menjaga. Selalu dikirimkan-Nya kepadamu orang-orang yang bisa kau pegang juntai jubahnya. Orang-orang yang bisa memberi tameng tangan ketika api lilinmu hampir padam. Orang-orang seperti bosku itu.

Malam ini bosku itu bertahan di kantor karena hujan dan dia tak bisa pulang. Demikian pula aku yang berpikir untuk apa memaksa pulang ke rumah karena toh kau dan ibumu ada di Bandung.
Setelah perbincangan tadi, bosku minta izin tidur duluan, di bawah meja komputer. Karena dia bosku, aku meminjamkan sleeping bag-ku. Tak apa-apa. Aku ikhlas. Dia sudah tua, kasihan. Aku belum tidur karena masih harus mengerjakan naskah sambil “korupsi” menulis catatan ini di komputer kantor. Aku sebenarnya bawa laptop tapi Wi-fi sedang lemot. Jadi termaafkanlah ini menurut versiku. 🙂

BACA:  Tafsir Penderitaan dari Soda Gembira

Cepatlah lahir, Nak. Dan segeralah kau temui orang-orang. Sebagian orang mungkin akan mengecewakanmu, dan sebagian lagi akan memenuhi ekspektasimu. It’s ok. Itulah hidup, kata Ned Kelly.
Mari berjuang. Dalam hidup, setidaknya ada satu orang yang akan rela mati untuk seseorang yang lain.
Dan yakinlah, Nak, kamu punya. Aku.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga