Demikian Adanya

Aku pernah marah sekali kepada Bapak. Saking marahnya aku cuma bisa menangis. Itulah saat Bapak meninggalkanku sendirian di sebuah pesta ulang tahun. Ceritanya Bapak punya teman yang anaknya sedang ulangtahun. Sebagai sesama anak kecil, diundanglah kami bersaudara. Undangannya lucu, ada tulisan “tiada kesan tanpa kehadiranmu”. Aku dan saudara-saudaraku tidak mengenal anak yang ulangtahun itu. Tapi karena yang mengundang adalah temannya Bapak, maka kami harus datang. Aku lupa bagaimana hitung-hitungannya hingga akhirnya aku yang diutus hadir, bukannya abangku atau si Uce yang jelas-jelas lebih tampan dibanding aku. Fuad dan Ari belum lahir waktu itu. Kalo tidak salah ingat, umurku baru 5 atau 6 tahun.

Sesampai di lokasi, tampaklah olehku anak yang berulangtahun itu, seorang gadis kecil yang –kalo melihat posturnya- mungkin satu atau dua tahun lebih tua dibanding aku. Bajunya putih berkilauan. Demikian pula wajahnya. Bedaknya pasti bukan bedak Viva nomer 4. Cantiklah pokoknya.

Aku lalu menyerahkan kado yang sudah dibekali oleh Ibu. Jangan tanya isinya apa. Lupa. Aku senang bukan main. Di pesta ulangtahun itu ada banyak makanan dan teman. Saking gembiranya, aku bahkan mengiyakan saja waktu Bapak pamit meninggalkanku sebentar karena ada urusan mendadak di kantornya yang tak jauh dari rumah temannya itu. Aku lalu dititipkan kepada pemilik rumah, orangtua si anak yang berulangtahun itu.

BACA:  Sematjam Kasih Sayang

Pesta ulangtahun berjalan meriah hingga aku menyadari bahwa Bapak pergi terlalu lama. Tahu-tahu aku sudah menangis saja di depan pintu. Ibu si birthday girl itu berusaha menenangkanku. Tapi aku tetap menangis keras. Kemana Bapak? Kemana Bapak? Kenapa aku belum dijemput? Hancur semua dandananku. Baju kemeja yang sebelumnya rapi jali sudah tak beraturan. Kue-kue tak lagi menggairahkan.

Tangisku mulai reda saat moncong mobil Mitsubishi Colt bapak muncul di pintu pagar. Bapak turun. Tapi bukannya menanyakan keadaanku, Bapak malah tertawa. Seperti motor butut yang ditarik kabel choke-nya, tangisku pun meledak kembali. Aku marah semarah-marahnya. Kemarahanku pun semakin bertambah karena setibanya di rumah aku kembali jadi bahan tertawaan saudara-saudaraku.

Itulah marahku kepada Bapak yang aku ingat. Beranjak dewasa, ada beberapa kejadian yang membuatku menyimpan kemarahan kepada Bapak. Tapi tak pernah frontal aku tunjukkan. Karena Bapak sendiri sepertinya tidak mempedulikan apakah aku marah atau tidak. Salah satu hal yang aku kagumi dari Bapak adalah dia hampir tak pernah terlihat bermasalah. Bapak adalah batu karang yang sendirian meredam gelombang laut.

Anakku River, mungkin kamu masih ingat cerita saat aku dan Bapak berselisih paham dan, sebagai bentuk protes, hampir tiap malam aku keluyuran dan pulang menjelang pagi. Tapi Bapak tetap setia menungguku untuk membukakan pintu seolah tidak terjadi apa-apa.

BACA:  Sungai Muhammad

Nak, bila besok-besok kita ada slek, jangan ragu-ragu untuk menunjukkan pendapatmu, atau kemarahanmu bila perlu. Tentu dengan cara yang benar dan diridhoi. Jangan menantang berkelahi, karena gak bakal menang kamu. Kalau menurutmu benar, cukup kasih tahu dimana yang menurutmu kami keliru. Tak perlu dengan suara tinggi dan keras, karena suara keras itu hanya untuk orang-orang yang berjauhan fisik dan hatinya. Kita dekat, Nak. Dan akan selalu dekat.

Kamu boleh marah atau tidak suka, Nak, tapi janganlah hal itu menghilangkan frase penting dalam hubungan ayah-anak.
Mari kita berjanji, seburuk apapun kondisi yang akan kita alami, aku akan tetap bangga kepadamu dan kamu akan tetap bangga kepadaku, meskipun misalnya aku akhirnya hanya bisa membuatkanmu rumah sederhana berdinding batu bata tanpa plester.

Peter Griffin, si tokoh ayah dalam Family Guy, mencoba terlibat dalam upaya pembebasan sandera pada sebuah perampokan di Bank Quahog. Dia melakukan itu untuk merebut kembali kebanggaan dan kehormatannya di mata istri dan anak-anaknya. Peter merasa Lois, Meg, Chris, Stewie dan bahkan anjingnya, Brian, lebih kagum kepada tetangga barunya, seorang mantan polisi yang cacat karena menjalankan tugas. Tentu saja usaha “mencari perhatian” itu gagal dan berakhir konyol. Namun Lois, sang istri, menenangkan Peter. “Kamu adalah ayah yang terbaik. Kamu selalu memindahkan channel TV, atau memakan potongan pizza terakhir supaya kami tidak berebut…”

BACA:  Terinspirasi Lego dan Sampah Plastik, Arsitek Ini Bikin Rumah untuk Orang Miskin

Itulah seorang ayah, Nak. Kadang hanya kebanggaan dari keluargalah yang diharapkannya. Mungkin karena usia tua, kami jadi semakin kehilangan fungsi. Suatu hari nanti, kami mungkin tak bisa lagi kau andalkan untuk memasang hammock atau menyalakan trangia-mu.

Tapi aku berharap, Nak, seperti aku tak berhenti bangga kepada kedua orangtuaku, semoga kamu pun demikian adanya kepada kami.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga