#dearRiver: Mengapa Gajah Berbelalai Panjang?

#dearRiver
Kamu akhirnya tertidur setelah Ayah membacakan dua buku cerita untukmu. Satu cerita beneran tentang bagaimana orang Mesir kuno menyempurnakan roda di tahun 6000 SM, dan satu cerita dongeng tentang mengapa gajah berbelalai panjang. Dongeng gajah itu adaptasi dari “The Elephant’s Child” karya Rudyard Kipling, seorang jurnalis Inggris kelahiran India yang terkenal karena kritiknya terhadap imperialisme Britania Raya.

Menurut cerita itu, dulu gajah tidak berbelalai panjang. Hidung mereka bantet kayak roti lupa dikasih fermipan. Lalu ada seekor gajah kecil yang selalu ingin tahu. Suatu ketika dia ingin tahu apa makan malam buaya. Dia pun ke tepi sungai dan bertanya pada buaya. Sialnya, buaya justru menggigit hidung si gajah kecil. Mereka pun saling tarik. Beruntung si gajah akhirnya bisa lepas, tapi hidungnya terlanjur melar memanjang seperti sekarang.

Menurut cerita itu, si gajah kecil tinggal 3 hari 3 malam di pinggir sungai, meratapi hidungnya yang memanjang. Ia tak mau pulang hingga hidungnya kembali seperti semula. Tapi kemudian ia merasakan bahwa hidung panjangnya itu ternyata lebih bermanfaat. Dengan hidung yang kini disebut belalai itu, ia bisa mengusir lalat yang mengganggu, mengambil dedaunan di pohon yang tinggi, dan bisa bermain semprot-semprotan air. Biarpun gajah, namanya juga anak-anak. Bermain itu penting.

BACA:  Pertanyaan yang Tidak Dijawab Eka Kurniawan: Sebuah Wawancara yang Gagal

Begitu ceritanya, Boi. Sayangnya, di dongeng itu tidak dijelaskan pesan moralnya. Di akhir dongeng cuma diceritakan bahwa ketika melihat belalai gajah kecil yang banyak gunanya itu, gajah-gajah lain pun iri. Mereka kemudian ramai-ramai mendatangi buaya untuk minta digigit hidungnya supaya jadi panjang juga. Dan tamat.

Tinggallah kita harus mereka-reka. Mungkin seperti ini tafsirnya: pencarian pengetahuan itu menyakitkan. Si gajah kecil ingin tahu apa makan malam buaya, sehingga ia harus merasakan hidungnya digigit. Dan ketika ia dapat faedahnya, orang lain pun ingin menirunya.
Tanpa didasari oleh esensi –yakni keingintahuan, para peniru itu dengan sukarela menyerahkan diri langsung pada muara penderitaan. Lalu apakah mereka memperoleh yang diinginkan? Wallahu a’lam. Mungkin seperti pertanyaan kenapa ada orang yang marah dan ada yang tidak ketika ia dihina atau dihinakan. Bisa jadi karena ia mengerti esensi yang tidak dipahami orang lain.

Pernah ada seorang alim ditanya, apa yang akan ia lakukan bila ada orang yang membuang kitab sucinya ke dalam kloset?
“Saya akan panggil tukang pipa,” katanya. Maksudnya, jauh lebih penting untuk mencegah kerusakan daripada mengamuk karena merasa terhina.

BACA:  Hal-hal Kecil yang (Bisa Jadi) Tak Kecil Akibatnya

Ebuset, berat banget ini dongeng yak! 😀
Tak usah dipikirkan, Boi. Tidurlah yang nyenyak. Kita akan bertemu di tempat yang disebut Rumi, “Out beyond ideas of wrongdoing and rightdoing, there is a field. I will meet you there.”

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga