“Bagaimana Kalau Seandainya Anakmu…”

Artikel ke [part not set] dari 3 artikel dalam Topik : Cerita LGBT

Di sesi ngopi-ngopi saat rehat siang di kantor, kawan saya Mas Tarto tiba-tiba menanyakan hal yang lagi ramai itu. “Bagaimana kalau misalnya suatu hari nanti anakmu tiba-tiba mengaku homo?”

Ditanya begitu, ingin rasanya saya mengetuk-ngetuk meja seperti yang sering dilakukan ibu-ibu atau remaja yang tidak menginginkan “sesuatu” yang diomongkan itu terjadi padanya, biasanya dilanjutkan dengan kata: amit-amit… amit-amit… Tapi karena yang bertanya ini Mas Tarto, seorang jurnalis senior panutan saya, maka saya pikir bukan jawaban seperti itu yang dia mau.

“Pertanyaan berat, Mas,” kataku sambil meringis.

Beberapa tahun lalu, saya pernah membaca tulisan Goenawan Mohammad (GM) tentang anak perempuannya, Mita, yang mengaku sebagai lesbian. “Saya sedih. Kamu akan menjalani hidup yang sulit di masyarakat ini,” tulis GM. Tapi ia juga berjanji akan mendukung Mita. GM mengirimkan novel Oranges Are Not The Only Fruit karya Jeanette Winterson bersama dengan surat di mana ia menulis bahwa mereka –GM dan istrinya- akan selalu menerima Mita dengan penuh.

Atau “surat” yang paling baru, ditulis oleh Ifan Ismail untuk anaknya yang masih berusia 3 tahun: Surat Ayah Bila Kamu “Come Out. Saya juga sudah membacanya. Dan sejauh ini, saya masih berkesimpulan, sebagai seorang ayah, hati saya belum dipersiapkan untuk selapang hati GM atau Ifan.

Dalam soal ini, sebenarnya saya berusaha untuk tidak ikut ramai. Saya cenderung menghindar setiap kali ada yang bertanya apa yang saya pikirkan tentang LGBT. Di samping karena saya merasa tidak menguasai wilayah itu, saya juga tidak tahu kenapa itu harus diperdebatkan.

Sampai kemudian, saya merasa menemukan “jalan masuk” yang cukup akrab bagi saya: obesitas.

Sekitar tiga minggu lalu, saya akhirnya harus menerima sebuah kenyataan yang selama ini berusaha saya tolak. Meskipun saya selalu mengaku montok, namun secara medis, dokter menyebut saya obesitas dan itu mengganggu banyak fungsi di tubuh saya. BMI (Body Mass Index) saya 32.41. Berat badan saya over sekitar 25 kilogram atau hampir setengah zak semen Tiga Roda. Bayangkan dirimu ke mana-mana menggendong setengah zak semen, itulah yang saya alami.

Obesitas (paling sering) timbul karena seseorang tidak mampu menahan nafsu untuk makan banyak, memasukkan sesuatu yang tidak seharusnya dimasukkan. Jadilah tubuhnya membengkak. Tapi di sisi lain, ada juga orang yang menjadi obesitas karena hormon dalam tubuhnya tidak seimbang, misalnya dia menderita hipotiroid sehingga metabolismenya sangat rendah. Kasihan dia. Bahkan minum Aqua pun bisa bikin dia

BACA:  Tiger Woods' son is good at golf, but video poses wider questions

Ada juga orang yang menyandang obesitas karena peristiwa traumatik. Ingat Steve Vaught? Ia mantan marinir yang mengalami depresi dan overeating setelah secara tak sengaja menewaskan dua orang pejalan kaki dalam sebuah kecelakaan mobil yang dikendarainya. Untuk melawan obesitas dan meringankan rasa bersalahnya, ia berjalan kaki sejauh kurang lebih 3000 mil melintasi Amerika pada tahun 2006.  Dia tidak ingin menjadi gemuk, dan dia berusaha melawannya.

Ada yang menganggap obesitas sebagai varian postur tubuh seperti halnya kurus dan langsing. Tapi di beberapa negara, obesitas sudah dianggap epidemi atau wabah. Ibu Negara Amerika Serikat Michelle Obama bahkan sampai harus turun sendiri berkampanye untuk melawan obesitas pada anak.

Itu tentang obesitas. Dan sekarang, mari kita memikirkan kembali jawaban untuk pertanyaan Mas Tarto itu.

Sekiranya saya memang harus membenci kaum LGBT, saya punya cukup alasan untuk itu. Waktu kecil saya pernah “diculik” bencong, dibawa keliling kota, nonton , tapi untungnya tidak diapa-apakan. Waktu itu saya tidak tahu apa motifnya. Barulah kemudian setelah agak besar saya sadar bahwa ia berniat buruk pada saya. Mungkin karena menghormati keluarga saya yang ia kenal, ia mengurungkan niatnya. Belakangan ternyata, adik saya juga hampir mengalami hal yang sama.

Peristiwa traumatik lain terjadi ketika saya remaja. Ini bahkan sudah main fisik…

*tutup muka

*tarik nafas….

Oh, saya merasa penuh noda….

*tarik nafas lagi….

Baiklah, saya ceritakan…

Sebagian masa remaja saya adalah perihal kenakalan. Saya sempat ikut geng yang bandelnya bukan main, termasuk yang berurusan dengan kaum LGBT. Kawan saya yang pernah mengerjai seorang bencong. Pada suatu malam, ia pura-pura mau diajak ke semak-semak. Ketika si bencong membuka celananya, kawan saya ini dengan secepat kilat mengoleskan balsem yang sudah ia siapkan ke barang si bencong dan kemudian kabur sekencang-kencangnya.

Itu cerita dia. Kalau yang ini adalah ceritaku. Pada suatu sore, di kota kami ada pertandingan voli antar-waria se-kabupaten. Kami bergerombol datang menonton… dan mencela-cela. Ada satu orang waria yang setiap kali ia memukul bola, kami berbarengan meneriakkan nama laki-lakinya.

Muhtar! Muhtar! (bukan nama sebenarnya). Begitu kami terus berteriak. Padahal dia lebih senang dipanggil Fiona (sudah pasti juga bukan nama sebenarnya). Rupanya itu membuat dia dan kawan-kawannya marah. Pertandingan voli terhenti dan puluhan waria itu menyerbu kami ke bangku penonton. Kawan-kawanku semua kabur, kecuali saya yang terlambat menyadari situasi. Saya tertangkap dan tiba-tiba saja sudah dikelilingi oleh waria se-kabupaten. Bayangkan, se-kabupaten! Waktu itu yang terpikir hanyalah,  ‘semoga resleting celanaku cukup kuat!'.

BACA:  Mengapa Saya Golput #2

Saya merasakan beberapa cekikan dan bogem menimpa wajahku. Sebisa mungkin saya melindungi kepala. Untunglah, tak lama kemudian saya menemukan diri saya sudah berada di kantor tentara. Rupanya seorang tentara telah menyelamatkan saya dari amukan mereka.

Berbulan-bulan setelah kejadian itu, saya trauma setiap melihat orang kemayu….

Padahal sebenarnya, seperti kebanyakan orang di kultur kami, saya menghormati mereka. Di kultur Bugis kuno, waria (dan kawan-kawannya) adalah golongan yang dihormati. Dengan berbagai perdebatannya, barangkali hanya kultur Bugis-lah yang mengakomodir gender ketiga dan keempat.

Barangkali itu juga sebabnya, saya tidak terlalu terpengaruh dengan ribut-ribut soal LGBT belakangan ini. Di luar peristiwa di voli itu, saya merasa tidak ada urusan juga untuk mencela-cela pilihan jalan hidup mereka.

Saya bahkan punya sahabat seorang gay. Dia beberapa hari lalu bilang ke saya, “Kalian ini sebenarnya ngapain sih? Media-media itu lebay! Kami tidak pernah menuntut legalisasi pernikahan. Kami hanya ingin tidak didiskriminasi.”

Iya, barangkali memang hanya itu yang mereka inginkan. Mereka capek dianggap sebagai penyebab kutukan, penyakit tak terobati, atau bahkan predator. Padahal potensi itu bisa ada di semua golongan. Siapa pun bisa menjadi pedofil. Siapa pun bisa menyebarkan HIV. Tak harus LGBT/Q.

Stereotip –atau konsepsi yang didasari prasangka subjektif– ini memang sangat berbahaya. Saya sendiri mengakui itu. Tetangga saya di kompleks adalah pengusaha rias pengantin yang kadang saya bingung mau memanggilnya Bro atau Sis. Sekali waktu, saya pernah marah pada salah satu dari mereka yang mengucapkan kata-kata kotor di teras rumahnya. Saya takut anak saya mendengar dan meniru. Sekali-sekalinya itu, saya terpaksa menegur. Saya berpikir kok mereka ngomong seperti tidak diayak, tidak disaring. Kebiasaan yang saya duga inheren dengan karakteristik golongan itu. Tapi, ternyata kemudian saya juga mendengar kata-kata kotor itu terujar oleh sopir angkot di pengkolan, kecil di skatepark. Runtuhlah satu asumsi.

BACA:  Bertamu

Jumat kemarin, saya kebetulan libur. Saya sedang menyalakan motor saat salah satu tetangga Bro/Sis itu keluar juga untuk Jumatan. Mesjid yang kami tuju adalah mesjid kampung yang agak jauh. Saya pun menawarkan tumpangan, tapi ia menolak.

“Makasih, Om, saya jalan kaki saja,” katanya dengan lembut.

“Jauh lho, Mas,” kata saya, masih menawarkan.

“Nggak apa-apa, Om. Sekalian nambah pahala….” katanya.

Saya lalu ingat kata kiyai, makin jauh jalan yang seseorang tempuh menuju mesjid, makin banyak pahalanya. Kejadian itu juag mengingatkan saya bahwa setiap orang punya cara masing-masing untuk mendatangi-Nya. Siapalah kita yang berhak menghakimi…

Kembali ke pertanyaan Mas Tarto itu. Saya belum ketemu mas Tarto lagi, tapi mungkin kalau nanti bertemu saya akan menjawab seperti ini.

“Rasanya tak ada orang yang sengaja ingin menjadi obesitas. Mereka yang mengalami obesitas bisa karena banyak hal –yang tidak selalu kita pahami. Karena saya tahu bagaimana tidak enaknya, jadi sebisanya, saya akan berjuang agar anak saya tidak menjadi obesitas. Saya tidak akan membiarkan dia menjadi obesitas dengan terus menjaga pola makannya, memperhatikan kondisi psikologinya, dan memberinya intervensi secara medis, bila perlu. Dengan pemahaman saya yang cetek ini, saya pikir, LGBT itu mirip obesitas. Potensi atau kondisinya harus ‘dilawan'. Tapi sama sekali tak ada pembenaran untuk mencela seseorang hanya karena dia gemuk, misalnya, dan apalagi menganjurkan membunuhnya.”

Fauzan Mukrim
Artikel dalam Topik Ini :

Leave a Reply

Silakan dibaca juga