Ambisi Orangtua yang Bisa Membunuh Bahasa

Ambisi orangtua yang membunuh bahasa foto: riverpost.id
Artikel ke [part not set] dari 2 artikel dalam Topik : Bahasa Indonesia & Kita

Persoalan bahasa menjadi perdebatan penting dalam keluarga saya ketika anak saya, Liv, masih dalam perut. Suami saya orang Belgia yang tumbuh dalam keluarga campuran, Perancis dan Belanda. Di rumah, kami berbahasa Inggris karena suami saya hanya bisa berbahasa Indonesia ngawur dan dia tidak suka mendengar saya berbahasa Perancis. Saya sadar sepenuhnya, bahasa Perancis saya bisa menjatuhkan derajat bahasa Marcel Proust itu. :-D.

Lantas, bagaimana nasib bahasa anak saya ? Di atas kertas, anak saya punya dua kartu identitas. Dan bagi saya, bahasa adalah bagian dari identitas. Karena itu, seperti tulisan saya sebelumnya bahasa Indonesia penting dijadikan agenda utama dalam pendidikan bahasa anak saya. Tapi saya sempat lupa diri.

Sebelumnya, cita-cita saya sederhana. Seperti juga orang tua pada umumnya, saya ingin dia nanti bisa bersaing di ranah internasional dan untuk itu saya ingin dia bisa berbahasa Perancis dengan baik…. dan juga bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Spanyol, Italia, Arab dan kalau perlu, Mandarin.

Keinginan suami saya lebih sederhana. Ia ingin, selain Perancis, anak kami bisa berbahasa Jerman dan Inggris. Saya tidak setuju, karena kami tinggal di Brussel, wilayah Belgia yang menggunakan dua bahasa nasional resmi : Perancis dan Belanda. Saya berkeras, nanti dia harus belajar bahasa Belanda juga.

Duh…sebetulnya kasihan juga anak saya, belum lahir sudah punya daftar tuntutan dari orang tuanya. Ini belum seberapa.

Neneknya, dari suami saya, ingin kami bicara satu bahasa saja di rumah. “Agar anaknya nanti tidak bingung,” kata mertua saya. Mereka punya pengalaman buruk dalam keluarga. Seorang sepupu mereka, juga keluarga campuran, akhirnya tidak mahir bahasa apa pun karena dirumah mereka ada beberapa bahasa berseliweran. Di sekolah, ia selalu gagal dalam pelajaran bahasa dan selalu jadi bahan ledekan teman-temannya karena pengucapan bahasanya dianggap aneh.

Selain itu, ibu saya terus-terusan mengingatkan agar anak saya juga bisa berbahasa Indonesia. “Nanti Mama tidak bisa berkomunikasi dengan cucu kalau dia tidak bisa bahasa Indonesia,” begitu ibu saya bilang.

Daftar tugas anak saya makin panjang seiring dengan mendekatnya jadwal ia hadir di dunia.

Tapi, apakah saya tega membiarkan anak saya menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan berbagai kursus bahasa? Hanya karena saya ingin dia bisa bersaing di masa depan ? Saya tidak tahu ada apa di masa depan sana. Saya juga tidak tahu akan jadi apa anak saya nanti. Bagaimana kalau ia jadi pelukis? Yang tidak perlu bercakap banyak bahasa untuk bisa menghasilkan karya?

Atau bagaimana kalau ia jadi tukang masak di restoran yang hanya perlu melihat nama menu untuk bisa mengolah makanan? Bukankah masa kanak-kanak yang dia (lebih tepatnya saya) korbankan untuk belajar bahasa akhirnya sia-sia? Intinya, kita tidak pernah tahu apa yang menanti anak-anak kita di depan sana.

BACA:  Tentang Wanita dan Lekatnya Stereotip “Makhluk Sejuta Kode”

Lalu, anak saya nanti akan menggunakan bahasa apa? Akhirnya, saya dan suami saya membeli buku Le défi des enfants bilingues : Grandir et Vivre en Parlant Plusieurs Langues (The challenge of Bilingual Kids : Growing up and live with several languages) yang ditulis Barbara Abdelilah-Bauer, seorang psikolog, ahli linguistik dan professor bahasa. Tentu banyak buku-buku sejenis yang juga bisa dijadikan referensi.

Buku ini sangat membantu meredam ambisi saya untuk menjejali anak dengan pelajaran bahasa. Banyak informasi berguna dalam buku ini yang tidak bisa saya paparkan semua. Tapi saya akan selalu ingat kata-kata yang ditulis Barbara Abdelilah-Bauer : “Saya percaya, bahwa bahasa atau bahasa-bahasa yang diwariskan oleh orangtua kita, adalah harta budaya yang sangat berharga yang patut dikembangkan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya, di mana pun mereka berada, dan apa pun bahasa mereka.

Saya juga ingat kata-kata Werner Herzog dalam film dokumenter Encounters at The End Of The World (2007). Dalam film yang lokasinya di Antartika itu, Herzog mewawancara seorang ahli bahasa yang sedang berusaha memperpanjang hidup tanaman langka. Kesimpulannya: It occurred to me that in the time that we spent with him in the greenhouse, possibly three or four languages have died. In our efforts to preserve endangered species we seem to overlook something equally important.

Saduran kasarnya: dalam upaya untuk melestarikan spesies langka kita tampaknya mengabaikan sesuatu yang sama pentingnya, melestarikan bahasa.

Selain itu, saya pikir, buat apa anak saya belajar bahasa-bahasa asing kalau ia tidak bisa berkomunikasi dengan keluarganya sendiri ? Bahasa Jerman, Belanda, Spanyol, Italia, Mandarin, kami coret dari daftar wajib dan bahasa Indonesia dan bahasa Perancis menjadi pilihan pertama kami. Pilihan bahasa ketiga, keempat dan seterusnya akan kami putuskan nanti, sesuai dengan kemampuan dan perkembangan anak kami. Karena, kata Barbara, tidak semua orang dilahirkan jenius dan tidak semua orang berbakat dalam bidang bahasa.

Berdasarkan penelitiannya, Barbara menganjurkan agar orang tua konsisten dengan bahasanya masing-masing. Kondisi ini akan membuat anak terbiasa dengan dua bahasa sejak lahir dan dengan mudah memahami bahasa-bahasa tersebut. Maka dengan tips dari Barbara dan peringatan dari Werner Herzog, sejak anak saya lahir, di rumah kami punya aturan sederhana : kepada anak, saya berbahasa Indonesia, suami saya berbahasa Perancis, dan suami dan saya tetap berbahasa Inggris. Sebelum tidur, kami juga bergantian membaca buku cerita dari bahasa masing-masing.

Hasilnya, sampai umur tiga tahun (sebelum masuk TK, -dia mulai bicara sejak umur 1 tahun), anak saya bisa berganti bahasa semudah ia menengok ke kiri dan ke kanan. Setiap pagi dia akan bangun dengan mengucapkan “Selamat pagi, mama. Apa kabar kamu hari ini? Baik?” dan mengucapkan “Bonjour Papa, comment ça va?”. Dia juga paham bahwa ada kata-kata yang tidak bisa diterjemahkan secara harfiah ke masing-masing bahasa.

BACA:  Jakarta dan Kisah Orang-orang (Tak Bernama) di Sekitar Kita

Masalah kemudian muncul ketika ia masuk sekolah. Kami sempat tergoda untuk memasukkannya ke sekolah berbahasa Belanda agar ia bisa belajar bahasa tersebut di sekolah. Tapi, kami sadar, saat itu, anak kami sedang dalam proses memahami struktur dari dua bahasa yang sama sekali berbeda. Dia juga dan sedang berusaha menambah koleksi kata demi kata dari setiap bahasa. Kami khawatir, bahasa baru akan membuatnya kliyengan.

Kami juga sempat berpikir untuk menyekolahkan anak kami di sekolah elit yang berbahasa Inggris dengan pertimbangan bahwa ia sudah terbiasa mendengar kami berbahasa Inggris. Tapi opsi itu kami coret. Pertama karena bahasa Inggris bukan bahasa asal kami. Kedua, karena kami ingin anak kami realistis, bahwa ada perbedaan dalam kehidupan sosial di sekitarnya. Maka ia akhirnya bersekolah di sekolah umum berbahasa Perancis milik pemerintah.

Bahasa Perancis anak saya akhirnya menjadi sangat dominan, dan mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesianya. Kebiasaan kami sejak tiga tahun pertama juga mulai terganggu karena akhirnya ia lebih sering menjawab dalam bahasa Perancis.

Rupanya, bahasa Indonesia yang didominasi bahasa lain setelah anak masuk sekolah bukan hanya masalah anak saya saja, dan bukan masalah anak campuran saja. Semua orang Indonesia, asli maupun tidak asli, mengalami hal yang sama. Ada yang akhirnya menyerah dan ada yang masih terus berusaha. Semuanya tergantung kegigihan dan niat dari masing-masing orang tua. Banyak para orang tua yang tidak kehilangan semangat untuk terus-terusan menjejali telinga anak mereka dengan bahasa Indonesia. Saya termasuk belum ingin menyerah.

Saya punya alasan lebih personal. Walaupun Werner Herzog tidak mengenal saya, saya tidak ingin Herzog menganggap saya ikut andil dalam membunuh bahasa. Saya juga tidak ingin ibu saya menganggap saya tidak patuh perintahnya. Karena itu, saya tetap berbahasa Indonesia kepada anak saya sambil sering mengajaknya berkumpul dengan komunitas orang Indonesia.

Hasilnya lumayan. Anak saya sekarang berumur 6 tahun. Dia fasih berbahasa Perancis, bisa berbahasa Indonesia dan tidak bisa lagi dikibuli dengan bahasa Inggris. Dia paham, setiap berkumpul dengan orang Indonesia, dia akan berusaha sekuat tenaga berbahasa Indonesia. Meski berbicara patah-patah dan lemot, dia selalu berhasil mengucapkan kalimat bahasa Indonesia. Saya hanya selalu bilang, “Kalau kamu tidak mengerti, tidak tahu kata yang mau kamu ucapkan, bertanyalah!”

BACA:  Anak, Bahasa Asing, dan Kecemasan-kecemasan Itu...

Selain itu, bahasa Indonesia juga menjadi bahasa penghubung antara anak-anak Indonesia yang tinggal di daerah /negara lain dengan lain bahasa. Biasanya, di acara peringatan hari kemerdekaan RI di Kedutaan RI lah, anak-anak bertegur sapa dengan malu-malu dalam bahasa Indonesia. Dan itu membuat mereka ikut bangga dan merasa menjadi bagian sah dari pesta kemerdekaan. Kebanggaan ini sering dia pamerkan dengan menertawai ayahnya : “Papa, bahasa Indonesiamu jelek sekali.”

Di luar komunitas Indonesia, untungnya kami tinggal di Brussels yang dianggap kota penampungan sementara para pekerja institusi mega-raksasa Uni Eropa. Di sekolah-sekolah, baik sekolah umum maupun swasta, anak-anak pada umumnya punya bahasa kedua bahkan ketiga. Seperti pada umumnya anak-anak yang sering pamer boneka, bahasa mereka menjadi salah satu yang sering jadi bahan pameran. Di antara anak-anak kecil yang rumpi sering terdengar obrolan macam :

”Saya di rumah berbahasa Portugis, saya mengerti bahasa Arab karena ibu saya orang Maroko.”

Dan saya pernah mendengar anak saya dengan bangga bercerita ke temannya :

“Saya berbahasa Indonesia karena ibu saya orang Indonesia. Kamu mengerti kalau saya bilang: makan permen itu tidak baik? Kamu tahu apa itu tempe? Tahu? Atau Bakso? Ibu saya bikin bakso enak sekali.”

Mendengar obrolannya dengan sesama anak kecil, saya sering bersyukur upaya saya tidak sia-sia. Bersyukur karena saya tidak terlanjur memaksanya belajar bahasa Jerman, Spanyol, Italia, Arab, atau Mandarin. Bersyukur karena dia bahagia menghabiskan waktu bermain selayaknya anak-anak tanpa beban ambisi kami. Bersyukur sekaligus terharu karena dia bangga menjadi orang Indonesia, meski hanya setengah. Tapi saya sadar, usaha mewariskan bahasa Indonesia ini adalah proses panjang dan butuh disiplin. Tugas saya sebagai ibu yang ingin mewariskan bahasa Indonesia belum selesai.

Mari berbahasa Indonesia kepada anak-anak kita!

Asmayani Kusrini
Artikel dalam Topik Ini :

Leave a Reply

Silakan dibaca juga