3 Urinoir

Tiga itu angka istimewa. Bentuknya menunjukkan stabilitas, keteguhan, keseimbangan, dan keadilan. Mungkin itu sebabnya banyak hal baik selalu dinisbatkan ke angka 3. Ketika wudhu kita membasuh bagian-bagian tubuh kita sebanyak 3 kali. Begitu pun saat shalat, beberapa bacaan diulang sebanyak 3 kali sebagai syarat sah-nya.

Aku ingat ada puisi tentang 3 anak kecil yang datang malu-malu ke Salemba membawa karangan bunga untuk kakaknya yang ditembak mati. Walt Disney juga punya dongeng bagus tentang 3 babi kecil yang selalu berhasil mengakali serigala jahat. Ada juga kisah tentang 3 ksatria yang menyebut diri mereka 3 Musketeers, kemana-mana bawa pedang dan selalu teriak “Satu untuk Semua, Semua untuk Satu!”

Dan kali ini, Nak, aku ingin menceritakan kepadamu tentang sesuatu yang jumlahnya 3 juga.

Tiga urinoir.

Sejak aku pertama kali datang di kantor ini hampir sembilan tahun lalu sebagai karyawan trainee, 3 urinoir itu sudah bertahta. Jadi hitungannya mereka itu seniorku. Tempat pipis untuk kaum laki-laki itu hingga sekarang tak banyak berubah, kecuali dispenser sabunnya yg berubah mengikuti pergantian perusahaan outsource. Seingatku, pertama kali dispensernya berlogo Rodent-something, lalu ISS, dan sekarang Eco-Care.

Di awal-awal bekerjaku, urinoir favoritku adalah yang paling ujung sebelah kiri. Airnya lancar dan jauh dari pintu masuk. Aku paling tidak suka urinoir paling kanan, karena dekat dengan pintu. jadi ketika pintu terbuka karena ada orang masuk atau keluar, orang yang di luar bisa melihat kita di pantulan kaca besar.

BACA:  Di Pameran Buku - Menghayati Syukur

Tiga urinoir itu kira-kira berjarak 70 centimeter satu sama lain, tak dekat-dekat banget sehingga tak perlu khawatir barang kita diintip oleh orang di sebelah. Ini penting, karena sering ada kejadian. Di masa sekarang ketika orientasi seksual sudah semakin bermacam-macam, kita harus pandai-pandai membaca situasi. Urinoir yang terlalu berdempetan juga bisa membuat kita tak sengaja melirik barang orang lain dan itu akibatnya pun bisa tak terduga. Kita bisa jadi merasa jumawa atau sebaliknya jadi rendah diri dan berharap Mak Erot adalah nenek kita sendiri.

Ada hal yang aku kagumi dari 3 urinoir ini, yaitu bahwa mereka selalu bersih dan mengkilap. Tentu saja karena dirawat dengan baik. Pagi-pagi sering aku mendapati petugas kebersihan mengelap urinoir itu seperti mengoleskan toping pada kue. Lembut dan berulang-ulang. Pekerjaan yang mulia. Untuk sesuatu yang kotor pun mereka tetap menyediakan jalan yang lapang dan indah.

Tapi belakangan, semakin ke sini, 3 urinoir itu mulai menyerah dihantam usia. Mereka memang masih tampak kinclong, tapi di hari-hari tertentu, pada salah satu urinoir itu suka terpasang tempelan kertas berisi peringatan: jangan dipakai dulu, lagi mampet! Bergiliran. Suatu waktu di kiri, lalu di ujung kanan, kemudian pindah ke tengah. Sepengamatanku, urinoir paling kiri itu yang paling banyak dapat masalah. Dia pernah luber sehingga membasahi seluruh lantai dengan air bercampur cairan kekeuningan yang gagal meluncur ke pembuangan. Dia pun tak lagi menjadi favoritku. Aku pindah ke lain lobang, ke urinoir yang tengah.

BACA:  Tafsir Penderitaan dari Soda Gembira

Urinoir yang tengah ini juga tak lepas dari cobaan. Makin hari airnya makin tersendat sehingga bila biasanya kita cukup satu kali menekan tap, sekarang perlu tiga atau empat kali agar dapat limpahan yang memadai.

Begitulah aku berganti-ganti kesenangan hingga rasanya hampir semua dari 3 urinoir itu pernah menjadi favoritku, dengan segala kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Dalam hidup memang tak ada yang sia-sia, Nak. Urinoir yang bentuknya begitu-begitu saja itu pun sesungguhnya adalah guru. Mungkin seperti laut atau gunung yang mengajarimu tentang keberadaan Tuhan dan sekaligus menegaskan eksistensimu juga.
Di depan urinoir kita percaya, betapa kita sangat bergantung pada sebuah lubang kecil di bagian tubuh kita. Bayangkan bila itu mampet, badan kita bisa jadi kantung air bergelambir. Di depan urinoir juga kita takluk pada ideologi pembebasan, bahwa seuatu yang tadinya susah-susah kita minum akhirnya harus rela kita keluarkan juga. Harus kita bebaskan. Harus kita selamatkan. Urinoir juga mengajarkan kita pada muara hidup: kamu minum es teh manis seribuan atau Green Tea Fraffucino, ujungnya akan ke situ-situ aja. Jadi amoniak.

Kita ambil sesuatu yang kaya, kita perah, lalu kita buang setelah kekayaan zatnya habis. Urinoir adalah saksi yang diam saat kita belajar menerima fungsi tubuh sebagai semacam saluran yang egois.


Masih belum ngantuk kan kamu, Nak?
Oya, River, tidakkah kamu merasa semakin banyak hal tidak penting yang aku ceritakan kepadamu?
Dan hari ini lagi-lagi aku melibatkan 3 urinoir tak bersalah dalam bualanku. Mudah-mudahan kamu memakluminya.
Sengaja aku ceritakan apa saja kepadamu. Karena seperti yang sering aku bilang, aku ini ayah yang banyak bicara.

BACA:  Mata Kelapa, Mata Celana

Mel Gibson, bintang film Hollywood yang badannya gede itu pernah berfatwa, “Bila engkau ingin mengetahui titik lemah seseorang, biarkan saja dia berbicara sebanyak-banyaknya sementara kamu mendengarkan saja.”
Dan inilah aku melantur dan membual sepanjang ini, dengan tujuan yang sama: agar kamu tahu kelemahanku.

Fauzan Mukrim

2 Comments

Leave a Reply

Silakan dibaca juga